suporter

Rabu, 30 April 2008

The Most Favourable People (madura tak iye)

Tulisan saya ini hendaklah dibaca tanpa menggunakan naluri SARA yang emosional. Saya sendiri, sebagai orang Jawa, tak ingin diclurit oleh orang Madura, hanya gara-gara tulisan. Sebab, kalau hati saya dibelah, isinya ternyata kekaguman dan pujian kepada watak dan kepribadian tertentu dari pada orang Madura.

Pokoknya, orang Madura itu the most favourable people bagi saya. Coba perhatikan: tak ada kelompok masyarakat di muka bumi ini yang begitu hati-hati menjaga perilaku dan moral hidupnya melebihi orang Madura. Disebuah rumah sakit di Surabaya, seorang pasien menolak di kasih donor oleh pamannya gara-gara si paman itu iblis kelakuannya.

"Kalau darahnya masuk darah saya, laka jadi bandit juga saya takiye! katanya. Sangat hati-hati. Padahal kita-kita ini kalem-kalem saja mereguk dan menghisap darah setan, darah demit, darah petani, darah wong cilik, dan sutradarah.

Bahkan si sakit itu juga punya alasan teologis. Katanya: "Darah paman saya adalah darah paman saya. Kelak dihadapan Tuhan tak mau dan tak bisa saya pertanggung jawabkan darah paman saya, seperti boleh juga dia tak boleh ikut mendapatkan pahala atas darahnya yang saya gunakan untuk beramal!"

Tapi, saya jamin adegan berikutnya yang terjadi pasti perang inter-suku: oreng medunten clurit-cluritan dengan sesama oreng medunten. (Interupsi sebentar: 'Medunten' itu bahasa Jawa halus atau kromo-nya kata Madura atau meduro. Contoh lain: 'sepuro' kromonya 'sepunten', 'sadar' kromonya 'sudrun', 'derajat' kromonya 'dorojatun', 'pangkat' kromonya 'mumpung', dan 'kemari' kromonya 'kamerun'.......)

Kenapa terjadi perang antar suku? sebab mana ada orang mau direndahkan. Saya orang Jawa ejek sesama Jawa saja, jangan Madura atau suku apapun lainnya. Kecuali kalau mau carok.

Dan seandainya perang Jawa-Madura benar-benar terjadi gara-gara sebiji anekdot, jangan cepat salah sangka bahwa orang Jawa pasti halus lembut, mengacungkan keris sambil membungkuk dan berkata "Nyuwun sewu lho, kula badhe nunyuk bathuk panjenengan...." (Permisi lho, saya hendak menohok jidat paduka). Orang Madura bisa tak kalah halus dan dingin.

Memang si Madura penjual telor ayam itu, misalnya suka ketus, ketika si calon pembeli berkomentar "Telor kecil-kecil begini kok mahal amat harganya, Pak!" Ia menjawab, "lho kalau telurnya besar-besar ya dobol, Mas!" (Kalau telurnya besar-besar ya jebol pantat ayam itu, Mas!)

Tapi ketika penjual mangga itu mendapatkan komentar yang sama rewelnya dari calon pembeli, ia hanya berkata dingin: "Soalnya saya baru masuk penjara, Mas・"

Kagetlah si calon pembeli. "Lho apa hubungannya antara mangga dengan bapak masuk penjara?"

"Ya pokoknya saya ini barusan keluar dari penjara・"

"Kenapa kok Bapak dipenjara?" akhirnya si calon pembeli terseret untuk bertanya tentang kenapa dipenjara.

"Ah, 'ndak enak mau ngomong Mas,"

"Ndak apa-apa! Ndak apa-apa! Saya juga bukan orang alim, kok!"

'Terus terang begini ya Mas ya," katanya kemudian, tetapi dengan suara lembut dan nada rendah, "Saya dulu dipenjara soalnya ya nylurit orang rewel seperti sampeyan ini・"

Maka lari tunnggang langganglah calon pembeli itu.

***

Tidak kalah kalem tenang adalah tukang-tukang becak Madura yang selalu legendaris. Lampu merah di perempatan jalan tak dipedulikannya. Ia menerobos saja, sehingga kendaraan-kendaraan dari arah yang bersilangan menjadi panik setengah mati. Sambil menginjak rem kencang-kencang, mereka memaki-maki: "Goblok! Goblok! Dasar tukang becak goblok! Sudah tahu lampu merah masih nyelonong saja! Goblok!"

Tapi tokoh kita tidak terpengaruh sedikitpun. Sambil tetap nggenjot pedal becak pelan-pelan, ia menjawab sambil tersenyum: "Ya kalau 'dak goblok 'dak mbecak saya, Pak!"

Jadi tidak benar bahwa orang Madura suka naik pitam. Masih lebih suka marah para aparat keamanan. Para pemimpin moral atau penguasa. Oleh karena itu perang intern suku Madura juga tampaknya pesimistik untuk bisa terjadi. Di samping karena masyarakat Madura memiliki kedewasaan dan kearifannya sendiri, juga karena 75% "Mati Ketawa Cara Madura" yang akan saya kisahkan ini sumbernya tak lain tak bukan dari orang-orang Madura sendiri.

Pasokan anekdot dari lingkungan masyarakat mereka sendiri itu mencerminkan betapa kumpulan manusia-manusia Madura ini seolah-olah mendemonstrasikan kesanggupan mereka dalam bercermin diri. Menunjukkan kematangan mereka untuk bersikap egaliter, terbuka, dan tahan kritik.

***

Secara tradisional (banyak sekali anekdot iseng-iseng tentang ini semua): orang Belanda suka mengejek orang Belgia, orang Batak suka mendagel-dagelkan orang Aceh, dan orang Madura sangat populer jenis-jenis komedialnya di seantero Nusantara. Setiap majalah humor tak ada yang tidak mengeksplor lawakan-lawakan etnik: bagaimana lelaki-perempuan Italia, bagaimana seks Prancis dan Swedia, atau bagaimana pelitnya Yahudi.

Dalam kehidupan sehari-hari kita juga sangat saling menikmati situasi ejek mengejek yang menyegarkan: Setiap bangsa, suku, komunitas, memiliki kebesaran jiwanya masing-masing untuk berintropeksi melalui ejekan-ejekan terhadap dirinya sendiri.

Juga dalam lingkungan-lingkungan yang lebih kecil: keluarga, komunitas selingkuh kerja, lingkaran pergaulan dan persahabatan - selalu terdapat kebiasaan untuk menghidupi humor satu sama lain. Rumusnya jelas: makin tinggi kemampuan sebuah bangsa dalam menertawakan dirinya sendiri, semakin meningkat pula kebesaran jiwa mereka. Semakin luas pengetahuan seseorang atas kedunguan-kedunguannya sendiri, semakin matang dan tegar kepribadiannya.

Dan lagi, selalu betapa serius muatan-muatan kritik dalam humor. Ketika tukang becak Madura itu bilang "Ya kalau 'dak goblog 'dak mbecak saya, Pak!" - bagi orang yang punya imajinasi itu merupakan protes telak terhadap logika sistematik antara ketidakmerataan ekonomi, kesempatan berpendidikan, dengan peluang lapangan kerja.

Bahkan pernyataan tukang becak itu juga merupakan semacam analisis terhadap tidak rasionalnya proses kualifikasi kepemimpinan profesionalitas dalam tatanan sistem sosial kita. Orang yang pantasnya jadi korak malah jadi pemimpin, yang cocoknya jadi gubernur malah jadi tukang ojek. Seorang camat tidak dijamin putra terbaik di kecamatan itu. Juga seorang bupati, gubernur, kasubdit, kakanwil, menteri・

Seandainya ada jaminan keadilan sosial dan pemerataan kesempatan eksistensi, tukang becak Madura itu tidak tertutup kemungkinan bisa memenuhi harapan rakyat Indonesia tentang Menteri Anu yang tahu diri atau Menteri Aduhai dan pemimpin orang-orang pinter yang tidak emosional, metoto-metoto dan berderai-derai ambisinya.
(from millis padhang mbulan)

dan pernah suatu kejadian di cengkareng ujar cak nun (di kenduri cinta bulan april)ada seorang madura naik pesawat. dia duduk di kursi 1 A padahal no di tiketnya 19 B. ketika disuruh pindah dia tidak mau, hingga akhirnya pemberangkatan ditunda. si pilot akhirnya turun tangan. untuk menyuruh pindah kebelakang. apa jawab si madura dengan logat maduranya" gimana ini, gak islam ini namanya, saya dateng paling pertama jam 4 tadi saya dateng wajar saya duduk didepan, eh ini disuruh pindah ke belakang. antri dung.wah Gak Nu ini" akhirnya ujar cak nun lagi" saya samperin dia lalu saya bisiki dia, sesudah saya bisiki. lari dia dibelakang" sang pilot heran" kok bisa orang madura itu lari?" ujar cak nun singkat" saya tanya ma dia mau kemana dia bilang madura. madura belakang, sini ke medan" hehehehehheheh

kalau kurang jelas lihat di youtube aja soal maksud dialog humor diatas tadi

Senin, 28 April 2008

LETTO band yang sangat religi

Grup band asal Yogyakarta, Letto, merupakan salah satu band pendatang baru yang mengupayakan munculnya pemaknaan hidup yang lebih baik melalui lagu.
Simak saja lagu "Sandaran Hati" yang bila ditelisik lebih jauh menyiratkan hubungan antara manusia dan Tuhannya. Ada pula "Sampai Nanti", "Sampai Mati" yang memberi semangat bagi mereka yang depresi untuk bangkit lagi karena semua manusia toh pernah merasakan kejatuhan..

Letto mungkin bukan yang pertama. Lirik-lirik puitis yang mencerahkan pikiran sudah pernah kita dengar melalui karya grup sebelumnya, bahkan musisi folk sejak generasi 70-an. Namun, di saat banyak band muda yang kini menonjolkan lirik-lirik cinta dalam hubungan antarkekasih, Letto hadir cukup menyejukkan dengan lirik yang menyentuh hubungan horizontal maupun vertikal dalam kehidupan manusia.

"Cinta hanya menjadi salah satu wajah kita karena lagu-lagu kita juga ngomong masalah sosial, ketuhanan. Itu selalu kita jaga meski ada yang tersamar," kata Noe (vokal) yang lengkapnya Sabrang Mowo Damar Panuluh.

Laki-laki yang 10 Juni ini berulang tahun ke -28 menambahkan, keragaman tema kehidupan itu dipertahankan pada album kedua.

Cord dasarnya pun dikatakannya masih sama dengan album pertama karena menganggap hal-hal itu menjadi kekuatan positif yang harus dipertahankan dan dikembangkan.

Noe memang masih berperan besar dalam penggarapan liriknya. Namun, musik tetap dibuat secara bersama sehingga mereka dengan tegas menyatakan kerja sama dalam pembuatan lagu telah dilakukan dengan demokratis. Orang-orang di sekitar mereka pun memberikan kontribusi dalam proses berkaryanya.

Dengan ciri khas yang menjadi kekuatan Letto, salah satu lagu dari album kedua itu pun sudah dipesan untuk menjadi theme song sebuah sinetron. Mengenai hal itu, Noe menyatakan bahwa kerja sama itu berbentuk simbiosis mutualisme seperti yang sudah terjadi sebelumnya.

"Ada yang bilang lagu mengangkat popularitas sinetron, ada juga yang mengatakan sinetron memopulerkan lagunya. Sama-sama menguntungkan," ucap lulusan Mathematics and Physics University of Alberta, Kanada itu.

Menjelang perilisan album kedua itu, Patub (gitar) yang bernama lengkap Agus Riyono menyatakan, mereka tidak merasa terbebani atau takut album kedua tidak sesukses album pertamanya.

Untuk jangka panjang pun mereka tidak terlalu memusingkannya. "Ya, kami nggak bisa jawab. Sekarang hanya sebaik-baiknya bekerja. Kalau (popularitas) naik, kami terima, kalau (popularitas) turun pun kami terima," ucap Noe .
======================

lagu bunga dimalam itu
kalau ditelisik lebih lanjut adalah
cerita seseorang yang bertemu dengan rasulullah

kemudian lagu sebelum cahaya ternyata punya makna yang sangat dalam
berikut makna nya
Bait pertama lagu ini menunjukkan kalau Allah selalu
mengawasi kita. Allah melihat kita yang sedang tidur tiba-tiba terbangun...
kita pergi untuk ambil air wudhu maka mengapa disana dituliskan kemana kau
pergi... kemudian kita menegakkan sholat malam, dalam kesunyian, sendiri
ketika semua orang tengah terlelap ketika dingin sangat menusuk di tulang,
ketika mata masih terkantuk-kantuk. Siapa yang sanggup untuk
menjalankannya?? Butuh kekuatan hati untuk melaksanakan raka'at demi
raka'at, lantunan ayat2 suci yang kita baca dan dzikir dengan penuh
ketawadhuan. Inilah makna yang dia temukan dalam baris perjalanan sunyi yang
kau tempuh sendiri, kuatkan hatimu cinta.

Bait kedua, Allah ingin menentramkan hati kita, Alloh mengingatkan bahwa
kita tidak sendiri dalam menjalankan sholat Lail, lihatlah ada embun pagi
yang selalu menemani kita hingga fajar muncul dari ufuk timur dan rasakanlah
sepoi-sepoi angin di sepertiga malam, yang dengan sangat lembut meniup
mukena kita. Sungguh kita tidak sendiri saat sholat Lail ditegakkan. Dan
mereka inilah yang dapat kita jadikan saksi di akhirat kelak.

Bait ketiga menerangkan siapa yang punya tekad kuat tersebut? Untuk
menegakkan sholat malam setiap hari, setiap malam. Dia adalah orang-orang
yang selalu berpegang teguh pada janjinya terhadap Allah. Janjinya bahwa dia
kan selalu menjadikan Allah sebagai Illah dalam hidupnya

================================

tafsir lagu bisa bermacam macam dan ini hanya sebagian saya memandang lirik lagu2 letto.

(dari berbagai sumber)



Jumat, 25 April 2008

Bagaimanapun Manusia Itu Ahsani Taqwim

Bagaimanapun Manusia Itu Ahsani TaqwimSebagaimana rutin, Mocopat Syafaat 17 April 2008 mengulas
pelbagai topik krusial dan mendasar. Selain Cak Nun dan Pak Harwanto Dahlan,
hadir malam itu Mas Andre Dukun dari Kenduri Cinta Jakarta, Pak Fajar Suharno
teater Dinasti, Indra Tranggono koordinator projek pementasan Menyongsong
Garuda Sejati
-nya Dinasti, Kiai Budi Hardjono beserta rombongan, Mustofa W.
Hasyim yang membacakan puisinya Legenda Negeri Korupsiana, dan tentu
saja KiaiKanjeng alias Pak Novi Budianto dkk.


Mengawali acara, Pak Harwonto memberi pengantar bagi Mas Andre yang diminta Cak Nun untuk menceritakan illegal logging atau pembalakan liar hutan di Ketapang Kalbar beberapa waktu lalu di mana Cak Nun dan KiaiKanjeng ikut melakukan sejumlah hal di sana. Pak Harwanto menyampaikan bahwa 80 kapal per hari mengangkut kayu-kayu dari hutan kita dibawa ke luar negeri dengan nilai Rp 400 miliar per hari. Nilai sebesar itu cukup didapat dengan membayar 120 juta rupiah ke petugas. Malangnya lagi, tidak ada responsibility secara internasional. Karena itu, Dosen HI UMY ini sempat khawatir kalau selebritis jadi pejabat publik jangan-jangan mudah "dipakai" karena minimnya pengalaman di hutan rimba birokrasi.


Pembalakan Liar di Ketapang Kalbar


Bagaimanapun Manusia Itu Ahsani Taqwim
Sementara itu, jika ada istilah memancing di air keruh, Mas Andre mengibaratkan apa yang dikerjakan Cak Nun-KiaiKanjeng dan sejumlah aktivis KC di Ketapang itu sebagai menjernihkan air keruh supaya mudah memancingnya. Seperti diketahui, Menhut MS Ka'ban meminta Cak Nun dan KiaiKanjeng untuk membantu mengatasi pembalakan liar di Kalbar, bahkan rencananya ke tempat-tempat lain di Indonesia. Sebelum ke sana, Cak Nun menerjunkan beberapa aktivis KC (Arya Palguna, M. Ikhwan Ridwan, Roni Oktavianto, Mathar, Andrie Sis) ke lokasi untuk mempelajari medan, melakukan lobby dan riset. Mereka mencoba mempelajari kultur dan sejarah Ketapang, serta melakukan persiapan-persiapan acara Cak Nun-KiaiKanjeng. Seperti dilaporkan kepada manajemen Cak Nun-KiaiKanjeng, kedatangan Menhut dan Cak Nun-KiaiKanjeng membuat panik cukong-cukong yang selama ini ikut bermain di sana.


Pada saat acara berlangsung, 2 April 2008, dengan tajuk Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, sejumlah tokoh sosial-adat dan pejabat publik hadir. Uniknya, salah satu yang dilakukan Cak Nun di situ adalah mempersilakan semua hadirin yang datang untuk mengirim SMS ke sebuah nomor yang disebut berulang-ulang. Mereka diminta melaporkan apa dan siapa yang mereka curigai terlibat dalam illegal logging. Ajaib, dalam waktu yang tak lama, puluhan SMS masuk, dan jadilah itu semua data amat penting bagi upaya mengatasi masalah pembalakan hutan. Hari-hari itu juga, pihak Mabes Polri dipimpin Kapolri Jenderal Sutanto turun langsung melakukan inspeksi dan diikuti penangkapan sejumlah pejabat yang diduga terlibat.


******

Usai Mas Andre, Giliran Pak Fajar Suharno dan Indra Tranggono. Intinya, mereka berdua meminta doa dan dukungan bagi persiapan pentas Menyongsong Garuda Sejati. Saat ini seminggu tiga kali mereka melakukan latihan. Di luar tema Dinasti, menariknya, Indra Tranggono malah mengomentari Pak Harwanto Dahlan. Diceritakan oleh cerpenis dan pengamat kebudayaan Yogya ini, bahwa almarhum Pak AR Fahruddin yang juga ulama dan pernah menjabat ketua umum Muhammadiyyah, adalah sosok yang sangat kultural. Dalam menjawab pertanyaan misalnya, Pak AR sangat cerdas dan diplomatis. Bahkan konon, pernah beliau bermaksud membuat SIM. Semua tahap tes diikuti, tes tulis maupun lainnya. Saat tes mengendarai motor, semua materi uji dilakukan, kecuali ketika beliau diminta mengendarai motor dengan membentuk angka delapan. Beliau tidak mau. Sewaktu ditanyakan oleh petugas, dijawablah, "Saya nggak pernah mengendarai motor dengan angka delapan". Dan kisah-kisah lainnya. Melihat kecerdasan humoris-kultural Pak Harwanto, Indra Tranggono berharap Pak Harwanto bisa menjadi sosok dan tokoh Muhammadiyyah yang kultural sebagaimana almarhum Pak AR. Fahruddin.

Kira-kira pukul 23.00, Cak Nun baru naik ke panggung. Merespons soal Dinasti, Cak Nun menegaskan bahwa pentas tersebut puncaknya adalah soal Indonesia tetapi berangkatnya dari asal-usul manusia. Pentas itu bukan cuma perkara teologi, kosmologi, dan budaya, tetapi bahkan juga menyangkut masalah uluhiyyah. Kemudian, Cak Nun juga menjelaskan bahwa maiyah sekarang sedang jadi kereta api yang tak ada remnya, terus melaju untuk sampai ke turning point. Artinya, maiyah dan Cak Nun-KiaiKanjeng sedang diperjalankan untuk ikut mengatasi aneka masalah di Indonesia. "Apa yang sedang dilakukan KPK itu hanya satu gejala menuju turning point itu," tandas Cak Nun.

Setelah itu, Cak Nun berbicara tentang ilmu kehidupan yaitu merohanikan materi. Misal uang. Pernah Cak Nun sewaktu di Malang mau beli jagung bakar, tetapi uangnya tidak cukup untuk orang sebanyak 46. Cak Nun ceritakan kondisi itu ke penjualnya yang kebetulan orang Madura. Si penjual mempersilakan Cak Nun untuk ambil 46 biji jagung bakar, walaupun uangnya kurang. "Tetapi harganya tetap," berulang-ulang si penjual menegaskan. Ketika calon pembeli itu makin tidak paham, si penjual menjelaskan maksudnya,"sedangkan kekurangannya biar jadi tabungan saya di akhirat. Kalau harga saya turunkan, saya nggak punya tabungan akhirat." Dengan cerita itu Cak Nun mengatakan bahwa merohanikan uang adalah menemukan nilai shodaqah dengan cara mengubah niat.



Teno, salah seorang jamaah, bertanya kepada Cak Nun tentang meng-emas-kan ilmu melalui sikap. Juga Sunadi bertanya tentang puisi Haru Biru Kekasihku karya Cak Nun yang termaktub dalam Seribu Masjid Satu Jumlahnya, yang mengisahkan inisiatif malaikat untuk menolak atau mempertanyakan rencana Tuhan menciptakan manusia yang menurut pengetahuan mereka pekerjaannya adalah menumpahkan darah di muka bumi. Tetapi Tuhan tetap pada rencananya dan mengatakan "Aku lebih mengerti...."

Kemudian Cak menuturkan bahwa sewaktu Nabi Ibrahim akan dibakar, beberapa malaikat datang menawarkan bantuan untuk melemparkan gunung, meluapkan air samudera, mengirim angin badai kepada Raja Namrud. Atas tawaran malaikat-malaiakat itu, Ibrahim menanyakan apakah itu kemauan mereka atau kehendak Tuhan. Bagi Ibrahim, apa saja yang terjadi asalkan kehendak Allah, tak ada masalah. Sikap mandiri dan keberanian Ibrahim itu direspons Allah dengan qul ya naaru kuuni bardan wa salaaman.

Begitu pula tatkala Nabi Muhammad hijrah ke Thaif dan dilempari batu oleh orang-orang kafir, para malaikat tak tahan diri dan menawarkan bantuan. Nabi Muhammad tidak menanyakan apakah itu kehendak Allah atau malaikat melainkan langsung berdoa allahummahdi qaumi fa innahum la ya'lamun. Karena itulah Muhammad lebih tinggi penyikapannya dari Ibrahim.

Puncaknya Cak Nun menyitir ayat al-Quran laqad khalaqnal insana fi ahsani taqwim tsumma rodadnahu asfala safilin. "Siapa subjek kalimat dalam ayat itu? Jawabnya adalah: Allah. Yang menciptakan manusia dalam ahsani taqwim adalah Allah dan yang merendahkan dengan serendah-rendahnya adalah juga Allah.... Jadi subjeknya adalah Allah. Semua itu (kejadian yang kita alami dll) berlangsung atas izin Allah. Mengizinkan tidak sama dengan merekayasa, menciptakan atau memerintahkan. Melihat ayat itu, saya sangat optimis, karena subjeknya adalah Allah. Anda datang ke sini termasuk bagian dari illal ladzina amanu wa amilus shalihati falahum ajrun ghoiru mamnun (yang merupakan kelanjutan ayat tersebut)...seluruhnya atas izin Allah. Berapa persen peran manusia, itu urusan ilmu. Tapi bagaimanapun manusia itu ahsani taqwim. Saya karena itu optimis," tegas Cak Nun.

Bagaimanapun Manusia Itu Ahsani Taqwim
Ayat tadi menjadi landasan Cak Nun untuk bersikap optimis dalam menyikapi situasi nasional Indonesia yakni kondisi bangsa yang sesungguhnya adalah burung garuda tetapi selama bertahun-tahun telah menjadi masyarakat emprit yang lupa asal-asul ke-garuda sejati-annya.

"Kemudian untuk Teno. Yang bekerja itu bukan hanya Allah dan kita, ada makhluk-makhluk lain yang juga bekerja. Malaikat itu secara empiris boleh berinisiatif, asal tidak melanggar konstitusi dasarnya yaitu ya'maluna ma yu'marun. Mengatasi malah bisa dengan cara mengubah cara pandang terhadap masalah itu. Ini juga sekaligus ilmu memelihara ketenangan. Atau dengan rasa sayang kita menyatakan terima kasih kepada Allah, sehingga argumentasi jadi tidak penting," urai Cak Nun.

Lalu Cak Nun mengajak jamaah pelan-pelan berpikir dan memasuki cara pikir yang jarang dilakukan orang. "Apa sebab pemimpin harus tanggung jawab pada rakyat. Karena ada perhubungan hak dan tanggungjawab. Tuhan adil tidak? Anda ragu Tuhan adil atau tidak? Tuhan anda tuntut adil? Anda merasa Tuhan harus adil! Apa yang mengharuskan Tuhan harus adil. Tuhan harus adil itu kan harusnya karena ada perhubungan hak dan tanggungjawab dengan kita. Apa Tuhan harus adil? Baik? Demokratis? Sopo sing ngarani ngono? Apa harus adil? Apa salah Dia padamu? Pada posisi apa Tuhan harus adil pada kita. Kalau Dia adil itu bukan karena harus adil, tetapi karena cinta. Dia berhak apa saja. Dia berhak apa saja, adil atau tidak adil. Posisi kita tidak menuntut, melainkan melakukan segala upaya supaya Allah cinta. Jalan praktis menuju Allah itu cinta. Kalau sudah cinta, nggak ada hitungan. Untuk tenang dan waspada, lakukanlah apa yang membuat Allah cinta, jangan tuntut Allah," panjang lebar Cak Nun mengajak kita berpikir lebih mendalam.

"Di Thaif itu, Nabi tidak marah. Beliau mengambil shortcut La ubali (tidak pateken) asal Allah tidak marah. Di sini ilmu jadi tidak penting, karena semua menjadi persembahan (kesedihan dll). Ilmu diperlukan dalam situasi normal. Shortcutnya adalah cinta. Semua jadi setoran kepada Allah. Karena Allah juga mengajarkan rahman rahiim mencintai dulu baru dicintai. Kepada manusia Allah itu robbun (pemelihara) dulu baru ilah (individual). Robbun hurufnya ro' dan ba', bentuknya melengkung seperti perahu bersifat menampung. Jadi huruf-huruf al-Quran sudah diperhitungkan, penuh makna," papar Cak Nun.

Begitulah para jamaah malam itu sangat mendalam mengkaji topik-topik yang sedang aktual dilapisi sikap dan wacana spritual yang kuat, liar, menukik, tetapi dengan out put keadilan persepsi terhadap Allah dan persoalan manusia. Jadi lebih indah majelis itu, lantaran KiaiKanjeng mempersembahkan menu sholawat yang indah, di antara allahumma sholii ala Muhammad dan shalawat badar. Hingga dini hari baru usai majelis itu, tanpa terasa...tanpa terasa.[]

Kahuripan Nirwana Ditawarkan Kepada Korban Lumpur

Minggu, 20 April 2008 lalu, Cak Nun memandu pertemuan antara GKLL (Gabungan Korban Lumpur Lapindo) dengan MLJ (Minarak Lapindo Jaya) di Hotel Shangri-La Surabaya. Hadir dari pihak MLJ adalah Andi Darussalam Tabussala, Wiwid Prasetyo, Faishol Maskoer, dll dan dari pihak GKLL adalah Joko Suprastowo, Khoirul Huda, Bambang Sakri, Mulyono, dll.

Pertemuan ini dimaksudkan untuk mencari solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi kedua belah pihak, terkait dengan kontroversi hukum pembelian tanah dan bangunan oleh MLJ kepada korban lumpur. Teknisnya, Cak Nun meminta agar masing-masing saling mendengarkan. Presentasi GKLL didengarkan MLJ, dan begitu pula sebaliknya.

Pada kesempatan pertama, Khoirul Huda mengutarakan dengan sedikit mereview perjalanan Perpres no 14 tahun 2007 pasal 15. Juga disampaikan adanya sedikit kendala hukum, yang walaupun demikian telah dijawab oleh petunjuk teknis dari BPN yang menjelaskan empat mekanisme jual-beli tanah bangunan oleh Lapindo kepada korban lumpur. Namun, petunjuk BPN ini masih dianggap oleh notaris terkait sebagai bertentangan dengan UU Agraria tahun 1960 pasal 26.

Mengawali pembicaraannya, Andi Darussalam berharap Cak Nun bisa mempertemukan dengan Badan Pertanahan Nasional dll. Andi juga meminta warga korban untuk memberikan solusi bagi hambatan tersebut di luar tawaran solusi Minarak yaitu resettlement. Andi juga menegaskan bahwa Pak Nirwan tidak ingin di daerah (Sidoarjo) ada yang tidak lebih baik dari kemarin-kemarin.

Kemudian Cak Nun mengawali panduannya dengan menyampaikan sebuah tulisan berjudul Amsal Lumpur (baca Pojok Lumpur: Amsal Lumpur). Intinya, tulisan ini mengajak semua pihak untuk meletakkan diri bukan sebagai orang yang mau menerima uang, melainkan sebagai orang-orang yang berpikiran ke depan, di antaranya dengan memiliki konsep pembentukan masyarakat baru Sidoarjo.

Dalam pertemuan itu, MLJ juga mempresentasikan plan kawasan Kahuripan Nirwana yang rencananya ditawarkan kepada korban lumpur yang mau membeli. Kawasan ini terdiri atas 7 wilayah di Sidoarjo, yang dilengkapi berbagai sarana umum (sekolah, pesantren, kawasan bisnis, dll). Terkait dengan plan ini, Andi juga mengatakan bahwa niat Pak Nirwan ini adalah niat mulia, karena Pak Nirwan ingin dikenang sebagai orang yang bertanggung oleh masyarakat Sidoarjo.

Walaupun Cak Nun tidak bisa menjamin apa-apa dengan semua itu, Cak Nun mengapresiasi niat baik pihak Pak Nirwan bahwa MLJ semestinya meletakkan concern pada skala yang luas, warga tak cuma terima uang, tetapi juga memikirkan masa depan ekonomi. Karena itu Cak Nun juga meninta agar sore itu warga juga diajak melihat lokasi perumahan Kahuripan Nirwana dengan prinsip MLJ boleh menawarkan, dan korban boleh menerima boleh tidak.

Pada perkembangannya, pertemuan ini berjalan deadlock, karena beberapa warga masih mempertanyakan banyak hal kepada MLJ. Namun, di sela-sela memandu dan merepson pertanyaan warga Cak Nun menyisipkan sejumlah pandangan ke depan yang visioner. Bahwa MLJ mengajak diskusi warga itu merupakan hal yang tidak pernah dilakukan perusahaan-perusahaan lain. Artinya warga diajak terlibat.

Cak Nun juga menjelaskan, "masyarakat itu pilihannya adalah dilindas atau tidak oleh industrialisme. Sidoarjo cepat atau lambat akan jadi metropolitan. Hari ini Anda dilibatkan.... Saya berpikir Anda harus punya jurus.... Kalau tidak seperti itu anda akan jadi tamu di Sidoarjo. Nah Anda diajak dan diberi bargaining power...."

Karena masih banyak pertanyaan yang silang sengkarut, di antara ada yang bertanya letter C/petok D itu duluan mana dengan SHM, korban mau dibayar atau tidak, kalau iya bagaimana caranya, hakikat jual-beli, dst, Cak Nun segera menutup pertemuan itu.
******

Namun demikian, usai pertemuan itu, Cak Nun, MLJ, dan GKLL tetap bersama-sama melihat salah satu lokasi Kahuripan Nirwana yang sudah dimulai proses pembangunannya. Malamnya, pertemuan yang deadlock itu dilanjutkan di Hotel Elmi Surabaya. Dalam pertemuan itu, seperti dilaporkan Khoirul Huda, didapat beberapa keputusan penting dan titik terang.

Keputusan tersebut adalah, pertama, sertifikat akan dibayar tunai. Kedua, petok D dan letter C, karena bertabrakan dg UUPA 1960 pasal 26, maka mekanisme pembayarannya sebagai berikut:
a. tanah dibayar tanah sesuai luasan dalam surat.
b. Bangunan dibangunkan sesuai dengan permintaan, jika ada sisa luas bangunan akan diberikan susuk.
c. 20% yang sudah diterima warga tidak diperhitungkan (diberikan kepada warga).
d. warga dapat mengembalikan tanah tersebut ke MLJ dan akan dibayar tunai sesuai tanggal perjanjian.
Ketiga, MLJ akan mendahulukan warga yang tergabung dalam GKLL.

Rabu, 16 April 2008

Jendela Hati Buat Prajurit Sejati

*Bukan Jabatan, melainkan Jiwa
Menjadi tentara tidak sama dengan menjadi Bupati, Gubernur, Menteri atau Presiden.
Tentara itu jiwa, Presiden itu jabatan.


Jabatan Presiden akan ditinggalkan dan meninggalkan (dengan paksa) orang yang menyandangnya, sedangkan ketentaraan adalah jiwa yang menyatu dengan manusianya, adalah ruh yang tak bisa dicopot kecuali oleh pengkhianatan dan ketidaksetiaan, adalah kepribadian yang mendarah daging sampai maut tiba.

Jabatan sangat disukai oleh manusia yang menyandangnya, tetapi sangat bisa jadi jabatan diam-diam tidak menyukai manusia yang menyandangnya. Tetapi jiwa ketentaraan adalah cinta dan kebanggaan yang menangis jika manusianya mengkhianatinya, dan manusia yang mengkhianati jiwa ketentaraan itu tidak memiliki kemungkinan lain kecuali terjerembab ke jurang kehancuran.

Orang dengan jabatan akan mengalami post power syndrome, tetapi orang dengan jiwa ketentaraan tidak mengenal kata ‘post’, tidak mengenal ‘bekas’ atau mantan. Tentara boleh tidak bertugas lagi, boleh menjadi veteran, tetapi itu hanya urusan administrasi dan birokrasi formal, sedangkan kepribadian ketentaraannya tidak bisa dikelupas dari manusianya meskipun oleh kematian.

Dengan pemahaman seperti itu, maka andalan utama Prajurit dalam bermasyarakat bukanlah jabatan dan kekuasaan, bukanlah kegagahan dan kekuatan, melainkan kesetiaan dan sikap yang penuh perhatian kemanusiaan.

*

Prajurit Pangkat dan Prajurit Kepribadian

Prajurit memiliki dua pemaknaan. Pertama makna jasad, kedua makna rohani. Dalam pemaknaan jasad, prajurit dibedakan dari perwira. Tetapi di dalam makna rohani, prajurit adalah rohani kepribadian.

Kepribadian Prajurit Sejati tidak berkaitan dan tidak berbanding lurus dengan tingkat kepangkatan. Seorang prajurit dalam arti kepangkatan tidak melogikakan makna bahwa ia kalah sejati keprajuritannya dibanding perwira. Seorang Jenderal bisa kalah sejati keprajuritannya dibanding seorang Kopral.

Kata Prajurit Sejati adalah gelar kepribadian, bukan mengindikasikan tinggi rendahnya pangkat.

Bahkan sesungguhnya kata “Prajurit” tidak bisa dipisahkan atau malah mungkin tidak memerlukan kata "Sejati", sebab kalau ia tidak sejati maka ia bukan prajurit.

Seorang prajurit bukan hanya "sebaiknya" berkepribadian sejati, melainkan "harus" dan "pasti" sejati. Sebab keprajuritan adalah keteguhan mempertahankan prinsip, keberanian menegakkan keyakinan, serta "ketenangan jiwa" untuk meletakkan kematian pada harga yang tidak lebih mahal dibanding keyakinan akan kebenaran.

Prajurit Sejati tidak menangis oleh kematian, ia hanya menderita oleh pengkhianatan dan ketidak-setiaan.

Dengan demikian bekal utama Prajurit dalam membaurkan dirinya ke tengah masyarakat bukanlah keunggulan dan kehebatan, melainkan keteladanannya dalam keteguhan memegang prinsip, keberaniannya menegakkan kebenaran, ketenangan jiwanya dalam membela nilai-nilai yang baik di antara sesama manusia.

*

Keperwiraan adalah Watak Prajurit

Bahkan sesungguhnya kata, idiom atau istilah "perwira", "perwiro", "keperwiraan", diambil dari tradisi watak prajurit.

Ada kata lain dari bahasa lain yang mengindikasikan watak itu, misalnya "gentle", "gentleness". Bahasa Indonesia belum menemukan padanan popular dari kata "keperwiraan", sering orang menggunakan idiom "kejantanan" - tetapi secara budaya kata ini kurang adil, karena "jantan" indikatif terhadap lelaki. "Jantan" terpaksa diakronimkan dengan kata “betina”. Hal ini menumbuhkan subyektivisme bahwa keperwiraan seolah-olah hanya milik kaum lelaki, sehingga segala yang tidak perwira disebut "betina".

Pada kenyataannya tidak sedikit kaum wanita yang berwatak "jantan" dan banyak juga kaum lelaki yang "betina". Maka Bahasa Indonesia sebaiknya meminjam kata "perwira" saja dari peradaban bahasa yang lebih tua.

Keperwiraan, watak prajurit itu, sesungguhnya menjelma dalam berbagai bidang kehidupan atau wilayah sosial.

Keperwiraan berpangkal pada kejujuran dan berujung pada keadilan.

Di dalam wilayah hukum, perwira disebut adil.
Di wilayah moral, perwira disebut jujur.
Di wilayah olahraga, perwira disebut sportif.
Di wilayah budaya, perwira adalah kerendahan hati.
Di wilayah ilmu, perwira disebut obyektif.
Di wilayah cinta, perwira disebut setia.
Di wilayah ketuhanan, perwira adalah kepatuhan.

Maka kehadiran utama Prajurit di tengah masyarakat adalah kepeloporannya di dalam menegakkan watak adil, jujur, sportif, rendah hati, obyektif, setia dan patuh kepada nilai-nilai sejati.

*

Sarjana Utama, Pendekar, Empu

Jika seseorang berhasil mencapai watak perwira, atau jika seorang perwira sukses mempertahankan kesejatian keprajuritannya, ia adalah Sarjana Kehidupan.

Jika prajurit yang perwira diuji digembleng dihajar oleh pengalaman-pengalaman khusus, sehingga ia layak berada di dalam barisan Pasukan Khusus: ia adalah Sarjana Utama Kehidupan. Ia seorang Doktor Pengalaman.

Kesarjanaan dan ke-Doktor-annya tidak terlalu substansial kaitannya dengan pangkat, terlebih lagi dengan jabatan. Kesarjanaan Prajurit dengan keperwiraannya bukan suatu benda yang menempel di badan atau pakaiannya, bukan pula ditandakan oleh kursi yang didudukinya: melainkan watak, karakter, jiwa, yang sudah menyatu dengan aliran darahnya, denyut nadinya, tarikan nafasnya, ekspresi wajah dan sorot matanya, serta dengan seluruh tata nilai dan pola perilaku kehidupannya.

Jika seorang Prajurit dengan kadar keperwiraannya diletakkan pada suatu tingkat kepangkatan, maka pangkat itu tidak menambah kesejatian keprajuritan serta keperwiraannya, melainkan pangkat itu menguji keprajuritan dan keperwiraannya.

Jika seorang Prajurit dengan wibawa keperwiraannya dijunjung di atas kursi jabatan, maka jabatan itu tidak punya potensi untuk membuat keprajuritan dan keperwiraannya menjadi lebih terpuji, karena justru jabatan adalah medan uji bagi keprajuritan dan keperwiraannya.

Maka seorang prajurit, seorang Perwira, yang adalah Sarjana Utama, Doktor, Empu Kehidupan: jika menempati suatu jabatan, ia tidak tergiur oleh jabatan itu, karena keprajuritan dan keperwiraan jauh lebih mahal dari jabatan setinggi apapun. Ia menjalankan tugas jabatannya tidak untuk membanggakannya, melainkan untuk membuktikan kesetiaan keprajuritannya dan kesejatian keperwiraannya bagi manfaat yang seluas-luasnya bagi bangsa, Negara dan masyarakatnya.

Jika seorang Prajurit dengan keperwiraannya memperoleh kesempatan hidup untuk memiliki kekayaan dan harta benda yang berlimpah, maka limpahan harta itu tidak menambah apapun atas kesejatian keprajuritan dan keperwiraannya, kecuali jika harta itu ia dayagunakan untuk keperluan-keperluan kemasyarakatan yang luas.

Maka kebanggaan Prajurit di dalam kehidupan bermasyarakat bukanlah pangkatnya, jabatan dan atau kekayaannya, melainkan bukti-bukti kesejatian keprajuritannya dan praktek-praktek keteguhan keperwiraannya.

*

Bias dikhotomi Sipil-Militer

Masyarakat prajurit sampai sejauh ini masih dirugikan atau menjadi korban dari bias subyektif dikotomi pengertian antara Sipil dengan Militer. Terdapat pandangan umum yang berlaku tidak hanya di masyarakat umum namun juga di peta wacana kaum intelektual dan aktivis yang paling modern pun, yang merupakan salah kaprah berkepanjangan. Semacam stigma psikologis dengan pemaknaan yang tidak sportif, di mana Sipil selalu dianggap positif sementara Militer selalu diindikasikan negatif.

Idiom cita-cita besar bangsa Indonesia "Masyarakat Madani" dengan sangat simplifikatif diterjemahkan atau disinonimkan dengan "Masyarakat Sipil", merekrut wacana dari luar negeri tentang "Civilian Society". Akronimnya sudah pasti "Masyarakat Militer", atau lebih ekstrim lagi: Masyarakat yang militeristik.

Bias ini lebih parah ketika menjadi pandangan umum bahwa orang sipil itu tidak memiliki sifat militeristik, sementara prajurit atau tentara dianggap pasti berwatak militeristik. Orang sipil itu "baik", militer itu "jahat". Sipil diidentikkan dengan kedamaian dan kelembutan, militer diasosiasikan dengan kebrutalan dan kekerasan.

Pandangan umum memahami Sipil dan Militer sebagai identitas dan tidak sebagai substansi. Seorang prajurit bisa justru sangat berperilaku sipil dalam kehidupan nyata di masyarakat, dan pada saat yang sama sangat mungkin dan sangat banyak contoh manusia sipil justru berwatak militeristik.

Masyarakat umum maupun kaum intelektual belum berhasil memahami ilmu yang paling sederhana: bahwa tulang itu keras, harus keras maka ia bernama tulang, dan kerasnya tulang tidak bisa diterjemahkan menjadi “tulang adalah pro kekerasan”.

Bahwa daging harus lembut, bahwa darah harus cair, bahwa udara tak bisa ditusuk atau ditembah. Manusia dan kehidupan memerlukan sekaligus tulang, daging, darah dan nafas, dengan posisi dan fungsinya masing-masing. Demikianlah juga Negara memerlukan Kaum Sipil dan watak sipil, serta membutuhkan Kaum Militer dan watak militer, pada porsi, proporsi dan fungsinya masing-masing. Darah jangan anti tulang, tulang jangan anti daging, daging jangan anti nafas, nafas jangan anti tulang.

Di tengah bias umum bahwa Sipil adalah "Malaikat" dan Militer adalah "Iblis", ada kemungkinan sebaiknya kata "Militer" tak usah dipakai saja. Sebab kalau kata militer diteruskan menjadi "militerisme", maka maknanya sangatlah negatif. Sementara kalau kata perwira diteruskan menjadi "perwiraisme" maka maknanya sangat positif.
Maka salah satu nilai yang paling harus dibuktikan oleh setiap Prajurit kepada masyarakatnya adalah bahwa kaum prajurit tidak kalah lembut dibanding manusia sipil, bahwa keprajuritan bukanlah militerisme, bahwa ketentaraan bukanlah kekerasan kepada manusia dan masyarakat, serta bahwa pelatihan-pelatihan keras kaum prajurit hanyalah diperuntukkan bagi fungsi menjadi Benteng Negara, pelindung masyarakat, pagar keamanan dan dinding penjaga ketenteraman. Benteng, pagar dan dinding tidak boleh lembut atau lembek, ketika berfungsi sebagai benteng, pagar dan dinding.

*

Antara Nasionalisme dan kesejahteraan

Tema yang saya tulis dengan airmata adalah dilema pelik yang dialami oleh Prajurit Indonesia antara kewajiban kepeloporan Nasionalisme dengan kenyataan kesejahteraan bagi institusi ketentaraan maupun bagi keluarga-keluarga para Prajurit. Namun tema ini tidak mungkin bisa saya tuliskan dengan baik melalui susunan kata dan kalimat seperti apapun-sebab Kaum Prajurit bukan hanya jauh lebih mengetahui dan sangat mengerti persoalan ini, namun mereka mengalaminya dengan jiwa nelangsa di setiap siang dan malam, di setiap pagi dan sore, di setiap bulan dan tahun, bahkan di setiap menit dan detik, bersama keluarga-keluarga mereka masing-masing.

Saya tidak berada pada posisi dan luang waktu untuk mengkritik siapapun dan pihak manapun dalam persoalan ini. Saya tidak akan melirik Bapak Susilo Bambang Yudhoyono yang bukan hanya Presiden tapi juga seorang Jenderal. Saya tidak akan menuding mereka di Majlis Rakyat atau Dewan Rakyat, juga tidak saya kecam siapapun dan institusi apapun dalam skala nasional maupun internasional yang selama menanam saham penderitaan di kalangan Kaum Prajurit Indonesia. Karena jika ada sesuatu yang bisa menolong keadaan ini, saya tidak akan mengatakannya, melainkan akan mengerjakannya.

Yang pagi hari ini bisa saya bisikkan kepada para Prajurit Negeri dan Tanah Air bangsa Indonesia adalah kebanggaan saya kepada tingkat kesabaran dan ketabahan yang luar biasa di dalam jiwa Para Prajurit. Penghormatan saya kepada ketenteraman hati mereka untuk terus menerus menahan amarah, kepada keluasan jiwa mereka yang membuat mereka tidak mengamuk, serta ketangguhan mental mereka yang mampu memelihara kuda-kuda nasional mereka sebagai Prajurit-prajurit Sejati.

Saya mohon ampun kepada Tuhan dan minta maaf kepada seluruh bangsa Indonesia bahwa tahun-tahun terakhir ini sangat membuktikan di depan mata semua orang di negeri ini bahwa yang lebih suka marah-marah adalah kaum sipil, bahwa yang lebih sering tawur adalah masyarakat sipil, yang lebih suka berpecah belah dan bertengkar adalah golongan-golongan masyarakat yang bukan tentara.

Tentara Indonesia, para Prajurit, adalah manusia puasa, di sisi rekannya yang tiap hari menjadi manusia kenduri. Makhluk yang paling mulia di hadapan Tuhan adalah manusia yang berpuasa. Puasa manusia adalah hidangan paling lezat yang disantap oleh Tuhan. Dan sesungguhnya hanya manusia puasalah yang mengerti nikmatnya berbuka puasa. Mereka yang profesinya kenduri tiap hari tak akan pernah merasakan kenikmatan yang dirasakan oleh orang berpuasa yang berbuka meskipun sekedar semangkuk kolak ketela.

Hanya kata-kata terakhir itulah jendela hati yang mampu kubukakan bagi para Prajurit Sejati yang aku cintai.



Emha Ainun Nadjib
Casablanca, Jakarta, 8 April 2008

Tulisan ini merupakan materi ceramah Cak Nun dalam rangkaian acara Ulang Tahun Kopassus ke-56 (16 April 2008) di Balai Komando Markas Kopassus Cijantung Jakarta Timur, 9 April 2008.

Kamis, 10 April 2008

KENDURI CINTA BULAN APRIL

Assalamualaikum wr wb,
Mengharap kehadiran rekan-rekan semua dalam acara bulanan:

KENDURI CINTA
Menemukan Nilai, Merajut Makna
ke 03

dengan tajuk
"Benang Kusut Otonomi"

bersama
Emha Ainun Nadjib

dan siapa saja...

***
Hari Jumat
11 April 2008
jam 20.00

Parkir Taman Ismail Marzuki
Cikini, Jakarta Pusat
GRATIS...LESEHAN...BAROKAH
Wassalamualaikum wr wb.
Panitia Penyelenggara

Informasi :
Boim - 081316235423
Rusdi - 08121004328

* Silakan berinfaq (berapapun) untuk kelangsungan
acara ini, silakan transfer ke rek. an. Sunaryo, BCA,
KCP Pondok Indah, no. 2371505191, atau disampaikan
langsung saat acara ke mas Naryo.
* Silakan bawa payung/jaket/topi, untuk antisipasi
turunnya hujan.

Selasa, 08 April 2008

Sexy Body Istri Tetangga - Dengan Sapi pun, Kita Bekerja Sama


Dalam forum maiyahan, tempat pemeluk berbagai agama berkumpul
melingkar, seringsaya bertanya kepada forum:"Apakah anda punya
tetangga?"
Biasanya dijawab: "Tentu punya"
"Punya istri enggak tetangga Anda?"

"Ya, punya dong"
"Pernah lihat kaki istri tetangga Anda itu?"
"Secara khusus,tak pernah melihat"
"Jari-jari kakinya lima atau tujuh?"
"Tidak pernah memperhatikan"
"Body-nya sexy enggak?"
Hadirin biasanya tertawa. Dan saya lanjutkan tanpa menunggu jawaban
mereka:"Sexy atau tidak bukan urusan kita,kan?Tidak usah kita
perhatikan, tak usah kita amati, tak usah kita dialogkan, diskusikan
atau perdebatkan. Biarin saja".
Keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Ndak
usah diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, mana
yang lebih unggul atau apapun. Tentu, masing-masing suami punya
penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya,
tapi cukuplah disimpan didalam hati.
Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah. Dan itulah sebabnya ia
menjadi orang non-Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa
Islam itu benar ngapain dia jadi non-Islam? Demikian juga, bagi orang
Islam, agama lain itu salah, justru berdasar itulah maka ia menjadi
orang Islam.
Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja didalam hati,
jangan diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar
atau pertengkaran.
Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah
kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai
istrinya masing-masing, tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung
hidungnya karena Bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai
dokter, umpamanya.
Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah
dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya. Sementara
itu orang muslim yang mau melahirkan padahal motornya gembos, silakan
pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar
istrinya ke rumah sakit. Atau, Pak Pastor yang sebelah sana karena
baju misanya kehujanan, apdahal waktunya mendesak, ia boleh pinjam
baju koko tetangganya yang NU maupun yang Muhamadiyah.
Atau ada orang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga
Budha, kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga
Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya.
Tetangga-tetangga berbagai pemeluk agama, warga berbagai parpol,
golongan, aliran, kelompok, atau apapun, silakan bekerja sama
dibidang usaha perekonomian, sosial, kebudayaan, sambil saling
melindungi koridor teologi masing-masing. Bisa memperbaiki pagar
bersama-sama, bisa gugur gunung membersihi kampung, bisa pergi
mancing bareng bisa main gaple dan remi bersama.
Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya
Hindu, kebayannya Gatholoco, atau apapun. Jangankan kerja sama dengan
sesama manusia, sedangkan dengan kerbau dan sapipun kita bekerja sama
nyingkal dan nggaru sawah. Itulah lingkaran tulus hati dangan hati.
Itulah maiyah.

Minggu, 06 April 2008

Lupa dan Salah


Lupa dan Salah
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib


Ada 4 jenis kelupaan atau kesalahan dalam diri manusia.

Pertama, namanya 'misyan', itu artinya lupa, tapi lupa dan melupakan itu berbeda. Kalau lupa itu gak ada kesalahan, tidak ada pasal hukumnya, pasal akhlak maupun akidahnya, tapi kalau melupakan itu suatu tindakan moral, suatu tindakan yang bisa menyentuh batas hukum, baik hukum negara maupun akhlak.

Yang kedua, namanya 'qoto', itu salah. Kesalahan juga ada 2 macam, kesalahan teknis manajemen, ada kesalahan dalam arti bermakna moral, misalnya saya ujian berhitung matematik, saya melakukan kesalahan, saya tidak dosa karena saya ada kekeliruan ngitung, kalau keliru ngitung-nya ini dalam administrasi negara, dalam klausul-klausul, policy-policy aturan, ini bukan kesalahan intelektual, ini sebagai kesalahan moral.

Nomer tiga, 'dhulm', itu artinya aniaya, penindasan, penganiayaan. Jadi ini ketika lupa dan kesalahan sudah pada tingkat dimana kekuatan berbenturan pada manusia.
Yang kuat ke yang lemah dan terjadi pada berbagai macam lini, bidang atau level pada kehidupan manusia.
Ada penganiayaan dalam arti praksis politik kekuasaan, dalam arti violence, kekerasan. ada kekerasan fisik pakai peluru, pakai sepatu lars.
Ada kekerasan kata-kata, ada kekerasan tayangan, ada kekerasan religius.

Yang keempat 'junun', namanya junun itu dari kata jin, jadi 'something outside of the logics' itu namanya majnun.
Jin itu aplikasi kemahlukannya, majnun itu orang biasa, orang manusia yang ditimpa oleh junun.
Kata junun bisa dijelaskan secara psikiatrik maupun psikologis.

Cinta kalau disakiti terus menerus akan menjadi kebencian, tapi kalau engkau menyelam kedalam apa yang disebut kebencian sesungguhnya dia adalah cinta yang tulus.