suporter

Sabtu, 13 September 2008

Kenduri CInta Tanpa CN??

semalam, 12 September terpaksa memberangkatkan diri ke TIM. setelah beberapa bulan tidak pernah mengikuti KC akhirnya aku memaksakan diri untuk berangkat. walau sempat ragu akan ada atau tidaknya CN. petanyaan itu mulai terjawab ketika pukul 23.00 hampir blm ada aktifitas yang berarti di panggung KC. biasanya sudah ada opening pembuka untuk diskusi malam ini. tapi kalai ini masih diisi oleh nyanyian nyanyian dari mabh surip DKK.

keraguan akan tidak hadirnya CN ternyata benar adanya. malam itu KC di isi oleh dialog antara mas iwan, mas adi, dan seorang rakan dari banyumas. akhirnya "setidaknya" ada Ustadz Wijayanto. yang menurut mas arya merupakan "kloningan" CN. dan bulan depan mungkin juga masih tanpa CN. bahkan mas iwan akan membuktikan kalau CN sudah menitis keberbagai orang. "islam bukan kultus, atau simbol. semakin kita jauh dengan CN maka kita akan bisa belajar banyak tentang CN." demikian mas Adi menambahkan.
KC harus dan pasti akan survive. tanpa atau dengan adanya CN. semoga


Kamis, 11 September 2008

MAKNA SPIRITUAL DAN SOSIAL IBADAH PUASA (komplit)

MAKNA SPIRITUAL DAN SOSIAL IBADAH PUASA

Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib - 1996


Tulisan ini bisa dimulai dari perspektif Rukun Islam. Dari syahadah hingga menunaikan haji di rumah suci Allah. Kita mencoba menjelaskan satu per satu maqam Rukun Islam tersebut. Dan, pada akhirnya, kita akan melihat maqam ibadah puasa, yang menjadi topik bahasan tulisan ini. Apakah maqam-maqam itu saling terkait, atau tidak?

'Alamat' dan 'Jurusan'

Syahadah. Salah satu Rukun Islam berarti ketetapan dan penetapan titik pijak dan sekaligus arah tujuan gerak kehidupan manusia Muslim. Semacam 'alamat' dan 'jurusan'. Pertama barangkali pada spektrum kosmologis kemudian teologis, baru kemudian kedua kultural.

Pandangan tentang 'sangkan paran', semacam alamat historis-kosmologis, menurut manusia untuk (melalui akal pikiran maupun melalui informasi wahyu, mawaddah wa rahmah, juga huda, bayyinat, wa furqan) menentukan alamat teologis (atau a-teologis)nya. Berdasarkan itu maka ia berangkat merumuskan alamat sosialnya, alamat kulturalnya, juga mungkin alamat politiknya, bahkan bukan tidak mungkin juga alamat geografisnya. Dengan itu, beda pandang manusia mengenai dunia, akhirat, dan tentang dunia akhirat menjadi terumuskan.

Menduniakan Akhirat, Mengakhiratkan Dunia, dan Mendunia-akhiratkan Kehidupan

Pada budaya dan perilaku manusia beserta sistem nilai yang disusun dalam kolektivitas mereka, ada yang memandang dunia ini sebagai tujuan. Seluruh aktivitas pribadi, gerakan sosial, pengorganisasian kekuasaan dan kesejahteraan di antara mereka, dilaksanakan dengan mengandaikan bahwa dunia ini adalah wadah satu-satunya dari segala awal dan segala akhir.

Wadahnya hanya dunia. Substansinya hanya dunia. Metodenya hanya dunia. Dan, targetnya juga hanya dunia. Orang lahir, orang bersekolah, orang bekerja, orang berkuasa, orang berkarier, dalam 'durasi' dunia.

Segala sesuatunya akan berbeda dengan pandangan lain yang meletakkan dunia sebagai titik tolak dan titik pijak untuk melangkah ke akhirat. Sejarah di dunia dikerjakan sebagai jalan (syari', thariq, shirath), dan produknya adalah akhirat. Setiap kegiatan dan fungsi manusia dalam sejarah, selama dunia berlangsung, berlaku sebagai metoda. Berkedudukan tinggi, berjaya, unggul, atau menang di antara manusia, tidak dipahami sebagai neraka. Sebab surga dan neraka adalah produk dari penyikapan (teologis, moral, kultural) manusia atas semua keadaan tersebut.

Dalam hal ini belum akan kita perdebatan tentang apakah dunia dan akhirat itu diwadahi oleh dua satuan waktu yang berbeda, atau terletak pada rentang waktu yang sama, yang dibatasi oleh momentum yawm al-qiyamah, ataukah dunia dan akhirat itu sesungguhnya berlangsung sekaligus.

Ikrar teologis (yang beraktualisasi kultural) yang dilaksanakan melalui syahadatain, ibadah lain serta 'syariat' hidup secara menyeluruh adalah suatu pengambilan sikap, suatu pilihan terhadap pandangna atas dunia dan akhirat. Dengan pijakan sikap ini manusia menggerakkan aktivitas sosialnya, melaksanakan upaya-upaya hidupnya, serta menja-dikannya sebagai pedoman di dalam memandang, menghayati dan memperlakukan apapun saja dalam hidupnya.

Tidak termasuk dalam katagori ini pola sikap manusia yang dalam bersyahadat seakan-akan mengambil keputusan teologis yang memetodekan dunia untuk target akhirat, namun dalam praktiknya ia lebih cenderung meletakkan dunia sebagai target dan tujuan.

Kerancuan sikap semacam ini bisa dilatarbelakangi oleh semacam kebutaan (spiritual), oleh inkonsistensi (mental), oleh kemunafikan (moral), atau oleh tiada atau tidak tegaknya pengetahuan (intelektual). Yang terjadi padanya adalah kecenderungan menduniakan akhirat. Sementara pada manusia yang dalam konteks tersebut tercerahkan spiritualitasnya, yang konsisten sikap mentalnya, yang teguh moralnya, dan yang tegak pengetahuannya- kecenderungannya adalah mengakhiratkan dunia, atau dari sisi lain ia bermakna menduniaakhiratkan kehidupan.

Evolusi Salat dan Idul Fitri-Idul Fitri Kecil

Ibadah salat merupakan suatu metode 'rutin' kultural untuk proses pengakhiratan. Momentum-momentum salat lima waktu memungkinkan manusia pelakunya untuk secara berkala melakukan pengambilan 'jarak dari dunia'.

Itu bisa berarti suatu disiplin intelektual untuk menjernihkan kembali persepsi-persepsinya, untuk memproporsionalkan dan mensejatikan kembali pandangan-pandangannya terhadap dunia dan isinya, sekaligus itu bermakna ia menemukan kembali kefitrian-diri-kemanusiaan. Salat dengan demikian adalah idul fitri-idul fitri kecil yang bersifat rutin. Sekurang-kurangnya salat mengandung potensi untuk membatalkan atau mengurangi keterjeratan oleh dunia. Ini sama sekali bukan pandangan antidunia. Yang saya maksud, sebagai substansi, target, titik berat atau tujuan kehidupan.

Ibadah salat dengan demikian adalah suatu transisi sistem yang terus-menerus mengingatkan dan mengkodisikan pelakunya yang memelihara sikap mengakhiratkan dunia atau menduniaakhiratkan kehidupan. Ibadah salat menawarkan irama, yaitu proporsi kedunia-akhiratan yang dialektis berlangsung dalam kesadaran, naluri dan perilaku manusia.

Kalau kita idiomatikkan bahwa salat itu bermakna pencahayaan ('air hujan', salah satu jenis air yang disebut oleh al-Qur'an), maka jenis ibadah berkala ini berfungsi mencahayai dan mencahayakan kehidupan pelakunya. Mencahayai dalam arti menaburkan alat penjernihan diri dan persepsi hidup. Mencahayakan dalam arti memberi kemungkinan kepada pelakunya untuk bergerak dari konsentrasi kuantitas (benda, materi) menuju dinamika kreativitas (energi) sampai akhirnya menuju atau menjadi kualitas cahaya (Allahu nur al-samawat wa al-ardl).

Ibadah salat bersifat kumulatif dan evolusioner, sebagimana zakat yang berlambangkan susu (jenis air lain yang disebut oleh al-Qur'an). Kambing tidak meminum susunya sendiri, melainkan mendistribusi-kannya kepada anak-anak dan makhluk lain. Etos zakat adalah mem-bersihkan harta perolehan manusia. Membersihkan artinya mempro-porsikan letak hak dan wajib harta. Manusia tidak memberikan zakat, melainkan membayarkan atau menyampaikan hak orang atau makhluk lain atasnya.

Revolusi Puasa, Melampiaskan dan Mengendalikan

Berbeda dengan salat dan zakat, ibadah puasa bersifat lebih 'revolusioner' radikal dan frontal. Waktunya pun dilakukan pada masa yang ditentukan, seperti disebutkan al-Qur'an. Dan, waktu puasa wajib sangat terbatas. Hanya pada bulan Ramadhan.

Orang yang berpuasa diperintahkan untuk berhadapan langsung atau meng-engkau-kan wakil-wakil paling wadag dari dunia dan diinstruksikan untuk menolak dan meninggalkannya pada jangka waktu tertentu.

Pada orang salat, dunia dibelakanginya. Pada orang berzakat, dunia di sisinya, namun sebagian ia pilah untuk dibuang. Sementara pada orang berpuasa, dunia ada di hadapannya namun tak boleh dikenyamnya.

Orang berpuasa disuruh langsung berpakaian ketiadaan: tidak makan, tidak minum, dan lain sebagainya. Orang berpuasa diharuskan bersikap 'tidak' kepada isi pokok dunia yang berposisi 'ya' dalam substansi manusia hidup. Orang berpuasa tidak menggerakkan tangan dan mulut untuk mengambil dan memakan sesuatu yang disenangi; dan itu adalah perang frontal terhadap sesuatu yang sehari-hari meru-pakan tujuan dan kebutuhan.

Puasa adalah pekerjaan menahan di tengah kebiasaan menum-pahkan, atau mengendalikan di tengah tradisi melampiaskan. Pada skala yang besar nanti kita bertemu dengan tesis ini; ekonomi-industri-konsumsi itu mengajak manusia untuk melampiaskan, sementara agama mengajak manusia untuk menahan dan mengendalikan. Keduanya merupakan musuh besar, dan akan berperang frontal jika masing-maisng menjadi lembaga sejarah yang sama kuat.

Sementara ibadah haji adalah puncak 'pesta pora' dan demonstrasi dari suatu sikap, pada saat dunia disepelekan dan ditinggalkan. Dunia disadari sebagai sekadar seolah-olah megah.

Ibadah thawaf adalah penemuan perjalanan sejati sesudah seribu jenis perjalanan personal dan personal yang tidak menjanjikan kesejatian dan keabadian. Nanti kita ketahui gerak melingkar thawaf adalah aktualisasi dasar teori inna lillahi wa inna ilayhi raji'un. Suatu perjalanan nonlinier, perjalanan melingkar perjalanan siklikal, perjalanan yang 'menuju' dan 'kembali'nya searah.

Ihram adalah 'pelecehan' habis-habisan atas segala pakaian dan hiasan keduniaan yang palsu status sosial, gengsi budaya, pangkat, kepemilikan, kedudukan, kekayaan, atau apapun saja yang sehari-hari diburu oleh manusia. Sehabis berihram mestinya sang pelaku mengerti bahwa nanti kalau ia pulang dan hadir kembali ke kemegahan-kemegahan dunia--tak lagi untuk disembahnya atau dinomorsatukannya. Karena ihramlah puncak mutu dan kekayaan.

Tauhid Vertikal dan Tauhid Horisontal

Adapun apa, ke mana, dan bagaimanakah sesungguhnya yang dijalani oleh para pelaku Rukun Islam, terutama yang ber'revolusi' dengan puasa?

Pilar utamanya adalah tauhid vertikal (tawhid ilahiyyah) dan tauhid horisontal (tawhid basyariyyah). Tauhid itu proses penyatuan. Penyatuan (ilahiyyah) ke atau dengan Allah, serta penyatuan ke atau dengan sesama manusia atau makhluk, memiliki rumus dan formulanya sendiri-sendiri.

Perlawanan terhadap dunia, penaklukan atas diri dan kehidupan untuk diduniaakhiratkan yang ditawarkan oleh ibadah puasa--sekaligus berarti proses deindividualisasi, bahkan deeksistensialisasi. Tauhid adalah perjalanan deeksistensialisasi, pembebasan dari tidak pentingnya identitas dan rumbai-rumbai sosial keduniaan di hadapan Allah. Segala kedudukan, fungsi dan peran di dunia dipersembahkan atau dilebur ke dalam eksistensi sejati Allah dan kasih sayang-Nya. Tauhid sebagai perjalanan deindividualisasi berarti menyadari dan mengupayakan proses untuk larut menjadi satu atau lenyap ke dalam wujud-qidam-baqa' Allah. Manusia hanya diadakan, diselenggarakan seolah-olah ada, ada-nya palsu--oleh Yang Sejati Ada.

Yang juga ditawarkan oleh puasa adalah proses dematerialisasi, atau peruhanian atau dalam konteks tertentu pelembutan dan peragian. Dematerialisasi bisa dipahami melalui, umpamanya, konteks peristiwa Isra' Mi'raj. Rasulullah mengalami proses transformasi dari materi menjadi energi menjadi cahaya. Maka, dematerialisasi vertikal bisa berarti mempersepsikan, menyikapi dan mengolah materi (badan, pemilikan, dunia, perilaku, peristiwa) untuk dienergikan menuju pencapaian cahaya. Fungsi sosial dikerjakan, managemen dijalankan, musik diciptakan, karier ditempuh, ilmu digali dan buku dicetak, uang dicari dan harta dihamparkan--tidak dengan orientasi ke kebuntuan dunia sebagai materi yang fana, melainkan digerakkan ke makna ruhani, pengabdian dan taqarrub kepada Allah, sampai akhirnya masuk dan bergabung ke dalam 'kosmos' dan sifat-Nya.

Proses dematerialisasi, proses ruhanisasi atau proses transformasi menuju (bergabung, menjadi) Allah, meminta hal-hal tertentu ditanggalkan dan ditinggalkan. Dalam bahasa sehari-hari orang bilang: jangan mati-matian mencari hal-hal yang tidak bisa dibawa mati.

Menanggalkan dan meninggalkan itu mungkin seperti perjalanan transformasi padi menjadi beras, dan menjadi nasi. Padi menjadi beras dengan menanggalkan kulit. Beras juga padi, tapi beras bukan lagi padi, sebagaimana padi belum beras. Nasi itu substansinya padi atau beras, tapi sudah melalui proses suatu pencapaian transformatif. Para pemakan nasi tidak antipadi, tapi juga tidak makan padi dan menanggalkan kulit padi. Pemakan nasi sangat membutuhkan beras, tapi tidak makan beras dan tidak membiarkan beras tetap jadi gumpalan keras. Pemakan nasi memproses bahan dan substansi yang sama menjadi atau menuju sesuatu yang baru.

Jadi, jika pemburu atau pengabdi Allah tidak antidunia, tidak antimateri, tidak antibenda, tapi juga tidak menyembah benda, melainkan mentransformasikan (mengamalsalehkannya), meruhanikannya (menyaringnya menjadi bermakna akhirat). Bahkan manusia akan menanggalkannya dan meninggalkan dirinya sendiri (gumpalan individu, wajah, badan, performance, eksistensi dunia), karena 'dirinya' di akhirat, dirinya yang bergabung ke Allah adalah sosok amal salehnya.

Pada 'citra' waktu, dematerialisasi, peruhanian, deindividualisasi, dan deeksistensialisasi berarti pengabdian. Pembebasan dari kesementaraan. Yang ditanggalkan dan ditinggalkan adalah kesementaraan. Segumpal tanah bersifat sementara, tapi ia difungsikan dalam sistem manfaat dan rahmat, maka fungsinya itu mengabdi. Sebagaimana gumpalan badan kita serta segala materi eksistensi kita bersifat sementara, yang menjadi abadi adalah produk ruhani pemfungsian atas semua gumpalan itu.

Melampiaskan dan Mengendalikan

Juga dalam proses tauhid horisontal, penyatuan berarti sosialisasi pribadi. Kalau masih pribadi yang individualistik (ananiyyah), ia gumpalan. Begitu integral-sosial (tawhid basyariyyah), ia mencair, melembut. Yang ananiyyah itu temporer dan berakhir, yang tauhid basyariyah itu baqa' dan tak berakhir.

Identitas sosial, harta benda, individu, segala jenis pemilikan dunia, dienergikan, diputar, disirkulasikan, didistribusikan, dibersamakan atau diabadikan ke dalam keberbagian sosial. Itulah peruhanian horisontal.

Karena itu, proses-proses menuju keadilan sosial, kemerataan ekonomi, distribusi kesejahteraan, kebersamaan kewenangan dan lain sebagainya--sesungguhnya merupakan aktualisasi tauhid secara horisontal.

Kita tinggal memperhatikan setiap sisi, segmen dan lapisan dari proses sosial umat manusia (pergaulan, kebudayaan, negara, sistem, organisasi) melalui terma-terma materialisasi versus peruhanian, satu versus kemenyatuan, pensementaraan versus pengabdian, penggumpalan versus pelembutan, sampai akhirnya nanti pelampiasan versus pengendalian. Budaya ekonomi-industri-konsumsi kita mengajak manusia untuk melampiaskan. Sementara agama menganjurkan manusia untuk mengendalikan. Kalau kedua arus itu sama-sama menemukan lembaga dan kekuatan sejarahnya yang berimbang, konflik peradaban akan serius.

Ibadah puasa merupakan jalan 'tol' bagi perjuangan manusia untuk mencapai kemenangan di tengah tegangan-tegangan konflik tersebut. Juga dalam pergulatan antara iradah al-nas dalam arti individualisme individu-kecil dengan iradah Allah Individu Besar Total.

Kita bisa menolak ke terma sab'a samawat, tujuh langit-- Roh-Benda-Tumbuhan-Hewan-Manusia- Ruhanisasi-Ruh-- bisa kita temukan siklus-siklus kecil dan besar proses peruhanian yang diselenggarakan oleh manusia.

Atau terma Empat 'Agama'--'agama'intuitif-instinktif, 'agama' intelektual, 'agama' wahyu, serta 'agama atas agama'--kita bisa menemukan bahwa ketika penerapan wahyu-Agama terjebak menjadi berfungsi gumpalan-gumpalan, maka 'agama atas agama' merupakan fenomena peruhanian, kristalisasi substansi. Semua manusia bekerjasama menempuh nilai-nilai inti peruhanian yang mengatasi gumpalan-gumpalan aliran, sekte, kelompok, mazhab atau organisasi agama.

Terma lain yang mungkin bisa kita sentuh adalah cakrawala puasa la'allakum tattaqun. Produk maksimal puasa bagi pelakunya adalah derajat dan kualitas takwa. Dalam terapan empiriknya, kita mencatat stratifikasi fiqh/hukum-akhlak-takwa. Kondisi peradaban umat manusia masih tidak gampang untuk sekadar mencapai tataan manusia fiqh/hukum atau budaya fiqh/hukum. Apalagi naik lebih lagi ke level akhlak dan takwa.(Indonesia Paramadina Mulya )



 




Minggu, 07 September 2008

Evolusi Salat dan Idul Fitri-Idul Fitri Kecil

Ibadah salat merupakan suatu metode 'rutin' kultural untuk proses pengakhiratan. Momentum-momentum salat lima waktu memungkinkan manusia pelakunya untuk secara berkala melakukan pengambilan 'jarak dari dunia'.

Itu bisa berarti suatu disiplin intelektual untuk menjernihkan kembali persepsi-persepsinya, untuk memproporsionalkan dan mensejatikan kembali pandangan-pandangannya terhadap dunia dan isinya, sekaligus itu bermakna ia menemukan kembali kefitrian-diri-kemanusiaan. Salat dengan demikian adalah idul fitri-idul fitri kecil yang bersifat rutin. Sekurang-kurangnya salat mengandung potensi untuk membatalkan atau mengurangi keterjeratan oleh dunia. Ini sama sekali bukan pandangan antidunia. Yang saya maksud, sebagai substansi, target, titik berat atau tujuan kehidupan.

Ibadah salat dengan demikian adalah suatu transisi sistem yang terus-menerus mengingatkan dan mengkodisikan pelakunya yang memelihara sikap mengakhiratkan dunia atau menduniaakhiratkan kehidupan. Ibadah salat menawarkan irama, yaitu proporsi kedunia-akhiratan yang dialektis berlangsung dalam kesadaran, naluri dan perilaku manusia.

Kalau kita idiomatikkan bahwa salat itu bermakna pencahayaan ('air hujan', salah satu jenis air yang disebut oleh al-Qur'an), maka jenis ibadah berkala ini berfungsi mencahayai dan mencahayakan kehidupan pelakunya. Mencahayai dalam arti menaburkan alat penjernihan diri dan persepsi hidup. Mencahayakan dalam arti memberi kemungkinan kepada pelakunya untuk bergerak dari konsentrasi kuantitas (benda, materi) menuju dinamika kreativitas (energi) sampai akhirnya menuju atau menjadi kualitas cahaya (Allahu nur al-samawat wa al-ardl).

Ibadah salat bersifat kumulatif dan evolusioner, sebagimana zakat yang berlambangkan susu (jenis air lain yang disebut oleh al-Qur'an). Kambing tidak meminum susunya sendiri, melainkan mendistribusi-kannya kepada anak-anak dan makhluk lain. Etos zakat adalah mem-bersihkan harta perolehan manusia. Membersihkan artinya mempro-porsikan letak hak dan wajib harta. Manusia tidak memberikan zakat, melainkan membayarkan atau menyampaikan hak orang atau makhluk lain atasnya.
(Emha Ainun Nadjib/Paramadina/1996)

Kamis, 04 September 2008

MAKNA SPIRITUAL DAN SOSIAL IBADAH PUASA

Tulisan ini bisa dimulai dari perspektif Rukun Islam. Dari syahadah hingga menunaikan haji di rumah suci Allah. Kita mencoba menjelaskan satu per satu maqam Rukun Islam tersebut. Dan, pada akhirnya, kita akan melihat maqam ibadah puasa, yang menjadi topik bahasan tulisan ini. Apakah maqam-maqam itu saling terkait, atau tidak?

'Alamat' dan 'Jurusan'

Syahadah. Salah satu Rukun Islam berarti ketetapan dan penetapan titik pijak dan sekaligus arah tujuan gerak kehidupan manusia Muslim. Semacam 'alamat' dan 'jurusan'. Pertama barangkali pada spektrum kosmologis kemudian teologis, baru kemudian kedua kultural.

Pandangan tentang 'sangkan paran', semacam alamat historis-kosmologis, menurut manusia untuk (melalui akal pikiran maupun melalui informasi wahyu, mawaddah wa rahmah, juga huda, bayyinat, wa furqan) menentukan alamat teologis (atau a-teologis)nya. Berdasarkan itu maka ia berangkat merumuskan alamat sosialnya, alamat kulturalnya, juga mungkin alamat politiknya, bahkan bukan tidak mungkin juga alamat geografisnya. Dengan itu, beda pandang manusia mengenai dunia, akhirat, dan tentang dunia akhirat menjadi terumuskan.

Menduniakan Akhirat, Mengakhiratkan Dunia, dan Mendunia-akhiratkan Kehidupan

Pada budaya dan perilaku manusia beserta sistem nilai yang disusun dalam kolektivitas mereka, ada yang memandang dunia ini sebagai tujuan. Seluruh aktivitas pribadi, gerakan sosial, pengorganisasian kekuasaan dan kesejahteraan di antara mereka, dilaksanakan dengan mengandaikan bahwa dunia ini adalah wadah satu-satunya dari segala awal dan segala akhir.

Wadahnya hanya dunia. Substansinya hanya dunia. Metodenya hanya dunia. Dan, targetnya juga hanya dunia. Orang lahir, orang bersekolah, orang bekerja, orang berkuasa, orang berkarier, dalam 'durasi' dunia.

Segala sesuatunya akan berbeda dengan pandangan lain yang meletakkan dunia sebagai titik tolak dan titik pijak untuk melangkah ke akhirat. Sejarah di dunia dikerjakan sebagai jalan (syari', thariq, shirath), dan produknya adalah akhirat. Setiap kegiatan dan fungsi manusia dalam sejarah, selama dunia berlangsung, berlaku sebagai metoda. Berkedudukan tinggi, berjaya, unggul, atau menang di antara manusia, tidak dipahami sebagai neraka. Sebab surga dan neraka adalah produk dari penyikapan (teologis, moral, kultural) manusia atas semua keadaan tersebut.

Dalam hal ini belum akan kita perdebatan tentang apakah dunia dan akhirat itu diwadahi oleh dua satuan waktu yang berbeda, atau terletak pada rentang waktu yang sama, yang dibatasi oleh momentum yawm al-qiyamah, ataukah dunia dan akhirat itu sesungguhnya berlangsung sekaligus.

Ikrar teologis (yang beraktualisasi kultural) yang dilaksanakan melalui syahadatain, ibadah lain serta 'syariat' hidup secara menyeluruh adalah suatu pengambilan sikap, suatu pilihan terhadap pandangna atas dunia dan akhirat. Dengan pijakan sikap ini manusia menggerakkan aktivitas sosialnya, melaksanakan upaya-upaya hidupnya, serta menja-dikannya sebagai pedoman di dalam memandang, menghayati dan memperlakukan apapun saja dalam hidupnya.

Tidak termasuk dalam katagori ini pola sikap manusia yang dalam bersyahadat seakan-akan mengambil keputusan teologis yang memetodekan dunia untuk target akhirat, namun dalam praktiknya ia lebih cenderung meletakkan dunia sebagai target dan tujuan.

Kerancuan sikap semacam ini bisa dilatarbelakangi oleh semacam kebutaan (spiritual), oleh inkonsistensi (mental), oleh kemunafikan (moral), atau oleh tiada atau tidak tegaknya pengetahuan (intelektual). Yang terjadi padanya adalah kecenderungan menduniakan akhirat. Sementara pada manusia yang dalam konteks tersebut tercerahkan spiritualitasnya, yang konsisten sikap mentalnya, yang teguh moralnya, dan yang tegak pengetahuannya- kecenderungannya adalah mengakhiratkan dunia, atau dari sisi lain ia bermakna menduniaakhiratkan kehidupan.
(Emha Ainun Nadjib/Paramadina/1996/PmBNetDok)

Senin, 01 September 2008

Kriteria Pemimpin kita

Ada 4 kategori pemimpn yang dibutuhkan oleh bangsa indonesia.
1. Orang yang mempunyai managemen yang baik.
Managemen dalam buku istriku seribu disebutkan Cak Nun
- Managemen bukanlah kita mempunyai sayur – sayuran lantas kita memasak sayur. Managemen adalah kita tidak punya apa – apa tapi sanggup menyuguhkan sayur kepada orang yang memerlukan.
- Managemen adalah di tiadakan namun menjadi lebih ada dibanding pihak yang meniadakan
- Managemen adalah kaki diborgol kemudian memenangkan lomba lari melawan orang yang memborgol
- Managemen adalah sayapmu dipangkas namun kau mampu terbang lebih tinggi dari orang yang memangkasa sayap mu.
- Managemen adalah hampir tidak ada air tapi bisa mandi dan menjadi lebih bersih dari pencuri airmu
- Managemen adalah engkau tak boleh bicara, tak ditampilkan, tak ditayangkan, tak dianggap ada, namun mampu hadir lebih mendalam dan evergreen di dalam kalbu orang banyak dibandingkan mereka yang membunuh eksistensimu atau mereka yang diunggul – unggulkan dimuat – muat ditanyang – tayangkan dibesar besarkan siang malam oleh penindasmu.

2. Satrio
Tentu anda bisa mendefinisikan makna dari ksatria. Ksatria itu bukan lari dari tanggung jawab. Bukan mengutus menteri kietika dipanggil DPR, bukan lepas dari tanggung jawab lumpur lapindo dengan mengatas namakannya bencana alam.

3. Pinandito
Harus wawasan spiritual, wawasan kosmosologi, di kenal einstein sebaik baiknya tapi dia juga kenal ronggo warsito sebaik baiknya. Ia paham umar bin abdul azis sebaik baiknya tapi juga tahu ahmad dinajid sebaik baiknya. ilmunya harus transenden (utama/luar biasa), siglikal (berputar). dari yang tradisional sampai yang modern, dia gak kaget dengan yang klenik – klenik.
Tidak cukup ilmu sosial, kebatinan, tasawuf, syariat, fikih tapi keseluruhan nya.

4. Sinisihan Wahyu
Artinya Mulham - Mulham itu orang yang melangkah bukan dia yang melangkah tapi Allah yang melangkahkan, orang berjalan bukan dia yang berjalan tapi Allah yang Menjalankan. Intinya dia adalah manusia pilihan Allah.


Lalu bagaimana dengan 2009 nanti .. apakah para pemimpin kita mempunyai 4 syarat diatas………. Wallahualam
(disarikan dari kenduri cinta tahun 2008)


Kamis, 28 Agustus 2008

Kesaksian Sederhana Orang Biasa


dua buah puisi dari milis padhang mbulan. Untuk BERLANGGANAN, kirim e-mail kosong ke
kenduricinta-subscribe@yahoogroups.com Untuk BERHENTI, kirim e-mail kosong ke
kenduricinta-unsubscribe@yahoogroups.com

Kesaksian Sederhana Orang Biasa From Maiyah KC
Kesaksianku tentang dunia hanya bisa sederhana
Karena jenis dan standar kebahagiaanku memang sangat biasa-biasa saja

Kaki hidupku tidak meloncat menggapai langit
Tak ada yang kukejar hingga lari terbirit-birit

Tanganku tidak mengacungkan tinju ke angkasa
Sebab tak ada satu unsur apapun dalam kehidupan ini
yang membuatku kagum dan terpana

Kekuatanku tak akan menyentuh siapa-siapa
Karena aku tidak tertarik pada kemenangan atas manusia

Kubelanjakan tenagaku hanya sedikit saja
Sebab atas segala yang lemah hatiku tak berdaya

Kalaupun pikiranku mengembara sampai ke ruang hampa
Hatiku sudah lama selesai dan tak meminta apa-apa

Tak ada sekilaspun padaku mimpi menaklukkan dunia
Sebab dunia sangat murah harganya dan hanya beberapa
tetes keringat dari badanku yang kurelakan untuknya

Tak ada sedikitpun minatku terhadap kehebatan diri
karena jenis kelemahanku adalah kebiasaan
untuk mentertawakan diriku sendiri

Jika ada orang beramai-ramai tersesat menjunjungku
Volume kepalaku tidak membesar dan hatiku tetap bisa mengantuk

Jika mereka menemukan kebenaran sehingga menghinaku
Helai-helai buluku tidak berdiri bahkan kantukku bertambah lelap

Kebesaran dan kegagahan amat sangat aku remehkan
Dan tak akan pernah kukenakan sebagai pakaian

Apabila dunia menyangka aku mencintainya dan ingin mengawininya
Tentu karena ia tak tahu aku sudah mentalaknya sebelum pernah mencintainya

Barang siapa kegagahannya mendatangiku dan menggertak
Kusihir ia jadi katak
(Emha Ainun Nadjib/PmBNetDok/2004)

Sudah Bukan Diriku From: maiyah kc

Kalau aku sudah bukan diriku
Akankah lahir anakku yang berasal dari dirinya
Kalau manusia sudah tak sepenuhnya manusia
Adakah cara agar penerusnya kembali manusia

Kalau aku sudah hilang
Karena diriku digantikan
Oleh diri seragam produksi massal
Yang mana dari nilai-nilai yang masih mungkin tertinggal

Bangsaku sudah bukan bangsaku
Bangsaku bukan bangsa yang tumbuh
dari dalam diri kebangsaannya
Bangsaku hanya bahan dasar alam
Sebagaimana batubara yang ditambang
Dicetak oleh industri globalisasi
Dijadikan plastik dan robot barang dagangan
Pemerintahku adalah anjing herder
Pikirannya dikendalikan oleh stick holder

Merahkah ini hijaukah itu
Baikkah ini burukkah itu
Ditentukan tidak berdasar nurani dan akalmu
Karena sudah ada paket makro untuk itu

Mana maju mana mundur
Apa yang mulia apa yang hina
Siapa Nabi siapa teroris
Bukan hak kemanusiaanmu untuk menentukan

Bumi mengecil seukuran bola golf
Diambil dipukul diambil dibuang atau dikeranjang-sampahkan
Bangsaku terdaftar sebagai pelacur unggul tergolek di ranjang
Disetubuhi kapan saja Mr. Global Stick Holder menghendaki

Sekujur badan disemprot parfum demokrasi
Dihibur dengan lagu dusta tentang hak asasi
Mata dipejamkan ditiup dengan hawa toleransi
Mulut dingangakan, siap dituangi sperma globalisasi
Tetapi bangsaku tak kehilangan dirinya
Karena generasi yang ini sejak lahir memang sudah bukan dirinya

Hujan turun terlalu deras
Hujan ludah dan air liur para raksasa
Manusia dan negara dipersatukan oleh banjir
Dunia menyempit, menjadi sebuah bendungan

Bendungan itu
Bernama globalisasi
Hujan turun terlalu deras
Banjir global masuk sampai ke kamar pribadi
Menelusup sampai ke ulu hati
Bahkan otak sampai terbungkus oleh kerak tahi besi

Di manakah, dalam banjir itu, manusiamu?

Tak ada kegelisahan apapun atas hilangnya diri
Tak ada ketakjuban atas punahnya nilai

Apakah wajah yang kau temukan di kaca itu
benar wajah manusia

Sebab pada semuanya yang lebih menonjol
adalah tanda-tanda kehewanan
Yang lebih rajin muncul
adalah indikator kebinatangan
politik keserakahan
mobilisasi pelampiasan
ekonomi keborosan
globalisasi pemusnahan kemanusiaan
peruntuhan nilai-nilai batin
seluruh permukaan bumi sedang dirancang
menjadi hamparan lapangan golf
di mana para juragan global dengan stik-stik mewah
membidik dan melempar bola-bola golf
yang terbuat dari kepala-kepala manusia

Dan kalau engkau bertanya tentang aku
dengarlah pertanyaanmu itu kujawab
dengan penuh kebanggaan:
Aku adalah setan!
Aku adalah setan, yang riwayatku
ditulis oleh Tuhan sendiri di kitab suciNya
bahwa puncak sikapku adalah pernyataan suci
bahwa sesungguhnya aku takut kepada Allah
Apakah manusia takut kepada Tuhan?
Apakah bagi manusia, Tuhan cukup penting?
Tuhan tergeletak di belakang tumit setiap orang
Tuhan bukan subyek yang disertakan
dalam proses pengambilan keputusan

Kalau bangsa ini semakin tak memenuhi syarat untuk disebut bangsa
Kalau manusia kita semakin tak pantas disebut manusia
Adakah cara agar penerus kita kembali manusia?
(Emha Ainun Nadjib/2004/PmBNetDok)

Rabu, 27 Agustus 2008

NOE LETTO "Ayah saya penyanyi Tembang Setan"

sebuah wawancara dengan Noe Letto diambila dari Official site letto

Pelantun tembang-tembang teduh dari Letto ini berbagi kisah berjumpa dengan Nabi, arwah Freddy Mercury, hingga kenakalan membakar pabrik.
Sabrang Mowo Damar Panuluh adalah putra budayawan Emha Ainun Nadjib dengan istri pertamanya, Neneng Suryaningsih. Kini, dia melejit dengan nama sapaan yang berasal dari rekan kuliahnya di Jurusan Matematika dan Fisika, Universitas Alberta, Edmonton, Kanada. Pria kelahiran 10 Juni 1979 ini memotori terbentuknya Letto. Lagu Letto di album perdana Truth, Cry, and Lie yang sendu telah merebut perhatian. Album kedua Letto, Don’t Make Me Sad, memiliki misi khusus karena sebagian hasil penjualan akan didedikasikan untuk pembuatan buku dengan huruf braile. Inilah vokalis, keyboardist, dan pujangga yang menghias lirik Letto dengan kata-kata puitis yang kontemplatif.

Mengapa Anda dipanggil Noe?
Sejarahnya panjang karena teman-teman saya di Kanada lebih mudah menyebutnya dari panjang nama saya yang asli.

Lagu Letto yang paling sulit dinyanyikan?
"Innosense's Innosence" karena lagunya datar. Enaknya yang santai, tapi nggak emotionalless.

Kapan Anda menyadari kalau Anda bisa bernyanyi?

Sampai sekarang saya nggak sadar kalau saya bisa menyanyi (tertawa).

Bagaimana peran ayah Anda dalam pendidikan musik Anda?
Nggak punya peran sama sekali. Kalau bermusik kan macem-macem. Ngomong aja pakai musik. Kalau nggak pakai irama nggak enak ngomongnya. Perannya yah ngajarin ngomong. Alat musik nggak pernah ngajarin.

Lagu pertama yang dinyanyikan yang membuat Anda jadi vokalis?
(Tertawa) Itu pertanyaan susah. Soalnya nggak ada yang mau jadi vokalis. Jadi, saya terdakwanya. Karena nggak ada korban lain aja.

Mengapa selalu menggunakan topi kupluk?
Kata orang sih bagusnya pakai kupluk. Saya pakai kupluk sudah lama.

Apa alasan Anda pernah bercita-cita sebagai pengantar pos?
Setahu saya orang pos itu kaya dan murah hati. Karena sering ngirimin wesel ke rumah. Kan orangtua saya kerja sebagai penulis. Jadi, dapat uang dari kiriman wesel. Saya pikir kok tukang pos ini kaya banget ngasih duit terus.

Apa perbedaan yang Anda rasakan saat dibesarkan di Lampung dan Yogya?
Satu, setting-nya saja yang berbeda, yang satu di desa, yang satu di kota. Nilai-nilainya banyak yang bisa diserap juga. Semua jadi wacana yang baik. Saya tuh culture shock sama semua hal. Dari ngeliat tangga berjalan sampai pesawat terbang itu melalui syok.

Paman Anda kan memberikan kumpulan lagu-lagu Queen. Lagu apa yang paling berkesan?
"Lilly of the Valley" karena lagunya bagus dan paling ‘nyambung’ sama saya.

Sebagai pembicara seminar, apa Anda pernah mengalami debat kusir yang melelahkan?
Banyak, tapi saya nggak ingat detailnya. Sering juga yang isinya nggak mau kalah. Biasanya masalah yang mengandung interpretasi, seperti pemahaman agama, pemahaman lirik. Seperti, "Apa maknanya lagu Bento?" Yah, debat kusir jadinya. Orang bebas menginterpretasi kok. Nggak penting merasa interpretasinya yang paling benar. Diskusi yang obyektif yang paling enak, mulai dari kuku sampai genetik.

Apa topik diskusi teraneh?
Banyak. Tapi, nggak penting nggak apa-apa yah? Rambut sama kuku. Mengapa ada rambut di atas, alis, kumis, di mana-mana? Tapi, ada di tiap tempat dan panjangnya beda, mereka tahu. Itu bisa panjang tuh (diskusinya).

Sebagai penggemar Queen, apa yang akan Anda katakan seandainya Freddy Mercury bangkit dari kubur?

Eh, gimana kabarnya, Setan? Nggak deng (tertawa). Kapan-kapan diajak tur yah!

Lagu "Bunga di Malam Itu" berisi tentang perjumpaan dengan Nabi Muhammad SAW, apa peristiwa yang menginspirasi Anda?

Siapa yang nggak ingin ketemu sih? Itu kalau diceritakan saya merasa nggak nyaman. Cerita personal dia ketemu dengan siapa. Saya cerita tentang kekangenannya, bukan peristiwanya. Ada peristiwa yang spesifik. Tapi, nggak mau saya ceritakan (tertawa).

Mengapa Anda tidak menjadi penyanyi tembang religi seperti Ayah Anda?
Potong leher saya kalau Ayah saya penyanyi lagu religi. Ayah saya penyanyi Tembang Setan (tertawa). Karena kita tidak percaya dengan lagu religius. Kalau ada lagu religius berarti ada lagu tidak religius dong. Padahal semua hal menurut kita bisa diambil sisi religiusnya. Mau ngomong kambing sampai tai sapi, semuanya bisa religius juga. Bukan lagunya, tapi bagaimana kita mengambilnya.

Apa yang ingin Anda capai saat berumur 30?
Nggak boleh yah ngomongin mati?

Terserah...
Saat saya umur 30, saya ingin pandangan saya jelas. Tentang banyak hal. Wacana sangat banyak dan belum semua bisa masuk dalam kotak-kotaknya. Ada yang masih blur, di gray area. Itu sebenarnya apa. Semoga saat umur 30, semua bisa terjawab, bisa masuk ke dalam kotaknya sendiri-sendiri sehingga lebih jelas memandang dunia.

Anda memadukan lirik cinta yang komersial dengan nilai filosofis, seberapa patuh Anda pada tuntutan industri?

Industri sekarang nggak ada yang jelas dalam tolok ukur. Tolok ukurnya selalu penjualan. Itu pun selalu teori antara penjualan terhadap karya seni. Samapi sekarang belum ada rumus statistiknya laku seperti apa, menjual seperti apa. Jadi, karena ukuran mereka nggak jelas terhadap suatu karya yah saya juga bikin batasnya nggak jelas, suka-suka hati.

Ada media yang pernah menghujat Letto karena hanya mampu membawakan lagu tentang cinta dan pemujaan pacar yang terdengar seperti keabadian di neraka. Komentarnya?
(Tertawa) Jempol buat Anda. Silahkan. Kedalaman Letto itu bukan dari liriknya. Liriknya itu cermin bagaimana diri Anda sendiri. Kalau Anda ingin melakukan pencarian yang holistik, di situ bisa menemukan. Itu bisa diambil dari banyak sisi. Yang Anda ambil itu yang Anda inginkan. Kita juga sadar nggak semua orang punya sudut pandang yang sama, cara mencerna yang sama, gak semua orang punya IQ yang sama (tertawa). Terserah, kita senang-senang sajalah.

Apa kenakalan yang paling Anda sesali?
Membakar pabrik.

Wah, kenapa itu?
Karena saya kriminal (tertawa). Sudah lama, kenakalan anak kecil. Anak-anak muda kan isinya berkelahi atau apa. Anak ini saya ajak berkelahi nggak mau. Tapi, kerjaannya ngerusakin sepedaku setiap saat. Yah, pabrik Bapaknya aku bakar sekalian (tertawa).

Bagaimana hubungan Anda dengan orang itu sekarang?
Ketawa-ketawa aja. Sampai sekarang dia nggak tahu yang bakar aku (tertawa).

Drugs? Alkohol?
Belum pernah. Ada pilihan untuk tidak.

Lagu apa yang membuat Anda merasa memiliki suara yang seksi?
"SMS". Pernah menyanyikan sendiri di kamar mandi. "Bang, SMS siapa ini, Bang?" (menyanyi). Tapi, itu menurut saya sendiri (tertawa).

Anda pernah mengatakan industri musik sekarang instan. Berapa lama Anda memprediksi karier Letto?
Bisa jadi instan juga. Semua hal yang instan adalah kemasannya. Jadi, kita mencoba menuju pada hal-hal yang kemasan tidak selalu instan. Kita membuat sesuatu yang bernilai. Sepuluh tahun dari sekarang lagu “Sandaran Hati” akan mempunyai makna yang fresh juga.

Pernah terpikir untuk solo karier?
Pernah. Tapi, nggak di musik. Yah, jadi researcher atau jadi orang kaya (tertawa).

Penggemar Anda di Malaysia ingin menjadikan Anda sebagai suami mereka. Apa pernah ada fans yang melamar Anda?

Ada yang kayak gitu. Mereka nggak ngirim surat ke aku. Mereka ngirim surat ke orangtua aku. (Ketawa-ketawa semua).

Anda mengambil jurusan Matematika dan Fisika di Kanada. Bagaimana penerapannya dalam hidup Anda?

Matematika dan Fisika saya adalah teori. Penerapannya adalah di atas kertas dan di komputer. Ini tetap saya lakukan sekarang. Kalau punya ide saya tulis di kertas dan hitung-hitungan sendiri kalau ngaco.

Mengapa nggak jurusan musik?
Nggak mampu otak saya (tertawa). Matematika dan Fisika saja yang lebih pasti.

Sebagai anak Cak Nun, kapan saat Anda merasa tidak religius?
Ketika saya tertawa terlalu keras. Ketika saya menangis...Saya nggak pernah menangis deng. Ketika semua hal keterlaluan saja.

Anda tak pernah menangis sekarang. Apa saat ini Anda sedang bahagia?
Nggak. Saya sudah kehilangan poin akan air mata (tertawa).

Apa pertanyaan yang paling mengganggu pikiran dan Anda belum menemukan jawaban?
Tuhan itu suka bercanda yah. (Tertawa) Pertanyaan di otak saya itu, ‘Candaan Tuhan yang mana yah?’ Itu tidak bisa didiskusikan. Itu kemesraan sama Tuhan sendiri. Kesandung, mulutnya nyonyor, ‘Wah, Tuhan bercanda neh sama kita.’ (Ketawa-tawa aja).

Lagu apa yang ingin Anda dengar saat sekarat?
Saya dengerin orang Dzikir mungkin, lebih menenangkan. Kalau sekarat kan ketakutan banget pasti.

MY LIST

Buku favorit: Bukunya Joe Maguijo, CXL karena idenya bagus.
Album favorit: Innuendo dan Miracle (Queen) karena beda banget.
Situs favorit: Sains dan caviar audio

ISTRIKU SERIBU

membaca buku istriku seribu berulang - ulang tidak membuatku bosan. palagi di halaman 49. kalau rekan mau ikut membaca berikut adalah soft copynya.

MALAM KEMERDEKAAN DI ALEXANDRIA

Pada suatu malam di Alexandria alias Iskandariyah, bersama kiai kanjeng aku bertamu kemasjid Imam Busyiri, pencipta syair – syair budah dan shalawat shalwat yang rata – rata umat Islam Tradisional bisa melagukannya, sekedar mengetahui atau pernah mendengarnya.
Seorang syehk membukakan pintugerbang masjid, mempersilahkan kami tidak dengan kalimat kebudayaan atau sopan santun sosial. Sambil membuka pintu beliau melantunkan lagu “Annabi Shollu’aalaih Shalawatullah ‘Alaih, wayanalul barokah, kullu man sholla’alaih…”

Tangannya melambai – lambai mempersilahkan kami memasuki gerbang satu persatu. Tidak ada kata :silahkan masuk,atau dari mana anda sekalian. Ataupun kalimat budaya yang lainnya. Hanya shalawat beliau lagukan dengan sangat indah,serak, tua, dengan vibrasi khas mesir utara.
Aliran darahku bergerak lebih cepat, suhu badanku naik. Begitu juga kami semua. Berduyun duyun kami semua memasuki masjid, mengarah kemakam Syeh Imam Busyiri. Shalawat tak henti beliau lantunkan, dan ditengah – tengah itu rasa “gatal” menyergap hatiku. Begitu Syekh selesai satu bait, aku teriak melantunkan syair lagu itu dan serempak teman – teman KiaiKanjeng juga melantunkannya.
Syekh agak kaget teryata kami bisa melantukan syair dengan lagu yang sama. Bukan sekedar mengetahui atau pernah mendengarnya. Beliau lantunkan refrain, kami koor. Berganti syair lagi, kami juga tetap mengejarnya. Hingga sekitar 5 lagu syair cinta rasulullah kami lantunkan.
Lantunan trus berlangsung dan tetap tanpa kalimat basa – basi apapun. Pada suatu bagian lagu, aku lihat syekh melantunkan dengan sedikit memukul – mukul meja. Maka aku spontan berbisik kepadanya “ Apa boleh menabh rebana?
Spontan beliau menjawab “Qalilan. Qalilan….” Sedikit, sedikit jangan keras keras. Aku langsung kasih kode kepada Rahmat dan Irfan untuk mengambil rebana – rebana kami di bus. Beberapa menit kemudianmasing masing dari kami menabuh rebana, dan akhirnya malam menjadi begitu tak tertandingi indahnya bagi kami : pesta cinta kepada Allah dan Rasulullah meneriakkan sahalawat, membunyikan terbang – terbang kerinduan, rebana – rebana kemesraan.
Hatiku berkata : “ wahai manusia, ambillah dunia ini, jilatilah sepuasmu, telanlah uang korupmu, kekuasan karier serakahmu, harta benda curian kapitalisme maniakmu, kemasyuran tanpa tanpa martabatmu, jabatan yang mencampakkanmu setelah beberapa waktu, jam – jam tayang kekonyolan dangkalmu, apapun saja yang diarakusi oleh hati kalian. Ambil. Ambil telah kudapatkan kenikmatan yang satu baris syairnya tidak kuizinkan kalian ganti dengan jumlah uang berpapun dari hasil korupsimu yang jumlahnya bisa dipakai untuk mendirikan negara baru……”
Seusai berpesta, Syekh memeluk Islamiyanto, slahsatu pelatun Shalawat KiaiKanjeng, samapai hampir lima menit. Mereka dan kami menangis. Dan sampai ketika kami berpamitan, kami tidak bertanya atau saling mencatat nama kami, negara asal kami, alamat atau nomer HP kami masing – masing. Tidak perlu nama – nama itu, asal usul itu. Yang perlu adalah sedu sedan itu.

Selasa, 26 Agustus 2008

kangen

Sudah lama kita tak saling minum kopi, Kangen rasanya!

Tapi percayalah, kangen itu baik. Kangen itu makhluk ciptaan Allah yang
tergolong paling indah. Ia mutiara batin, atau api yang menghidupkan jiwa.
Karena kangen yang menggebu, dulu Ibrahim menggembarai bumi dan langit
bertahun-tahun, untuk akhirnya menemukan apa yang paling dibutuhkan oleh
hidupnya: Allah.

Oleh kangen yang tak tertahankan pula, Musa bermaksud membelah kodrat,
menerobos maqam dan ingin memergoki Allah yang amat dicintainya. Tentu saja
gagal, sebab ketika itu ia masih manusia, masih darah daging.

Kangen, membuat seorang istri paham arti kehidupan. Kangen membikin
suaminya, yang pergi nun jauh, membatalkan penyelewengannya sebagai lelaki. Kangen mendorong seorang gadis menancapkan cintanya lebih dalam. Kangen membuat pemuda kekasihnya mengerjakan kesibukan-kesibukan baik untuk memelihara kebersihan rindu yang dinikmatinya.

Seorang istri menghayati perkawinannya seperti menghadapi agama dan
sembahyangnya. Seorang suami, yang suka nakal, bermaksud mengakali eksistensinya: Ia menjadi Bapak yang konservatif di dalam rumah, sementara di luar rumah ia menjadi
lelaki liberal. Banyak sekali suami atau lelaki pribadi belah semacam ini: sehabis menyeleweng, rasa dosa dan rasa kangen kepada keluarganya akan menyiksanya.

Maka seorang suami yang dewasa tahu bagaimana menumbuhkan kangen yang tak
menyiksa. Kangen yang indah dan nikmat.

Seorang dewasa mengerti persis lorong rasa kangennya. Siapa saja penghuni
lorong itu? Suami? Anak-anak? Tetangga? Para jamaah? Kehidupan yang saleh?

Namun pasti, di ujung lorong itu hanya Allahlah adanya.
(Emha Ainun Nadjib/PmBNetDok/20/11/2000)


Jumat, 22 Agustus 2008

SELAMAT DATANG YA RAMADHAN

MOMEN UNTUK PERUBAHAN

Ramadhan 1429 H sebentar lagi menjelang, bulan yang lebih mulia dari seribu bulan itu bagi umat mulim sebentar lagi datang. Puasa menurut caknun di ibaratkan air khomer atau arak, seperti halnya haji air madu, zakat air susu. Kenapa arak? Bukankah itu haram. Sebenarnya bukan dari segi hukum halal haram nya tapi dari prosesnya. Arak di ciptakan dari proses peragian, seperrti hal nya tape (wadagnya halus) yang berasal dari singkong yang (wadag keras) peragian puasa juga seharusnya bisa membuat hati yang keras membatu bisa halus seperti tape. Itulah pemaknaan puasa secara sederhana.

Dalam kehidupan 11 bulan kita terus menerus sibuk mencari sesuatu yang mungkin sesungguhnya tidak kita bawa nantinya. Dan kiranya satu bulan cukup untuk sedikit menghela nafas, sedikit keluar dari pusaran riuh rendah dunia, sedikit “ngaso” sejenak dari jeratan jeratan kehidupan yang menghalalkan segala cara. “Raup” (cuci muka) air ramadhan mungkin bisa membuat kita yang selama ini salah (baik tahu kalau dirinya sedang salah, ataupun tidak tahu / merasa dirinya sedang salah) yang kita punya bisa berganti dengan kebenaran yang dilahirkan di hari hari Idul fitri nanti.

Maka ijinkan saya pribadi sebagai pengelola situs ini mengucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa 1429 H. mohon maaf jika ada kesalahan selama ini.

Dan monggo dinikmati Renungan nya Emha Ainun Nadjib berikut ini

Puasa: Menuju Makan Sejati
(Emha Ainun Nadjib - Budayawan)

Puasa itu jalan sunyi
Tersedia makanan tapi tak dimakan
Tersedia kursi tapi tak diduduki
Tersedia tanah tapi tak dipagari/

Puasa itu jalan sunyi
Menggambar tapi tak terlihat
Bernyanyi tapi tak terdengar
Menangis tapi tak diperhatikan/

Puasa itu jalan sunyi
Menjadi tanpa eksistensi
Pergi menuju kembali
Hadir tapi tak dikenali

ILMU Rasulullah Muhammad, "hanya makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang", telah menjadi pengetahuan hampir setiap pemeluk Agama Islam, tetapi mungkin belum menjadi ilmu. Puasa demi puasa, Ramadlan demi Ramadlan beserta fatwa demi fatwa yang senantiasa menyertainya dengan segala kerendahan hati harus saya katakan belum cukup mengantarkan kita dari permukaan pengetahuan menuju kedalaman ilmu.

Ada jarak yang tak terkirakan antara pengetahuan dengan ilmu, meskipun khasanah kebahasaan kita dengan kalem menyebut ilmu pengetahuan di lembaran-lembaran kamusnya. Dengan berkunjung ke sebuah museum, kita bisa memperoleh pengetahuan tentang sebilah pedang, lengkap dengan semua data tentang panjang-lebarnya, asal-usul sejarahnya, serta logam suku cadangnya, termasuk berapa kepala yang dulu pernah dipenggalnya.

Tetapi, ilmu baru terjadi tatkala pedang itu telah menyatu dengan tangan kita. Bukan saja kita sanggup menggenggamnya dan mendayagunakannya dengan seribu teknik silat; lebih dari itu ilmu ditandai oleh realitas menyeluruh, di mana pedang itu telah menjadi bagian dari diri kita, bagian dari badan kita, akal pikiran kita, emosi hati kita, termasuk budi dan kearifan jiwa kita.

Pengetahuan barulah tataran terendah dari persyaratan mutu dan aktualitas eksistensi mahluk yang bernama manusia. Tetapi, ilmu pun belumlah "langit" tertinggi dalam kosmos "ahsani taqwin" sebaik-baik mahluk - manusia. Sebab, ilmu pedang bisa merupakan awal mula dari tertikamnya dada seseorang. Oleh karena itu, di atas ilmu si penggenggam kebenaran ada langit lebih tinggi yang bernama hubb atau cinta.

Cinta adalah rem, pembijak, pengatif, yang terkandang nikmat terkadang sakit, bagi kemungkinan pembunuhan atau permusuhan yang dipotensialkan oleh ilmu pedang. Ini berlaku pada skala mana pun, di kesempitan pergaulan sehari-hari hingga di keluasan peradaban.

Adapun jika ilmu jika penghayatan akan kebenaran, bersenyawa, bekerja sama, berkoperasi, berposisi, dan berkelangsungan intermanagable, atau denan kata lain "bersuami-istri dengan hubb" atau cinta maka tercapailah tataran "taqwa".

Tanpa itulah target puasa. Taqwa itulah cakrawala perjalanan kemusliman manusia. Taqwa lebih tinggi dari nilai kebenaran dan nilai cinta. Apalagi dibandingkan tataran norma, hukum formal, adat, serta tabung-tabung formal kultural lainnya dalam komunitas atau kejamaahan umat manusia. Taqwa itu suatu atmosfer yang bukan main menyejukkan,menenteramkan, dan membahagiakan, yang terletak di garis kemungkinan
"liga rabb", yakni kemungkinan pertemuan hamba-hamba hina dina macam kita ini dengan Allah. Sekarang bisalah kita membandingkan, apa beda kemungkinannya jika pedang berada di tangan orang berpengetahuan, dengan jika ia tergenggam di tangan orang berilmu saja, atau jika ia tergenggam di tangan orang yang bercinta saja dengan jika ia tergenggam di tangan orang yang bertaqwa.

Kemudian gampanglah bagi kita untuk memproyeksikan: jika pedang itu adalah kekuatan fisik, adalah kekuasan politik, adalah modal dan peluang ekonomi, adalah pasal-pasal hukum, atau apa pun saja. Gampanglah kita perhitungkan: terjaditikaman, siapa yang menikam dan yang tertikam, seberapa dahsyat akibat sejarah dari ketertikaman itu, ataukah mungkin berlangsung suatu ketaqwaan peradaban, di mana pedang tak pernah
menikam, di mana ketajaman pedang ditaqwai untuk hanya menguak kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.

Makan yang sejati

Rasanya tak enakuntuk memuji-muji Muhammad. Ada situasi psikologis tertentu dalam pergaulan teologis dan kultural di lapangan integrasi nasional kita, yang menjadi sumber ketidakenakan tersebut. Sepenuhnya saya memahami itu. Secara kultural, untuk situasi semacam itu, saya harus pelti" pujian. Tetapi, dalam konteks ilmu kita tidak
bisa menemukan argumentasi apa pun untuk melakukan hal yang sama. Tidak kebetulan bahwa arti harfiah kata "Muhammad adalah juga yang terpuji". Apa yang ingin saya lakukan dengan tulisan ini hanyalah mencicil landasan rasional agar kita berhak menyebut rasul terakhir itu dengan Muhammad. Kalau tak cukup pengetahuan dan ilmu, syukur cinta dan ketaqwaan, maka jika kita memanggilnya dengan mesra "Ya Muhammad
kekasih", rasanya kosong, tak ada muatannya. Muhammad menolehkan kepalanya dan melirikkan bola matanya ke arah kita, tetapi hati, nalar dan budinya tak ikut merasa terpanggil, karena panggilan kita memang tanpa nalar, hati dan budi. Beliau pasti kecewa.

"Makan hanya ketika lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang" Adalah formula tentang kesehatan hidup. Tak hanya menyangkut tubuh, tapi juga keseluruhan mental sejarah. Ia adalah contoh soal lebih dari sekadar teori keilmuan tentang keefektifan dan efisiensi.

Selama ini pemahaman-pemahaman nilai budaya kita cenderung mentabukan perut. Orang yang hidupnya terlalu profesional dan hanya mencari uang, kita sebut "diperbudak oleh perut". Para koruptor kita gelari "hamba perut" yang mengorbankan kepentingan negara dan rakyat demi perutnya sendiri.

Padahal ia bukanlah hamba perut. Sebab, kebutuhan perut amat sederhana dan terbatas. Ia sekadar penampung dan distributor sejumlah zat yang diperlukan untuk memelihara kesehatan tubuh.

Perut tak pernah mempersoalkan, apakah kita memilih nasi pecel atau pizza, lembur kuring atau masakan Jepang.

Yang menuntut berlebih pertama-tama adalah lidah. Perut tidak menolak untuk disantuni dengan jenis makanan cukup seharga seribu rupiah. Tetapi, lidah mendorong kita harus mengeluarkan sepuluh ribu, seratus ribu, aau terkadang sejuta rupiah.

Mahluk lidah termasuk yang menghuni batas antara jasmani dengan rohani. Satu kaki lidah berpijak di kosmos jasmani, kaki lainnya berpijak di semesta rohani. Dengan kaki yang pertama ia memanggul kompleks tentang rasa dan selera; tak cukup dengan standar 4 sehat 5 sempurna, ia membutuhkan variasi dan kemewahan. Semestinya cukup di warung pojok pasar, tapi bagian lidah yang ini memperkuda manusia untuk mencari
berbagai jenis makanan, inovasi dan paradigma teknologi makanan, yang dicari ke seantero kota dan desa. Biayanya menjadi ratusan kali lipat.

Dengan kaki lainnya lidah memikul penyakit yang berasal dari suatu dunia misterius, yang bernama mentalitas, nafsu, serta kecenderungan-kecenderungan aneh yang mensifati budaya manusia. Makan,yang dalam konteks perut hanya berarti menjaga kesehatan, di kaki lidah itu diperluas menjadi bagian dari kompleks kultur, status sosial, gengsi, feodalisme, kepriyayian, serta penyakit-penyakit kejiwaan komunitas manusia lainnya.

Kecenderungan ini membuat makan tidak lagi sejati dengan konteks perut dan kesehatan tubuh, melainkan dipalsukan, dimanipulir atau diartifisialkan menjadi urusan-urusan kultur danperadaban, yang biayanya menjadi amat, sangat mahal. Budaya artifisialisasi makan ini dieksploitasi dan kemudian dipacu oleh etos industrialisasi segala
bidang kehidupan, serta disahkan oleh kepercayaan budaya, bahwa harus senantiasa ada proses kreatif: orang menyelenggarakan modifikasi budaya makan, pembaruan teknologi konsumsi, jenis makanannya, panggung tempat makannya, nuansanya, lagu-lagu pengiringnya, pewarnaan meja kursi dindingnya hingga karaokenya.

Artifisialisasi budaya makan itu akhirnya juga menciptakan berbagai ketergantunan manusia, sehingga agar selamat sejahtera dalam keterlanjuran ketergantungan itu, manusia bernegosiasi di bursa efek,menyunat uang proyek, memborong gunung-gunung dan hutan-hutan, bahkan berperang dan membunuh satu sama lain.
Padahal perut hanya membutuhkan "makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang".

Maka yang bernama "makan sejati" ialah makan yang sungguh-sungguh untuk perut. Adapun yang pada umumnya kita lakukan selama ini adalah "memberi makan kepada nafsu".

Perut amat sangat terbatas dan Allah mengajarinya untuk tahu membatasi diri. Sementara nafsu adalah api yang tak terhingga skala perbesaran atau pemuaiannya. Jika filosofi makan dirobek dan dibocorkan menuju banjir bandang nafsu tak terbatas, jika ia diartifisialkan dan dipalsukan dan tampaknya itulah salah satu saham utama beribu konflik dan ketidakadilan dalam sejarah umat manusia maka sesungguhnya itulah
contoh paling konkret dari terbunuhnya efisiensi dan keefektifan.

Rekayasa budaya makan pada masyarakat kita, dari naluri sehari-hari hingga aplikasinya di pasal-pasal rancangan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, mengandung inefisiensi atau keborosan dan keserakahan, yang terbukti mengancam alam dan kehidupan manusia sendiri; di samping sangat tidak efektif mencapai hakikat tujuan makan itu sendiri.

Kebutuhan sejati

Aktivitas puasa selalu diartikan - dan memang benar demikian - sebagai peperangan melawan nafsu. Cuma barangkali karena pengetahuan dan ilmu kita tentang musuh yang harus diperangi itu tidak bertambah, maka strategi dan taktik perang kita pun kurang berkembang.

Kalau kita mendengar tentang nafsu makan, asosiasi kita menunjuk ke makan, bukan ke nafsunya. Maka ketika istri kita ke pasar, yang dibeli terutama adalah pesanan-pesanan nafsu, bukan kapasitas kebutuhan makan yang diperlukan. Setiap pelaku puasa punya pengalaman untuk cenderung mendambakan dan menumpuk berbagai jenismakanan dan minuman sepanjang hari, kemudian ketika saat berbuka tiba, ia baru tahu, bahwa perut sama sekali tidak membutuhkan sebanyak dan semewah itu.

Pelajaran yang diperoleh dari peristiwa semacam itu seharusnya adalah kesanggupan memilahkan antara dorongan nafsu dengan kebutuhan makan. Kegiatan puasa jadinya bukanlah pertempuran melawan "tidak boleh makan" atau "tidak adanya makanan", melainkan melawan nafsu itu sendiri yang menuntut pengadaan lebih dari sekadar makanan.

Puasa adalah penguraian "nafsu" dari "makan". Untuk tidak makan dari subuh hingga maghrib, putra kita yang baru duduk di kelas III Sekolah Dasar saja pun sudah sanggup. Untuk "tidak makan" jauh lebih gampang dan ringan dibanding untuk "tiak bernafsu makan", terutama bagi para penghayat "makan yang sejati".

Seorang Sufi yang taraf pergaulannya dengan makan tinggal hanya berkonteks kesehatan tubuh, dalam hidupnya ia tak pernah lagi ingat makan, kecuali ketika perutnya lapar. Ia bukan merekayasa untuk hanya makan ketika lapar, tapi memang betul-betul sudah tak ingat makan sampai perutnya mengingatkan, bahwa ia lapar.

Untuk ingat lapar, cukup perut yang melakukannya, tapi untuk berhenti makan sebelum kenyang, manusia memerlukan dimensi-dimensi rohani tinggi kemanusiaannya untuk mengingatnya. Ia memerlukan nalar ilmu kesehatan tentang makan yang sehat, yakni tentang kurang dan tak lebih. Ia juga memerlukan ilmu dan kearifan yang lebih tinggi untuk melatih ketepatan kapasitas makan, agar ia memperoleh ketepatan pula dalam aktivitas "makan" yang lain di bidang-bidang kehidupan yang lebih luas.

Dalam pelajaran keaktoran teater, ada metoda "biasakan makan minum yang pas, agar dalam bermain drama engkau tidak overacting dan juga tidak underacting."

Padahal ilmu "makan sejati" atau "makan pas"-nya Rasulullah Muhammad juga berlaku untuk segala makan dalam kehidupan.
Kita masuk ke toko serba ada dengan segala gemerlap yang tidak memanggil-manggil kebutuhan kita, melainkan mengundang nafsu kita. Saya mohon maaf, bukan saya bermaksud mematikan nafkah para pedagang, tetapi bermilyar-milyar rupiah dikeluarkan orang untuk membeli pelayanan atas nafsu, bukan pelayanan atas kebutuhan.

Program-program pembangunan kita memacu tahyul; mengetalasekan beribu-ribu jenis konsumsi yang tak sejati, yang sebenarnya belum tentu dibutuhkan oleh konsumen. Iklan-iklan industri adalah kendaraan budaya yang mengangkut jutaan manusia dari terminal kebutuhan ke terminal nafsu, dari kesejatian dan kepalsuan. Mereka dicetak untuk merasa rendah atau bahkan merasa tak ada, apabila tidak memiliki celana model ini dan kosmetika model itu. Merk-merk dagang adalah strata tahyul dan klenik.
Para pasien di rumah sakit budaya tinggi, budaya gengsi, budaya kelas priyayi, menyerbu warung-warung status modernitas tidak untuk membeli barang, melainkan membeli anggapan-anggapan tentang barang.
Salah satu wajah dunia industri modern adalah tahyul konsumtifisme, yang menjadi sumber dari berbagai konflik serius di bidang persaingan ekonomi, pergulatan kekuasaan politik hingga penyelewengan hukum.
Ini adalah kata-kata "purba", yang terasa lucu dan naif untuk diperdengarkan. Tapi, tak bisa kita menghapusnya, karena setiap orang - setidaknya beberapa hari menjelang ajalnya - akan mendengar kata-kata semacam itu dari lubuk hati dan kesadarannya sendiri.

Puasa mengajarkan dan melatih pelaku-pelakunya untuk makan, untuk memiliki sejumlah uang dan kekayaan, untuk bersedia menggenggam kekuasaan, untuk menjadi ini-itu atau melakukan apa pun saja hanya ketika benar-benar dalam keadaan "lapar sejati", bukan dalam keadaan "merasa lapas karena nafsu".

Jika orang menjalankan puasa dengan pengetahuan, ilmu, cinta, dan ketaqwaan, ia akan terlatih untuk bertahan pada "makan yang sejati". Yakni, terlatih untuk mengambil jarak dari nafsu. Terlatih untuk tidak melakukan penumpukan kuasa dan milik, tidak melakukan monopoli,
ketidakadilan, serta penindasan, karena telah diketahui dan dialaminya,bahwa itu semua adalah "makanan palsu".

/Tetapi, alangkah sedihnya menyaksikan, betapa dunia ini diisi oleh banyak manusia yang tak henti-hentinya makan, padahal ia tak lapar, serta oleh banyak manusia yang tak habis-habisnya makan, padahal ia sudah amat kekenyangan./

Untunglah, bahwa bagi para pelaku puasa sejati, kesabaran untuk
menyaksikan keburaman hidup semacam itu bisa justru meningkatkan
perolehan kemuliaan dan kesejatiannya.


Kamis, 21 Agustus 2008

Tikungan Iblis (saatnya mendengar kritik iblis)

Iblis Bukan Kompetitor Tuhan

Dalam sepuluh tahun terakhir sejak reformasi bergulir, perkembangan teater modern, sastra atau kesenian pada umumnya menunjukkan gejala makin terasingnya kesenian dari persoalan-persoalan publik. Tema-tema personal seperti cinta, maut, seks, kerinduan, atau apa saja, termasuk hal-hal non-sense, terasa dominan.

Yang terjadi kemudian adalah: kelumpuhan di berbagai bidang; masyarakat mengalami krisis presentasi diri, sehngga merasa tak berdaya untuk merespons secara kritis gelombang persoalan yang digerakkan oleh kapitalisme, industrialisme dan materialisme.

Berdasarkan berbagai pandangan di atas, kami –Teater Dinasti, Kiai Kanjeng dan Emha Ainun Nadjib– merasa wajib memberikan respons kritis atas berbagai persoalan sosial, politik dan kebudayaan bangsa ini. Tidak terlalu berlebihan jika kami masih meyakini bahwa kesenian masih mampu menjadi media untuk mengekspresikan ide-ide pencerahan baik secara tematik maupun simbolik. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, kami mencoba menawarkan satu reportoar pertunjukan Tikungan Iblis.

Tikungan iblis mencoba memberikan paradigma yang lain dan berbeda. Iblis bukan kompetitor Tuhan untuk menguasai manusia. Iblis adalah sosok penting yang menjadi ’alat’ Tuhan untuk menunjukkan kebesaranNya bagi umat manusia. Iblis adalah sosok yang menjadi aktor strategis bagi Tuhan untuk memberikan berbagai tantangan bagi manusia untuk memperjuangkan martabat dan eksistensinya. Ia menawarkan ’anti tesis’ atas ’tesi’ Tuhan, agar manusia mampu menggenggam sintesa: nilai-nilai Ilahiyah secara utuh, mendasar dan mengakar karena nilai-nilai itu tidak otomatis hadir sebagai paket, melainkan diraih melalui perjuangan yang keras dan mendidih. Sehingga ketika manusia mengakui eksistensi Tuhan –dengan seluruh nilai-nilai idealnya– maka pengakuan itu tidak artifisial, melainkan substansial. Lakon ini bukan merupakan ’pembelaan’ atas Iblis melainkan mencoba memperluas cara pandang manusia atas sosok Iblis.

Pentas Dinasti kali ini nanti merupakan hasil kerjasama Kedaulatan Rakyat dengan Progress Jogja Production.
******

TEATER DINASTI

mempersembahkan:

Pentas Kebahagiaan Keluarga Teater Dinasti “TIKUNGAN IBLIS"

Pada Hari Sabtu, 23 Agustus 2008, Pukul 20.00 WIB
Di Gedung Conser Hall - Taman Budaya Yogyakarta (TBY)
Jl. Sriwedani No. 1 Yogyakarta

HTM:
Rp. 25.000, - untuk FESTIVAL (lesehan)
Rp. 50.000, - untuk VIP (kursi)

TIKET BOX:
PROGRESS – 0274-618810
KANTIN TAMAN BUDAYA YOGYAKARTA
KANTOR PROMOSI KR –0274-895257

PARA PEMAIN:
Tertib Fadjar Suharno, Bambang Susiawan, Joko Kamto, Novi Budianto, Seteng, Untung Basuki, Cithut Puspawilaga, Eko Winardi, Jemek Supardi, Toro, Islamiyanto, Novia Kolopaking,

PARA PEMUSIK:
Joko, Jijit, Godor Widodo, Yoyok, Bayu, Sugiyanto, Hari Murti, Joko Kusnun, Mas Is, Bobiet, Novi

TIM SUTRADARA:
Fajar Suharno, Jujuk Prabowo

Konfirmasi Acara: Eko Nuryono 081904138595

jangan batalkan cinta part 5 (habis)

Orang mendambakan kesejahteraan bersama
Tapi tak punya apa-apa selain kemauan pribadinya
Maka engkau minggir, menghindarkan persaingan
Engkau usir dirimu sendiri dari ramainya perebutan
Merintis keadilan dengan menomerduakan dirimu sendiri
Tetapi mukamu diludahi

Orang bilang sedang menjalankan reformasi
Maka engkau berpuasa, tak ikut berkuasa
Tak ikut mencuri dan menumpuk harta
Tapi engkau dikutuk dan dibikin sengsara
Dengarlah kubisikkan sesuatu ke telingamu
Aku nyatakan bahwa aku bersetia mengikutimu
Terus menegakkan cinta, meskipun orang melecehkannya
Terus membangun kemesraan, meskipun orang merusaknya
Terus menumbuhkan kedamaian, meskipun orang merobohkannya

Rabu, 20 Agustus 2008

jangan batalkan cinta part 4

Engkau mendengar negeri ini
Sedang membangun demokrasi
Maka kau siapkan modal utama
Yakni kesediaan untuk saling berendah hati
Engkau dewasakan pikiran
Bahkan kau sisihkan hak-hakmu sendiri
Agar setiap orang mendapatkan ruang
Tetapi engkau dihina dan direndahkan
Oleh saudara-saudaramu sendiri
Yang dirinya dipenuhi oleh kesadaran
Tentang hak-hak pribadi

Engkau mendengar bangsa ini
Sedang merangkai kebersamaan
Maka engkau hindarkan kemenangan
Tak tega melihat siapapun engkau kalahkan
Engkau gali cinta dan engkau temukan
Yang bernama diri adalah kebersamaan
Tapi jalanmu dibuntu, engkau dicelakakan
Oleh saudara-saudaramu sendiri
Yang menjunjung-junjung karier pribadi
Yang mereka sebut kebenaran tertinggi

Selasa, 19 Agustus 2008

jangan batalkan cinta part 3

Engkau mendengar bangsa ini memerlukan kemesraan
Maka engkau menelusuri nusantara
Mengakrabi setiap manusia
Merangkul alam dan segala hamba
Mengikat tali sejati persaudaraan
Tetapi engkau ditertawakan oleh kekuasaan
Engkau tersisih dari lingkaran persaingan

Dengarlah kubisikkan sesuatu ke telingamu
Sudah lama aku menjadi bagian dari dirimu
Aku ikut berdetak dengan jantungmu
Mengalir dalam darahmu
Kusyukuri gembiramu, kutangisi sedihmu
Tolong jangan ajak aku bunuh diri
Dengan mundur dari nikmatnya kemesraan ini


Kamis, 14 Agustus 2008

jangan batalkan cinta part 2

Engkau mendengar negeri ini membutuhkan cinta
Maka setiap langkahmu hanya langkah cinta
Sorot matamu hanya sorot mata cinta
Uluran tanganmu hanya uluran tangan cinta
Lagu yang kau nyanyikan hanya lagu cinta
Puisi yang kau gumamkan hanya puisi cinta
Tapi engkau dihardik oleh orang-orang
Yang memancarkan wajah kebencian

Dengarlah kubisikkan sesuatu ke telingamu
Lihatlah, aku siap di sini sebagai pengikutmu
Aku memohon jangan batalkan cinta
Karena penderitaan oleh kutukan manusia
Karena kesengsaraan dalam pengucilan
Masih lebih mulia dibanding hidup kerdil dalam kebencian


Rabu, 13 Agustus 2008

Jangan Batalkan cinta part 1

Engkau mendengar negeri ini butuh kedamaian
Maka engkau berkeliling membawa hati damai
Menyebarkan rasa damai, membuka sawah-sawah ilmu damai
Menaburkan benih prinsip damai, menegakkan pepohonan damai
Tetapi engkau dicegat oleh orang-orang
Yang mengacung-acungkan pedang kepentingan

Dengarlah kubisikkan sesuatu ke telingamu
Tengoklah, aku berdiri di belakangmu
Aku memohon jangan hentikan langkah kita
Karena jikapun kita harus mati oleh pedang-pedang itu
Kematian kita tetap akan terasa lebih nikmat
Dibanding hidup dalam kecemasan berperang

Selasa, 12 Agustus 2008

Berlindung Dari 5 Kesombongan

Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari kesombongan orang berkuasa, yang
berdiri gagah tanpa punya malu karena merasa diri mereka lebih tinggi dari
rakyatnya, padahal rakyatnya itulah yang meletakkannya di kursi dan membiayai
hidup mereka, namun rakyat itu pulalah yang menjadi sasaran dari palu dan
senapan para penguasa

Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari kesombongan orang kaya, yang berjalan
acuh tak acuh dan mendongakkan kepalanya karena merasa dirinya lebih
penting di banding orang-orang lainnya, padahal orang banyak itulah sumber penghidupan dan kekayaannya, namun orang banyak itu pulalah yang selalu disuruh siap dibeli kehormatannya dengan uang dan harta mereka

Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari kesombongan orang pandai, yang selalu
merasa lebih hebat dari orang lainnya, sehingga ia membuka mulutnya
lebar-lebar dan memuntahkan hujan kata-kata yang berasal dari perasaan pandai dan hebat di dalam dirinya, padahal inti kepandaian adalah kesanggupan untuk mendangarkan serta kerendahan hati untuk tidak banyak membuka mulut, dan puncak tertinggi keterpelajaran berbanding sejajar dengan tingkat kesadaran atas kebodohan diri

Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari kesombongan orang masyhur yang selalu
merasa lebih khusus dibanding orang-orang disekitarnya, yang menyangka bahwa
kemasyhuran adalah kelebihan derajat atas orang lainnya, yang mengira bahwa
kemasyhuran adalah sama dengan keunggulan dan kehebatan, yang perilakunya
mengandalkan "karena aku masyhur maka aku hebat", bukan membuktikan bahwa
"karena aku bermanfaat maka aku (terpaksa) masyhur"

Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari kesombongan orang alim saleh, yang ke
mana-mana sibuk merasa bahwa yang selain dirinya adalah najis, yang tidak
punya kemampuan lain kecuali merasa dirinya suci dan selalu benar, yang beranggapan bahwa Tuhan adalah anak buahnya, bahwa para Nabi dan Rasul adalah staf dan karyawannya untuk melaksanakan kepentingan-kepentingan diri dan golongannya

Syair Tarian Syukur

Aku tak pernah bisa ingat kamu, Muhammad
Karena kamulah yang menggandeng tangan kami semua berduyun-duyun ke rumah Allah yang sejuk
Kalau awan menggelapkan matahari, aku ingat kamu dalam hati prihatin
Kalau kemudian awan menyibak, aku ingat kamu dalam rasa syukur yang tak berujung Muhammad, sesekali kami boleh manja, dong
Diam-diam kami cemburu pada isra' mu, diam-diam kami kangen pada mi'raj mu
Ajak dong kami, setidaknya dalam kisah dan impian
Ayo, Muhammad kekasih, hadirlah selalu kedalam jiwa kami
Seperti dulu Kaum Anshar di Madinah menyambutmu, kami juga ingin menyongsong hijrahmu kedalam jiwa kami yang rindu.


Bukan Hanya Milik Kematian

Kalau ada orang meninggal, kita ucapkan inna lillahi wa inna ilaihi roji'un.
Sesungguhnya kita semua ini milik Allah dan pasti kembali hanya kepadaNya, mustahil bisa balik ke yang selain Allah.
Dan karena manusia itu penuh kelemahan, gampang terjebak oleh slogan dan mudah dikelabuhi oleh rutinitas - maka kita sering lupa bahwa kalimat itu tidak hanya berlaku untuk kesadaran tentang kematian, melainkan terutama juga merupakan dasar ilmu dan sikap terhadap kehidupan.
Maka hanya tatkala berjumpa dengan realitas maut, kita baru ngeh bahwa semua ini milik Allah.
Dalam kehidupan sehari-hari kita begitu yakin dan mantap bahwa kita memiliki sesuatu, punya modal, memegang hak milik atas tanah, kekuasaan dlsb.
Dan untuk itu kita bikin kompetisi ekonomi dan karir politik, perang dan kapitalisasi senjata, perlombaan properti dan aksesori budaya, atau mengunyah mode demi mode kebudayaan sampai air liur kita meleleh-leleh.
Padahal teknologi tercanggih di abad 500 kelakpun tak akan sanggup menciptakan segenggam tanah, selembar daun, secipratan minyak atau sehelai rambut.

Selasa, 29 Juli 2008

SAHABAT DAN UMMAT

Maiyah ialah: kalau Anda shalat berjamaah di Masjid, pastikah Anda tahu siapa yang shalat berjajar di samping kanan atau kirimi? Tahu siapa namanya? Kira-kira berapa umurnya? Rumahnya di mana? Sudah kawin atau belum? Berapa anaknya? Kerjanya apa? Kaya atau miskin atau sedang-sedang saja? Apakah teman sejamaahmu itu hatinya sedang gembira ataukah sedih? Sedang punya problem atau tidak?
Apakah sebuah jamaah di masjid pernah menyelenggarakan lita'arofuu, berkenalan satu sama lain, sebagaimana Allah meniscayakan segala makhluknya? Pasti Anda dan orang semasjid itu adalah saudara seiman seislam. Anda dengan mereka yasyuddu ba'dhuhum ba'dho. Saling memperkuat satu sama lain. Ibarat satu badan, kalau kaki terjepit, mata yang menangis. Kalau pipi ditampar, hati yang sedih. Apakah memang sudah demikian nilai perhubungan Anda dengan orang-orang yang bareng bersembahyang dengan Anda?
Ataukah Anda tidak pernah kenal mereka kecuali satu dua belaka yang kebetulan pernah berkenalan? Dan Anda tidak tahu apakah teman shalat Anda itu masih punya beras atau tidak di rumahnya, juga Anda tidak punya siapa-siapa di masjid itu untuk mengungkapkan bahwa anak Anda sakit keras sementara istri Anda rewel.
Padahal katanya ummat Islam itu satu badan. Kalau ada satu saja orang kelaparan dan tidak ada sistem hubungan yang memungkinkan ia ditolong oleh lainnya, maka semua ikut berdosa.
Apakah dengan orang-orang yang bareng bersujud itu Anda saling terikat oleh nilai-nilai persaudaraan, logika ukhuwah, kesetiaan moral, kewajiban tolong menolong - ataukah Anda semua ini tiap hari berjamaah shalat tetapi kehidupan nyata Anda berlangsung sendiri-sendiri, individual dan egoistik?
Jangankan lagi peningkatan mutu dari keislaman ke keimanan. Dari kualitas Muslim ke derajat Mu'min. Mu'min, iman, aman..karena Anda satu ummat dan karena Anda mu'min maka segala perilaku dan bicara Anda selalu mengamankan semua yang ada di sekitar Anda. Apakah dalam berdagang Anda mengamankan saudara-saudaramu karena engkau Mu'min? Apakah dalam menjalankan kehidupan sehari-hari Anda menciptakan rasa aman bagi saudara-saudaramu? Apakah parpolmu, kampanyemu, jabatanmu, uangmu, kekuasaanmu, kekuatanmu, akses-aksesmu - membuat saudara-saudaramu aman, ataukah justru mereka merasa terancam?
Kalau Megawati adalah presiden PDIP maka yang non-PDIP merasa tidak aman. Maka Megawati dilarang oleh akal sehat dan moralitas kebangsaan untuk menjadi Presiden PDIP, sebab kewajiban formalnya adalah menjadi Presiden Republik Indonesia. Sehingga ia menjamin keamanan semua pihak di Indonesia, bahkan menjamin keamanan tanah, pohon, angin, air, kalau perlu juga Jin dan hantu-hantu di seantero Indonesia.
Kalau pemimpin engkau ambil dari suatu golongan, maka siapkan dua hal dalam hidupmu: engkau menjadi ancaman, atau engkau berposisi terancam.
Apakah Gus Dur merasa aman atas Amin Rais? Apakah Amin Rais merasa aman atas Gus Dur? Demikian juga pemimpin-pemimpin dan berbagai golongan social dan politik di negeri ini, adakah rasa aman satu sama lain? Bahkan kalau suatu malam Anda naik motor lewat tuwangan atau bulak dan Anda dibegal orang motor dan dompet direbut - jangan membayangkan bahwa pembegalmu itu orang PKI atau orang kafir. Besok malam engkau sebenarnya bisa ketemu dia di pengajian, lusa Jum'atan bareng,, dan nanti kalau dia punya duit juga akan bareng kami naik haji.
Sedangkan dengan tetanggamu yang seiman sebangsa sesuku sekampung saja engkau tidak sungguh-sungguh merasa aman. Jadi tidak rasional kalau engkau mengira bahwa da Ummat Islam yang kalbun-yan yasyuddu ba'dhuhum ba'dho. Yang saling tolong menolong dan melindungi satu sama lain.
Maka untuk tahap sekarang ini, sebelum tercipta dan terbangun "ummat", tentukan dan pastikan dulu siapa "sahabat"mu. Sahabat yang kita saling gembira kalau ada satu yang gembira, saling sedih kalau ada satu yang bersedih. Saling setia, bertanggung jawab, santun dan berkasih sayang.
Mungkin "sahabat"mu itu hanya dua orang, tiga orang, sepuluh orang atau berapapun. Tapi mereka tidak membiarkan anakmu sakit tanpa pengobatan, dan engkau tidak membiarkan keluarga mereka kelaparan dan berduka. Tidak usah membayangkan Maiyah Indonesia Raya dulu, cukup tentukan yang jelas siapa-siapa "sahabat"mu dalam kehidupan yang penuh tekanan dan ancaman ini.
Itulah "Ummat" kecilmu, "ummat" sejatimu. Itulah Indonesia kecilmu, Indonesia sejatimu. Itulah maiyah.******(Emha Ainun Nadjib/2002/PmBNetDok)

Membeli Fitnah

BENARKAH ada sanak saudaramu yang harus berkorban sedemikian besar, sampai pun nyawanya, demi keserakahan sejumlah orang -- yang bahkan tak dikenalnya -- terhadap sekati upah?
Benarkah anggota keluarga Anda harus membayar sebegitu mahal kepada pentas primordialisme yang sempit? Demi fanatisme dan taqlid yang sebuta- butanya. Atau, bahkan demi pertarungan yang hanya berisi kebodohan, nafsu dan emosi yang tidak jernih arahnya, serta ketidakpahaman dan ketergesaan. Maka kecemasan yang saya alami tidak hanya terhadap kemungkinan chaos yang heboh, tapi juga terhadap kebebalan yang 'tenang'.


Diam-diam, sesungguhnya, jauh di lubuk jiwa saya terdapat juga rasa asyik menyaksikan atau mengalami benturan dan peperangan. Tapi untuk apa dulu? Bersediakah Anda mengalami itu semua untuk suatu kesibukan nasional satu bulan yang pada hakikat dan kenyataannya tidak ada keterkaitan yang realistis dengan perjuangan nasib Anda sendiri sebagai rakyat kecil?

Bertamulah ke rumah orang-orang pandai. Para dosen, pastur atau kiai. Bertanyalah kepadanya apakah gegap gempita yang sedang kita selenggarakan hari-hari ini memiliki prospek yang nyata terhadap impian perubahan yang sesungguhnya, yang nasib struktural rakyat bergantung padanya?

Maka bergembiralah dengan semua pesta itu, namun dengan sanggup melakukan pengaturan takaran. Pacing. Bukan menyediakan pasak yang jauh lebih besar dibanding tiang rapuh yang tersedia sekarang ini.

Ada anak-anak muda 'minta izin' -- anehnya -- kepada saya. "Cak, biar deh saya dipenjara, asalkan puas hati ini. Ayolah kapan kita serbu dan bakar...!"

Tentu saja saya masih bisa tidak gila untuk memberikan jawaban yang tepat terhadap desakan emosi kerakyatan, yang sesungguhnya saya mafhum benar latar belakangnya. Semangatnya penuh enerji 'jihad', tapi belum ada titik koordinat yang menyilangkan pertemuan antara konteks atau tema dengan momentum yang tepat.

Kalau boleh, naluri seperti itu hendaklah 'dipenjarakan' bis-shobri was- sholah -- sampai ada konteks dan sa'ah sejarah di mana gumpalan tenaga semacam itu kita perlukan.

***
JIWA kekanak-kanakan saya juga punya semacam rasa senang terhadap letusan-letusan kecil atau besar, dengan tema apapun. Tapi yang disebut 'aga- ma' adalah kesanggupan mental dan akal budi untuk tidak menggerakkan kaki kehidupan ini berdasarkan apa yang kita sukai, melainkan berdasarkan apa yang wajib dan benar menurut Allah.
Saya mohon maaf untuk mengatakan hal seperti ini. Bahkan terhadap fitnah-fitnah besar dalam hidup saya, Insya Allah saya bukan hanya tak bersedia meladeni atau mengeluarkan enerji sedikit pun, melainkan kalau perlu, saya bersedia membeli fitnah-fitnah itu. Saya bersedia membayar orang- orang yang memfitnah saya, demi ma'unah, fadhilah dan karomah.

Maka kalau saya merasa cemas, Insya Allah kecemasan yang saya maksudkan bukanlah situasi mental, melainkan manifestasi dari kesadaran akan pengetahuan dan kewajiban hidup.

Pernahkah Anda bertanya kepada diri sendiri seberapa besar kadar keprihatinan dan kecemasan Anda terhadap tingkat kemunkaran politik, hukum dan ekonomi di sekitar kita.

Seberapa besar pulalah kecemasan Anda terhadap kenyataan betapa orang- orang justru tidak cemas terhadap itu semua? Seberapa cemaskah Anda terhadap ketidakpedulian kita semua atas seberapa jauh bangsa ini mengalami 'defisit nilai' demokrasi, moral, keberbudayaan dan keberadaan. Dalam bentuknya yang kasar dan transparan, maupun yang halus, canggih dan kita sangka kebaikan dan ketenteraman? ***
(Emha Ainun Najib/2007/PmBNetDok)

Rabu, 23 Juli 2008

Allah dan Slang-slang AC

Aku ini kere yang sering memperoleh kesempatan untuk munggah mbale. Maksudku, karena dari hari ke hari hidupku hampir selalu di perjalanan dan berpindah-pindah tempat untuk memenuhi undangan-undangan – baik dari orang-orang yang benar-benar mempercayaiku, maupun dari orang-orang yang sekedar membutuhkanku namun diam-diam ngedumel di dalam hati mereka – maka terkadang aku diinapkan di hotel-hotel.
Sesekali di hotel berbintang banyak. Saat lain di hotel sedengan. Terkadang di losmen, di mess, atau di rumah kosong yang tak ditempati karena si empunya tidak mungkin membagi punggungnya ditugel-tugel jadi banyak agar bisa menempati banyak rumahnya. Yang aku selalu merasa terancam adalah kalau ditidurkan di rumah orang, artinya di rumah yang dihuni oleh sebuah rumah tangga. Soalnya pasti tuan rumahku orang baik, selalu menjamu dan menghormati secara maksimal, menyediakan makan minum dan tempat tidur yang lebih dari layak. Kemudian kami harus dayoh-dayoh-an penuh sopan santun dan wajib penuh basa basi. Lantas sekitar jam 23.00 aku dipersilahkan tidur – dan inilah puncak ancaman bagiku. Mana mungkin aku tidur jam segitu sampai pagi. Aku tidak mampu menikmati tidur sebagai acara tidur. Maksudku, aku harus selalu bekerja keras sampai badanku tidak kuat dan lantas secara alamiah aku tidur. Aku tidak pernah akrab dengan ranjang dan kasur, sebab aku
mendatanginya hanya ketika aku sudah sangat mengantuk dan kesadaranku tinggal lima watt. Tak mungkin aku bergaul intensif dengan siapapun dan dengan apapun hanya dengan bekal kesadaran lima watt.
Bukannya aku meremehkan tidur. Tidur itu sangat penting. Tetapi bagiku tidur itu bukan terutama merupakan mekanisme budaya atau kegiatan budaya dalam hidupmu. Tidur itu kegiatan alam. Pekerjaan natural. Itu keharusan atau sunnah dari Allah pada momentum tertentu setiap hari. Oleh karena itu sering aku heran kepada orang-orang yang begitu sibuk mengurusi ranjang, membeli kasur dengan segala keindahannya. Padahal kasur itu urusannya orang tidur. Dan tidur itu urusannya orang mengantuk. Dan kalau orang sudah dalam keadaan sangat mengantuk, ia hampir tidak perduli apakah yang di depannya itu kasur ataukah tikar. Oleh karena itu bagiku, tidur tidak perlu aku programkan dalam kebudayaan. Ia alamiah.
*****
Pertanyaan yang ingin kuajukan dalam tulisan hari ini adalah: apakah kesadaran dan pergaulan kita dengan Allah itu merupakan sesuatu yang engkau biarkan berlangsung alamiah, ataukah perlu engkau terjemahkan ke dalam rancangan-rancangan budaya? Termasuk di sini, berapa watt-kah kapasitas kesadaran dan pergaulan kita dengan Allah swt.?
Itulah sebabnya di awal tulisan ini aku bercerita tentang hotel-hotel. Pada suatu senja bersama sejumlah kawan aku mencari mushallah di sebuah hotel besar internasional di Jakarta. Kami hendak maghriban bareng menjelang menghadiri pembukaan Pameran Lukisan Kaligrafi di hotel tsb.
Kami berjalan menerobos bagian-bagian bawah dari hotel itu. Kami melewati lorong-lorong panjang dan berliku-liku. Akhirnya tiba di mushallah yang terletak sangat di pojok dan tersembunyi. Kalau sendiri, tak bisa kujamin aku akan bisa menemukannya.
Seusai shalat, aku hendak berdoa macam-macam, yang mendadak yang bersuara dalam hatiku adalah keluhan, dan kuucapkan itu perlahan-lahan. "Ya Allah Kekasihku, apakah Engkau merasa sepi? Engkau di sembunyikan di sini, di pojok bawah. Engkau bukan sesuatu yang penting bagi rancangan dan konsep hotel yang mewah ini. Engkau tidak primer. Engkau tidak nomer satu. Engkau tidak disediakan tempat di etalase terpenting dari performance hotel ini. Ketika para arsitek membangun tempat ini, tak ada alokasi atau ingatan tentangMu, barangkali. Rumah atau mushallaMu ini tampaknya juga tidak sejak semula dibangun sebagai mushalla. RumahMu ini sekedar sebuah ruangan yang dipaksakan untuk dipakai sebagai tempat shalat, karena kebetulan banyak karyawan hotel ini yang beragama Islam. Ya Allah, apakah Engkau merasa kesepian? Tidak. Aku tahu Engkau tidak kesepian. Engkau tidak bersemayam hanya di mushalla ini. Engkau bisa aku jumpai di manapun. Aku bisa menghadapMu di bagian
manapun dari hotel ini. Tetapi yang kutangiskan adalah kenapa Engkau begitu tidak dianggap penting, bahkan mungkin dianggap tidak ada, oleh mereka yang membangun dan menikmati gedung-gedung di muka bumiMu. Padahal tanah ini tanahMu. Material apapun yang dipakai untuk membangun hotel ini adalah milikMu. Juga semuanya, apa saja dan siapa saja yang menghuni dan lalu lalang di gedung ini, adalah sematamata Engkau yang menciptakan dan Engkau yang menganugerahkan kepada mereka segala jenis rizqi dan kekayaanMu..."
Itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Seusai shalat aku berlari mencari telpon dan kuhubungi saudara-saudaraku di Jombang. Spontan aku katakan: "Malam ini juga cari empat orang yang sangat miskin tapi yang akhlaqnya baik. Kasih tahukan dan pandulah mereka untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk naik haji. Uang ONH saya kirim besok pagi".
*****
Mungkin aku agak sentimental dengan keluhan semacam ini. Semestinya aku juga bisa berpikir bahwa kultur hotel-hotel yang berlaku adalah memang produk dari peradaban sekular abad 20. Tetapi aku tidak juga bisa menganggap bahwa budaya hotel dari kosmos industri dan kapitalisme sekular ini tidak memiliki sentuhan religius, karena hampir selalu bisa kujumpai The Holly Bible di laci meja kamar-kamarnya.
Harus kita akui bahwa juga ada hotel-hotel yang menyediakan Kitab Al-Quran serta tulisan petunjuk kiblat di atap kamar. Bahkan kini sudah pula berdiri beberapa hotel yang segala sesuatunya dirancang untuk suatu mekanisme kehidupan yang Islami. Segala sesuatu dalam kebudayaan ummat manusia memang terus berkembang ke berbagai arah. Semuanya sedang terus melakukan tawar-menawar dengan ragam nilai-nilai.
Di atas semua itu aku tetap bersyukur. Meskipun di berbagai hotel berbintang engkau jumpai mushalla hanya bersifat darurat di pojok-pojok, di basement, bahkan di ruang-ruang bawah tanah di mana kalau kita shalat di atas kita terdapat slang-slang AC bersilang-silang, sehingga terasa Allah sebegitu dimarginalisir – kuanjurkan engkau tetap bersyukur. Karena hikmah, karomah dan mashlahah disediakan olehNya di segala macam tempat.
Jum'at kemarin aku tinggal di sebuah hotel milik seorang menteri yang namanya memakai idiom dari Quran, yang rekruitmen karyawan-karyawannya juga mengutamakan yang beragama Islam. Tapi tempat jum'atannya adalah di pojok tempat parkir, yang ruangnya sangat sempit, sehingga para jamaah tumpah keluar, dan kami mendengarkan khutbah campur mobil yang berseliweran. Ketika naik ke kamar, kubuka laci, kujumpai Bible, dan aku bergumam: "Kalau memang yang dimaksud kebudayaan modern adalah aktualisasi demokrasi, mestinya tidak banyak biaya untuk juga membeli Qur'an, Bagavadgita, syukur kitab asli Zabur, Taurat dan Injil.****
(Emha Ainun Nadjib/2000/PmBNetDok)



ABU BAKAR, UMAR, UTSMAN ATAU ALI-KAH ENGKAU?

Kemarin aku bertutur tentang ingat kepada Allah di segenap ruang dan waktu yang kita libati. Aku ingat para sahabat sering bertanya apakah Al1ah itu bagi kita merupakan hal mewah ataukah bersifat sehari-hari?
Kalau materi, ia disebut mewah jika susah didapat, dan jika kita mendapatkannya selalu terasa sangat nikmat. Sedangkan barang yang sifatnya sehari-hari, yang bersifat 'biasa' atau koden – itu gampang didapatkan dan cara memperolehnya juga tidak istimewa.
Di sinilah letak keagungan dan keindahan Allah. Ia bukan 'barang' mewah, karena kapan saja kita bisa menghadapNya dan 'memperoleh'Nya. Namun jika kita ber-muwajjahah denganNya, jika kita memperoleh kehadiranNya pasti terasa sangat mewah dan istimewa. Artinya, kapan saja dan di mana saja kita bisa berjumpa dengan Allah, tapi Ia tetap mewah.
Kuingat juga sahabatku, Wahyu Sulaiman Rendra – tatkala ia bersyahadat dan masuk Islam di Parangtritis Yogya – ia merasa begitu takjub. "Alangkah dekatnya seorang Muslim dengan Al1ah. Kapan saja ia bisa menemuinya, tanpa birokrasi yang ruwet. Alangkah demokratisnya Islam. Setiap hamba Allah bisa dalam waktu beberapa detik saja menjadi Muslim, karena langsung bersaksi di hadapanNya tanpa melalui perantara siapapun atau apapun saja. Islam mengantarkan setiap manusia untuk langsung berhadapan dengan Allah"
*****
Sekarang aku bertanya kepadamu masing-masing. Aku mengetuk pintu perenungan batinmu, karena mungkin pagi ini, siang ini, sore ini, sedang beriktikaf. Maksudku dengan iktikaf tidaklah harus dalam keadaan bersila atau bersujud di atas tikar atau karpet masjid.
Enngkau bisa beriktikaf sewaktu-waktu. Bisa lima jam, bisa satu jam, bisa beberapa menit, bisa beberapa detik, dan nanti engkau ulangi lagi beberapa detik. Iktikafmu juga bisa tak dibatasi oleh di mana engkau sedang berada atau apa yang sedang engkau kerjakan.
Mungkin engkau sedang duduk termenung dalam taksimu karena menunggn penumpang yang akan memanggil jasamu. Mungkin engkau sedang meladeni penjual di tokomu. Mungkin engkau sedang bekerja di kantormu. Mungkin engkau sedang berjalan di trotoar atau duduk-duduk menunggu bis kota di tepi jalan. Dalam semua keadaan itu batinmu bisa saja beriktikaf, jiwamu merenung, pikiranmu terkonsentrasi kedalamannya kepada Al1ah. Engkau bisa topo ngrame. Aku sendiri melakukannya tiap hari. Aku bekerja keras tiap saat, aku selalu dalam suasana perjalanan hampir tiap hari, aku selalu berada di tengah orang banyak hampir kapan saja. Bahkan ketika mengetik inipun berseliweran banyak orang di sekitarku. Tapi hatiku selalu bersedekap. Jiwaku selalu merenung. Pikiranku insyaAllah selalu bersujud. Perasaanku selalu masuk ke relung-relung kedalaman nilai. Bahkan tatkala engkau melihatku bergurau dan mungkin berteriak-teriak, engkau jangan lupa bahwa sesungguhnya, jauh di dalam
diriku aku bersila dan memejamkan mata.
*****
Aku bertanya kepadamu bagaimanakah sifat pertemuan atau watak kesadaran dan ke-ingat-anmu kepada Allah. Kapankah, pada situasi bagaimanakah, karena apakah, serta terdorong oleh apakah maka engkau menemukan Allahmu?
Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq, ini suatu contoh, adalah jenis manusia kultural-moderat. Pola penghayatan keilahiannya biasa-biasa saja. Ia menjalani hidup dengan penuh irama kewajaran, ia memikirkannya, merasakannya, menghayatinya, sampai akhirnya ia menemukan inti nilai dan berjumpa dengan Al1ah dalam pengalaman-pengalamannya.
Sayyidina Umar Ibn Khattab adalah manusia revolusioner-radikal. Ia tidak melalui proses dan irama penghayatan yang 'wajar'. Merasuknya setiap ketersentuhan dan kesadaran nilai pada dirinya berlangsung radikal dan revolusioner. Ia mengalami dunia, maka ia menemukan Al1ah.
Sementara Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib adalah manusia mistis. Kalau Abu Bakar menghayati dunia dulu baru menemukan Allah, kalau Umar melihat dunia dan langsung menemukan Allah, maka Ali tidak melihat dunia. Ali sama sekali tidak melihat dunia, karena begitu ia menatap dunia, yang tampak di mata batinnya adalah Allah swt.
Ali menatap langit, tampak Allah di mata batinnya. Ali menyaksikan riuh rendah pasar, tampak Allah di mata batinnya. Ali memandangi gelombang laut, dedaunan yang bergoyang oleh angin, manusia lalu lalang di jalanan, burung-burung terbang, cacing melata dan kuda-kuda berlarian – maka di mata batinnya yang tampak oleh Ali adalah Allah.
*****
Bagaimanakah proses-proses pergaulan dan pertemuanmu denganNya? Adapun Sayyidina Utsman Ibn Affan, meletakkan dunia di tangan kirinya, dan meletakkan Tuhan di tangan kanannya.
Artinya, berpedoman kepada Allah dengan segala perintah dan laranganNya, Utsman memerintah dunia, memanage kehidupan dan mengendalikan sejarah di muka bumi.
Kita-kita ini, ada kemungkinan memiliki kecenderungan seperti Sayyidina Utsman, tapi dalam pola managemen yang terbalik. Yakni, dunia kita genggam di tangan kanan, artinya kita utamakan. Lantas Tuhan kita genggam di tangan kiri kita, artinya kita pakai sebagai alat untuk kepentingan dunia kita. Kita hidup, mencari nafkah, menjalani karir, mengejar martabat sosial dan kekayaan, dan untuk semua itu Tuhan kita posisikan sebagai asset kemajuan dan sukses keduniaan kita. Kita dapuk ia sebagai pihak yang kita harapkan bisa mempermudah jalannya kejayaan kita. Kita pojokkan Tuhan untuk mengabulkan doa-doa kita yang umumnya berhubungan hanya dengan kepentingan pribadi kita di dunia. Bahkan kita pasang Tuhan sebagai alat politik, sebagai maskot suatu strategi sosialisasi dan mobilisasi, atau sebagai bagian penting dari merk dagang komoditas perusahaan kita.
Atau mungkin kehinaan kita tidak sejauh itu. Al1ah sekedar kita acuhkan. Kita nomerduakan. Tidak kita anggap penting. Tidak kita perlakukan sebagai sumber maha sumber dan tujuan maha tujuan segala sesuatu dalam hidup kita. Diam-diam kita bergumam tentang Tuhan: “Emangnya Gue Pikirin!” Sehingga kita jalankan apa saja, kita bangun apa saja, kita ekspansikan apa saja, kita putar roda kapitalisme, industrialisme, hedonisme dsb. dengan tidak usah mempertimbangkan eksistensi Tuhan.
Hanya saja, nanti kalau ada gejala bangkrut, ada kemungkinan kekuasaan kita terdesak oleh kekuatan lawan – baru Tuhan kita pindahkan ke genggaman tangan kanan. Mendadak kita jadi religius, bergaya saleh, rajin pariwisata ke tanah suci, ikut grup tarekat, atau tiba-tiba sangat peka terhadap nasib orang miskin, anak yatim dan kaum yang menderita.
Tetapi ojo dumeh, karena gejala terakhir itu bisa jadi merupakan suatu jalan yang baik bagi proses pertobatan manusia yang bernama husnul khothimah. Itulah sebabnya aku senantiaea berdoa agar para pemimpin negeri ini dimurahi oleh Al1ah dengan anugerah husnul khothimah.'
(Emha Ainun Nadjib/2000/PmBNetDok)