suporter

Sabtu, 31 Mei 2008

Membangkitkan Kebangkitan

Membangkitkan Kebangkitan

Ditulis Oleh: Noe Letto


Heboh benar peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional, dan saya cari-cari di mana diri saya di tengah keramaian itu. Berhubung tidak menemukannya, saya mengandaikan diri saya cukup penting, sehingga ada yang bertanya: apa aspirasi saya tentang Kebangkitan Nasional. Dan saya pun nekat menulis tentang sesuatu yang jauh lebih besar dari diriku. Yakni nilai-nilai yang melandasi sikap untuk bangkit sebagai bangsa.

Pastilah nilai yang diyakini dan dilaksanakan seseorang akan propagate ke mentalitas dan kualitas decision making yang dia jalankan. Nilai yang diyakini dan dilaksanakan sebuah generasi akan membawa perubahan pada generasi tersebut dan berpengaruh pada generasi setelahnya.

Saya coba menuliskan sejumlah konten sikap dasar itu, dan memulainya dari diri saya sendiri, misalnya: ''mendapatkan kesenangan tanpa ada yang disusahkan''. Sebuah sikap dasar yang menumbuhkan empati dan membunuh budaya egoisme. Itu kabarnya yang disebut saleh dalam agama: kebaikan dan kebenaran yang ketika diterapkan di dalam dialektika tatanan sosial, tak ada yang tersakiti.

Sikap eksploitatif tak diberi ruang sedikit pun. Jika transaksi (dalam arti luas) terjadi tanpa ada pihak yang merasa dirugikan, output-nya adalah keikhlasan dan rasa bersyukur. Tanpa eksploitasi, keadilan bakal lebih terjamin. Kreativitas akan terpacu (karena tak ada jalan pintas untuk mengambil keuntungan).

Memberi kesempatan pada setiap orang untuk berbicara dan memberikan haknya untuk dinilai secara objektif. Seringkali seseorang harus menjadi tokoh dulu agar perkataannya didengarkan. Padahal, alangkah lebih baiknya kalau kita mendengarkan perkataan siapa pun terlebih dulu, baru memutuskan apakah dia seorang tokoh atau bukan.

''Berpikir global sebagai jenius lokal''. Sadar akan posisi kita pada pemetaan dunia tanpa meninggalkan local-wisdom yang terbangun dari peradaban ribuan tahun akan memberi filter terhadap budaya yang masuk. Memberi perspektif lebih luas pada cara pandang kita, sembari mengokohkan jati diri sebagai sebuah bangsa yang beradab.

''Kedaerahan yang Indonesiawi''. Kemampuan menggali budaya lokal, mampu mengukur kemampuan potensi lokal, dalam skala frame pemikiran untuk akselerasi kemajuan nasional. Time is money bukan berasal dari budaya kita. Jika money adalah ukuran keberhasilan, maka kita harus mendefinisikan kembali konsep itu yang sesuai dengan akar budaya kita. Katakanlah money sama dengan laba (profit dan benefit).

''Laba ekonomi tidak menghilangkan laba kemanusiaan, laba sosial, dan laba budaya''. Kemapanan ekonomi yang hilang kemanusiaannya akan menimbulkan iri dan dengki. Keuntungan ekonomi yang melupakan nilai sosialnya akan menimbulkan kesenjangan dan keresahan. Keuntungan ekonomi yang meninggalkan budaya akan mereduksi manusianya menjadi manusia yang tak lagi mengenal kemesraan, kebersamaan, dan etika. Manusia yang hanya terdefinisi dari jumlah uang yang ia miliki.

''Waktu adalah laba, jika waktu tak pernah terbuang sia-sia''. Meredefinisi arti kerja keras dan memberi ruang lebih luas pada proses-proses positif, kreatif, kadang tidak berhubungan langsung dengan proses ekonomi.

''Keringat adalah laba, jika tak satu tetes keringat pun tersepelekan''. Ketika setetes keringat dihargai, semua manusia berhak memiliki harga dirinya dari usahanya, bukan karena status sosialnya atau penghargaan yang pernah didapat.

Sikap adalah laba, jika berlaku kesadaran bahwa tidak ada hal terlalu remeh untuk dilakukan, sekecil apa pun itu. Membangkitkan budaya saling menghargai. Tak ada hal yang dianggap sepele dan tak ada yang punya hak untuk menyepelekan apa pun dan siapa pun.

''Keadilan adalah laba''. Pentingnya fairplay untuk menjamin kesetaraan kesempatan. Sudahkah kita mendomestikasi demokrasi? Ataukah demokrasi masih ''binatang'' liar di negeri kita? Atau mungkin demokrasi perlu diberi ''bumbu'' untuk menjadi ''barang dalam negeri''.

''Kebebasan berbicara dengan dilandasi kesantunan berbangsa''. Sopan santun akan memberi filter agar sebuah pesan yang disampaikan tidak menimbulkan ketegangan secara bahasa sebelum dicerna substansinya. ''Kebebasan berpendapat dengan dilandasi kemaslahatan bersama''. Seringkali kebebasan berpendapat digunakan untuk mengakomodasi perseteruan personal. Kita dipaksa menjadi penonton ''pertarungan politik'' yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan bersama. Nilai ini akan memberi pagar pada hal-hal seperti itu.

''Kebebasan berekspresi yang mengekspresikan Indonesia''. Banyak nilai yang bisa kita anut. Banyak deklarasi yang bisa kita teriakkan. Tapi pertanyaan fundamentalnya adalah seberapa teguh konsistensi kita untuk bisa terus bertahan pada sebentuk nilai, minimal sampai titik waktu tertentu yang akan membawa perubahan yang mendasar. Sambil memastikan bahwa nilai-nilai ini tertular pada generasi penerus kita.

Saya tidak berpendapat bahwa itu semua ada manfaatnya bagi siapa pun, tapi minimal saya bisa menghibur hati kecil saya sendiri bahwa ''tuan''-nya ini mau belajar menjadi manusia dan mencoba ''menjadi sebuah generasi''. (*dimuat di majalah Gatra, edisi 14 no 28)

Kamis, 29 Mei 2008

Allah kita Engkau kan

Di dalam kehidupan sehari-hari di muka bumi, Allah kita akui adaNya, namun belum tentu kita posisikan sebagai Pihak Pertama dalam konsentrasi dan kesadaran hidup kita. Allah belum kita jadikan Pembimbing Utama hidup kita. Allah belum kita jadikan Panglima Agung yang setiap instruksiNya kita patuhi dan setiap laranganNya kita jauhi. Allah masih belum kita letakkan di tempat utama dalam urusan-urusan kita, firman atau ayat-ayatNya belum kita jadikan wacana utama dalam menjalani kehidupan. Mungkin karena kita masih belum bisa berpikir rasional, atau mungkin kita belum memperoleh informasi yang cukup untuk membawa kita kepada betapa pentingnya Ia, atau justru karena kita sudah merasa pandai dengan kesarjanaan kehidupan kita.

Pada umumnya Allah masih kita letakkan sebagai Pihak Ketiga yang kita sebut 'Dia' dan sesekali saja kita sebut, utamanya ketika sedang susah dan kepepet oleh suatu masalah.

Jangankan lagi untuk mencapai kesadaran ke-Isa-an di mana pada konsentrasi batiniah terdalam kita menyadari bahwa pada hakekatnya kita ini tidak ada dan semata-mata hanya 'di-ada-kan' olehNya. Sehingga pada konsentrasi yang demikian kita melebur dan lenyap, sampai akhirnya yang benar-benar ada, yang sejati ada, hanya Allah. Dan pada saat itu Allah adalah 'Aku', karena 'aku' yang makhluk ini sudah lenyap sirna bagaikan laron yang terbakar oleh dahsyatnya sinar matahari.

Adapun di dalam Ikrar Husnul Khatimah itu kita memposisikan Allah sebagai 'Engkau'. Kita sadar bahwa kehidupan kita ini berada di hadapanNya. Allah bukan 'di samping' kita atau 'di sana', melainkan tepat di depan kita.

Sesungguhnya kesadaran meng-Engkau-kan Allah merupakan milik sehari-hari setiap Muslim yang Mu'min. Di manapun kita berada, apapun yang kita lakukan, Allah tidak pernah berada 'di sana', melainkan senantiasa berada di hadapan kita.

Bukankah jika melakukan shalat kita berupaya untuk menyadari seolah-olah kita sedang melihatNya di hadapan kita, dan kalau kita tidak mampu melihatnya maka Ia yang melihat kita dari hadapan kita sendiri? Dengan demikian Ikrar Husnul Khatimah adalah suatu peristiwa kesadaran di mana Allah bukan sekedar 'Ia' yang 'di sana' yang berposisi sebagai pelengkap penderita dari program-program karir sejarah kita. Melainkan di hadapan kita, dan merupakan konsern utama kehidupan kita.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (215)/PmBNetDok/1999)

Kamis, 15 Mei 2008

Hadirilah "Kenduri Cinta" - Hari Jumat, 16 Mei 2008, jam 20.00

Assalamualaikum wr wb,
Mengharap kehadiran rekan-rekan semua dalam acara bulanan:

KENDURI CINTA
Menemukan Nilai, Merajut Makna
ke 04

dengan tajuk
"Saat Sesat Sesaat"

bersama
Emha Ainun Nadjib

dan siapa saja...

***
Hari Jumat
16 Mei 2008
jam 20.00

Parkir Taman Ismail Marzuki
Cikini, Jakarta Pusat
GRATIS...LESEHAN...BAROKAH
Wassalamualaikum wr wb.



Sabtu, 10 Mei 2008

Dolly Dan Hukum Keausan

Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
KALAU tema maiyahannya soal keprihatirian terhadap nasib hutan seperti yang pernah dialami Kiai Kanjeng di Blora, Bojonegoro, dan lain-lain, yang melingkar ya para blandhong, sahabat - sahabat perhutani, pengusaha-pengusaha kayu, Pemda, Polres, Kodim, LSM, ulama-kiai-ustadz, dan siapa saja sesepuh masyarakat. Dalam memaiyahi hutan, diupayakan akad untuk sesegera mungkin menghabiskan menggunduli hutan, atau sebaliknya: memulai bersama melindunginya, melalui berbagai langkah kultural, birokratis, dan strategis.

Kalau maiyahannya soal pelacuran, di Dolly umpamanya, (beberapa tahun yang lalu Kiai Kanjeng pernah pentas di sana dan guyon sama WTS-WTS), ya yang melingkar utamanya teman-teman yang disebut wanita tuna susila. Terus ayyuhal-ghoroomiy alias germo-germo. Kalau bisa Muspida setempat, teman-teman relawan sosial, pemuka-pemuka agama, dan yang tak kalah penting pengusaha-pengusaha yang manusia.


Melacurkan diri itu salah atau benar tak usah menjadi bahan diskusi Maiyah. Sejak sebelum ada Nabi Adam, sudah ada kesimpulannya dan semua makhluk sepakat -wong ketika Tuhan mau bikin manusia saja Malaikat ngenyang: "Apakah Allah akan menciptakan manusia, yang toh kerjanya bikin kerusakan di bumi, termasuk merusak dirinya sendiri, serta menumpahkan darah...
Soalnya Malaikat sudah punya referensi: dulu manusia (yang diselidiki Darwin) itu kerjanya ` merusak dan akhirnya musnah sendiri. Kemudian, Tuhan mau bikin lagi dan dimulai Adam: Malaikat gelisah hatinya dan cemas.

Yang menjadi tema utama Maiyah adalah dua kenyataan. Pertama, tidak ada wanita yang sejak awal memang bercita-cita menjadi pelacur. Tidak ada gadis berdebar-debar hatinya membayangkan alangkah indahnya kalau bisa menjadi tuna susila, sehingga berdoa "Ya Allah, jadikanlah aku wanita tunasusila. Fa ila hadzihiu'niyyah assholihcih alfaaaatihah....
Kedua, tidak ada wanita tuna susila yang meningkat kariernya dan sampai ke puncak. Perawannya seharga setengah juta rupiah, kemudian mulai dinas dan harganya jadi 600 ribu rupiah, terus meningkat sampai sejuta, dua juta, tiga juta.
Tidak ada pelacur yang makin lama makin cantik, makin seksi, makin segar, makin kemelon. Sebagaimana semua makhluk, jasmaniyahnya diikat oleh hukum keausan. Makin lama makin aus, keriput, melorot, tua, karena gardu terdekat masa depannya adalah kematian.

Maka, harus dimaiyahkan agar setiap tuna susila kita pandu bersama untuk memiliki pengetahuan masa depan dirinya sendiri. Sampai berapa tahun lagi ia akan bisa bertahan. Kemudian, bersikap tegas dan realistis bahwa sekian tahun lagi dia, mau tidak mau, sudah harus berhenti. Untuk itu, sejak sekarang ia perlu mempersiapkan keterampilan untuk kelak menggantikan pekerjaannya yang sekarang. Pak Kiai, Pak Ustadz, Pak Pastor, Pak Pendeta , Pak lurah, dari Camat, semua pihak bermaiyah mengantarkan para wanita itu mempersiapkan diri menuju masa depan yang realistis.

Ini berlaku tidak hanya untuk orang-orang yang melacurkan jasmaninya. Tetapi,juga berlaku untuk siapa saja yang menjual nilai, menjual demokrasi dan reformasi, menjual amanat rakyat, menjual kesucian tangan rakyat ketika mencoblos di Pemilu, menjual negara, menjual harga diri manusia. dan bangsa.
Para pelacur politik Indonesia hari-hari ini juga sedang memasuki salah satu fase puncak keausan dan pengausan. Siapa saja yang terkoptasi dan terkontaminasi segera akan menjumpai dirinya aus sebentar lagi.

Kita Rindu Dunia Kagum pada Indonesia

Subtemanya menolak liberalisasi institusi pendidikan dengan tema besar Kongres Kepemimpinan Pemuda "Persembahan Yogyakarta untuk Indonesia". Diadakan oleh Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum UGM. Berlangsung di Boulevard UGM, malam hari, 3 Mei 2008 bermomentumkan hari Pendidikan Nasional yang jatuh tanggal 2 Mei. Ada orasi dari pelajar dan mahasiswa. Ada juga happening art. Tetapi acara itu menjadi istimewa dan lebih berperspektif lantaran dihadiri oleh Cak Nun.

Didampingi dua pembicara yakni Revitriyoso Husodo dari Institute for Global Justice Jakarta dan Dian Yanuardy dari Penerbit Resist Book Yogyakarta, Cak Nun tampil sebagai pembicara terakhir. Jika dua pembicara sebelumnya mengulas globalisasi dan dampaknya pada pendidikan, Cak Nun mengajak para mahasiswa yang rata-rata kelahiran akhir tahun 80-an ini untuk berpikir jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. "Termasuk harus ada perhitungan terhadap diri Anda sendiri. Nanti kalau Anda sudah lulus kuliah, kemudian mencari pekerjaan, berkeluarga, punya anak, dan mungkin akan menjadi PD 2 misalnya, apakah Anda masih akan berkata seperti ini," tambah Cak Nun.

Lebih lanjut diuraikannya, "Saya juga mengawal mahasiswa tahun 70-an, bahkan ketika saya belum jadi mahasiswa, tapi saya sudah bekerja sebagai wartawan. Saya lahir dari era yang penuh cita-cita tentang Indonesia. Saya bayangkan 20 tahun setelah itu pendidikan kita gratis. Lha kok malah malam ini kita terjebak pada situasi yang lebih parah. Kita ini bukan negara berkembang, kita negara melorot."

Namun Cak Nun tetap tak henti-hentinya memompakan semangat, "Malam ini yang saya pujikan dan doakan adalah, e di tengah zaman yang kayak gini, Anda masih punya cita-cita. Dua puluh tahun mendatang Indonesia akan dikagumi dunia. Percayalah, percayalah, supaya Tuhan pekewuh. Kalau Anda sendiri tidak percaya, nanti Tuhan bilang, wong arek-arek dewe ra percoyo. Keluarkan dari pranamu, supaya alam bekerja. Nanti kita cari argumentasi-argumentasinya dari berbagai disiplin."

Kembali ke soal pendidikan, Cak Nun mengajak para generasi muda yang memenuhi bagian selatan Boulevard UGM itu, ada yang duduk, ada yang berdiri di pinggir jalan tetapi penuh perhatian, pun juga ada yang dari dalam mobil tetapi tetap juga dengan penuh simak, untuk berpikir lebih komprehensif.

Kita Rindu Dunia Kagum pada Indonesia"Kita harus paham liberalisasi tak hanya terjadi pada skala UGM, lokal, nasional, tapi kita juga harus tahu asal-usul globalnya.... Hal sekolah gratis, kita tidak boleh hanya minta, tapi juga harus menghitung keuangan rumah tangga Indonesisa... sehingga kita tak hanya melakukan kegiatan yang progresif-politik, tapi juga ilmiah. Sekarang ini pokoknya ingin-ingin, tanpa konsideran ilmu. Liberalisasi pendidikan ini ada karena kita nggak punya duit, sementara keperluan macam-macam. Juga karena ada ketidak adilan dalam pembagian dana. Keuangan negara harus dibenahi. Kita juga tidak benar dalam mengelola aset-aset alam kita. Jadi, untuk tercapainya pendidikan gratis yang merupakan social service atau public service, harus ada pemerintah yang berani mengajak rakyatnya untuk mandiri. Kita butuh unsur Soekarno dan Soedirman, juga Ahmadinedjad dan Morales, untuk merebut Indonesia dari kekuasaan global," papar Cak Nun.

Karena itulah, memproyeksi ke skala lebih luas dan mendasar, Cak Nun mengajak para mahasiswa untuk juga mengenal siapa dirinya, siapa bangsanya, yang dalam pandangan Cak Nun kita semua ini adalah bangsa yang besar tetapi sedang diempritkan atau dikerdilkan. "Harus ada anak muda yang bercita-cita. Namun cita-cita ini mustahil terwujud tanpa ada kebangunan bangsa. Kita merindukan Indonesia dikagumi dunia. Kita sekarang tidak ditakuti siapa-siapa. Tolong acara ini dipakai untuk bercita-cita jangka panjang. Liberalisasi ini bukan soal setahun dua tahun, tetapi panjang....", tutur Cak Nun. []
from www.padhangmbulan.com

Jumat, 09 Mei 2008

fir'aunkah kita???

FirmanNya kepada Musa As:
"Pergilah engkau menemui Fir'aun yang telah melampaui batas itu, dan tanyakan kepadanya: Apakah engkau mau menyucikan diri? Niscaya kupimpin engkau menuju Tuhanmu..."
(An-Naziyat 17,18,19)

Aku juga seorang Fir'aun, jika yang aku utamakan adalah kehendakku sendiri, dan bukan kemashlahatan bersama
Aku juga seorang Fir'aun, jika yang aku dengarkan hanyalah nafsu dan ambisiku sendiri, dan bukan apa rahasia hati rakyat yang teraniaya
Aku juga seorang Fir'aun, jika yang aku tegakkan adalah kebenaran pendapatku sendiri, dan bukan sikap rendah hati dan rasa malu kepada masyarakat
Aku juga seorang Fir'aun, jika yang aku utamakan adalah kejayaan dan kemenanganku sendiri, dan bukan kesejahteraan hidup dan kegembiraan hati orang-orang kecil

Jika demikian watakku, cara berpikirku,
pola sikap dan arah langkah perjuanganku
Maka individuku adalah Fir'aun
Maka pemerintahanku adalah Fir'aun
Maka kelompokku adalah Fir'aun
Maka partaiku adalah Fir'aun

1999
(Emha Ainun Nadjib/PmBNetDok)

Kamis, 08 Mei 2008

Ya Allah, Engkau tak Butuh Sapi...

Bagaimana mungkin orang Madura berani tidak hidup serius dan anti serius, lha wong Tuhan sendiri saja seriusnya setengah mati ketika menggagas, menskenario dan mengagungkan "la 'ibun wa lahwun" - permainan dan senda gurau, begitu kata firmanNya - dimuka bumi dan tempat-tempat lain di kosmos ini.

Kalau Ia berkata: "Aku ini Maha Pengasih dan Maha Penyayang", itu serius. "Aku ini Maha Penjaga dan Maha Pemelihara," itu tidak main-main. Ia mendelegasikan sejumlah Malaikat untuk memelihara pertumbuhan rambut Anda sampai sepanjang-panjangnya dan terus menerus tumbuh sehingga salon dan barber shop memiliki kemungkinan permanen untuk hidup. Para Malaikat lain Ia perintahkan untuk merontokkan rambut orang-orang tertentu, supaya Malaikat itu bisa membedakan mana orang yang ikhlas menerima kebotakannya dan siapa lainnya yang memakai wig atau sekurang-kurangnya menutupinya dengan topi di mana-mana. Sementara beberapa Malaikat lain Ia instruksikan untuk menahan laju pertumbuhan bulu alis dan idep di pinggiran mata Anda sampai hanya di bawah satu senti meter saja, sebab kalau tidak: mekanisme sosial masyarakat manusia akan menjadi lain dan estetika wajah manusia akan berubah konsepnya.

Begitu seriusnya mengkonsepsikan pen-ciptaan-Nya hingga detail-detail yang tak terhitung oleh ultrakomputer. Setiap matahari terbit dan manusia bangun dari tidur lelapnya, senantiasa terdengar oleh telinga bathinnya - dan seringkali tak terdengar oleh gendang dan daun telinga dagingnya - suara gaib bahwa Ia itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Seorang tua renta yang sepanjang hidupnya menyembah berhala, tiba-tiba mendengar suara itu ditengah sakit parahnya yang tak sembuh-sembuh. Kepada berhalanya ia sudah memohon-mohon, bersujud-sujud meminta kesembuhan, tapi tak terdengar jawaban, sehingga akhirnya ia putus asa dan merasa dendam. Ia berteriak pagi itu: "Baiklah, kalau kamu memang tidak bersedia menyembuhkan aku, terpaksa aku akan meminta kepada Tuhan yang namanya Allah atau siapa itu untuk mencoba menyembuhkanku. He, Allah! Kalau memang Kamu ada, kalau memang Kamu Maha Kuasa, kalau memang seperti kata orang-orang Kamu adalah Maha Pengasih dan
Penyayang.... sembuhkan penyakitku!"

Si tua renta itu membentak-bentak Tuhan sehingga para Malaikat yang mendengarnya naik pitam, dan hampir saja digamparnya itu orang, kalau saja mereka tidak ingat bahwa mereka hanya diperkenankan melakukan apa-apa yang diperintahkan oleh Tuhan. "Ya' malu ma yu' marun", hanya mengerjakan yang Allah perintahkan. Maka berbondong-bondong mereka dengan penuh emosi mendatangi Tuhan dan mengadukan perilaku si tua renta yang kurang ajar dan menyinggung perasaan itu.

"Ya Allah, ada seorang hamba-Mu yang tak tahu diri. Ia sembah berhala selama 79 tahun, kemudian di ujung usianya sakit parah dan berhala yang disembahnya tak menyembuhkannya. Lantas ia dendam dan menantang Engkau. Kalau memang Engkau ada, kalau memang Engkau Pengasih dan Penyayang, ia minta bukti berupa kesembuhan...."

Allah menjawab dengan santai namun muatannya sangat serius: "Ya sudah, sembuhkan saja sekarang dia!"

Para Malaikat langsung protes: "Lho, bagaimana, sih? Lebih dari seratus juta umat-Mu di Indonesia berdoa bertahun-tahun agar SDSB dibubarkan, baru belakangan ini saja Engkau mengabulkan. Dan doa-doa mereka menyangkut kekalahan politik mereka, kekalahan ekonomi dan kebudayaan mereka, sampai hari ini Engkau biarkan terbengkalai. Padahal umat-Mu di negeri Indah itu sudah mati-matian salat, hajinya meningkat tiap tahun, sudah bikin masjid di mana-mana, ulamanya sudah kompak selalu dengan umara..... tapi Engkau biarkan mereka terkatung-katung dalam ujian-Mu dan hukum-Mu. Lha, ini ada seorang kafir penyembah berhala mau ngetes Engkau, kok langsung saja Engkau kabulkan permintaannya?"

Tuhan tetap santai juga menjawab: "Lha, kalau doanya tidak Saya kabulkan, lantas apa bedanya antara Aku dengan berhala itu!"

Jadi, ammaba'du, demikian seriusnya Allah atas dirinya sendiri, demikianlah konsistensinya Ia atas ucapan dan janji-janji-Nya sendiri. Bagaimana mungkin orang Madura berani 'dak serius kepada Tuhan dan dirinya sendiri?

Tapi memang ada juga sih, anak-anak muda Madura yang terkadang berani bersenda gurau yang keterlaluan kepada Tuhan, seperti mahasiswa asal Batang-Batang ujung timur Madura yang di kampusnya diangkat jadi Menwa ini.

Pada suatu hari di antara berbagai jenis kemiliteran, ia diwajibkan ikut berlatih terjun payung. Terjun payung! Gila. Naik ke angkasa, lantas anjlok ke tanah! Iya, kalau payungnya bisa dibuka. Kalau tidak? Kalau tiba-tiba lupa caranya mengembangkan payung? Kalau mendadak gegar otak sementara?

Jadi betapa mengerikan. Si pemuda Batang-Batang ini terus terang saja ketakutan setengah mati. Mending carok melawan Rambo daripada terjun payung.

Tapi, demi harga dan kehormatan Madura, akhirnya ia layani juga kewajiban itu. Ia berlatih sebisa-bisa sambil memompa keberanian di hatinya. Tetapi ketika saatnya untuk harus terjun beneran tiba, ternyata ketakutannya belum reda. Badannya dingin panas, dadanya gemetar. Dan dalam keadaan seperti itu, siapa lagi kalau bukan Tuhan sahabatnya.

Maka ketika berbaris menuju pesawat, diam-diam ia berdoa: "Ya Allah, kalau Engkau selamatkan aku dalam tugas ini untuk kembali ke bumi tanpa kurang suatu apa, aku berjanji akan menyembelih ayam..."

Semakin dekat ke pesawat, doanya semakin seru, konsesi yang ia tawarkan kepada Tuhan pun meningkat. "Tidak hanya seekor ayam, Tuhan, tapi lima, lima ekor yang akan saya sembelih!"

Ketika kemudian ia naik pesawat, duduk berbaris, melirik jendela dan melihat betapa jauhnya bumi di bawah, konsesinya membengkak pesat: "Sapi, Tuhan, Sapi! Saya akan sembelih sapi!"

Dan ketika satu persatu anggota Menwa itu didorong terjun dari pintu pesawat, lantas ia sendiri merasakan tangan sang komandan menyorong punggungnya, lantas terlontar dari mulutnya: "Sapi! Sapi!..."

Tapi kemudian, tatkala ia sukses menjalani tugasnya, menjejakkan kakinya kembali di tanah, Si Batang-Batang ini mengadah wajahnya ke atas sambil bertolak pinggang: "Meskipun saya 'dak sembelih sapi, mau apa! Aku tahu Engkau tak butuh sapi!"

Rabu, 07 Mei 2008

THE NATION OF TEMPE

Ada yang bilang, ketika Raja demak Sultan Trenggono menyerbu
Pasuruan lewat laut jawa, armada beliau beranggotakan tak kurang dari 800,000 prajurit yang diangkut dengan ribuan kapal.
Mungkin jumlah itu tidak `shahih` . Mungkin `perawi` sejarahnya agak
ngawur. Tapi, yang jelas setidaknya ada berpuluh - puluh kapal dengan
muatan beratus ratus manusia.

Yang menjadi pertanyaan Jon Parkir ialah bagaimana `sistem dapur`
kapal itu selama berbulan - bulan dalam perjalanan? Kan belum ada kompor.
belum ada makanan kalengan. Apa mereka bikin ratusan `pawon (dapur) kayu
bakar di setiap kapal supaya pendekar demak lancar makan minum ?
Maka alkisah kitab bab ketiga belas literatur mengenai peradaban jawa
memuat penjelasan mengenai hal itu. kabarnya ada ide bikin makanan pampat
dari tempe. entah diramu dengan apa dan bagaimana cara bikinnya, tapi
pokoknya dihasilkan butiran - butiran super tempe kecil yang sekali
telan bisa berkhasiat sepiring nasi dan lauk pauk.
Tapi apa hiya ? Pak sartono Kartodirjo yang bisa menjawab dengan
argumentasi yang reepresentatif.
Namun yang jelas, tekonologi makanan yang berkembang subur sejak
jaman Majapahit, dimana Nusantara digarap secara maritim, pada akhirnya
tak menemukan relevansinya sesudah Kerajaan jawa berorientasi ke
pedalaman: Pajang dan Mataram. Sedemikian rupa, sehingga kita hanya
mengenal tempe tidak terutama pada kedudukannyasebagai lambang
kecanggihan peradaban bangsa kita.
`God knows better. Wallahu'alam`. seperti juga kalau kita bertaoya
apa alat rekat batu - batu candi Borobudur? Apa semen bangunan megah dari
masa silam?
Ada juga yang bilang kulit batang pisang yang kering , kalau
direndam pakai garam , bisa amat kuat dan bisa dibikin semacam tas kulit.
(secangkir kopi jhon parkir)

Wirid dan Kerjakeras



Tanah tanpa tanaman itu omong kosong, tahayul atau klenik. Manusia yang tidak mengakarkan dan menumbuhkan tanaman di atas tanah, akan hanya menjadi manusia hutan belantara yang hidupnya bergantung pada tanaman sunnah (tradisi penciptaan) Allah.

Hidupnya sudah produktif, tidak kreatif, tidak inovatif, dan itu artinya tidak setia kepada daya kerja dan kewajiban menggerakkan kehidupan yang berasal dari Allah.

Tanaman yang ditumbuhkan hanya di pot atau tabung yang memisahkan hubungannya dengan syariat bumi, alias hanya mengeksploitir bumi itu dengan hanya mengambil beberapa jumput tanah untuk ditaruh untuk ditaruh di dalam pot itu - juga tidak akan menemukan daya guna maksimal dan potensialitas alam.

Dengan batas 'kosmologi' pot itu manusia jadinya juga memutuskan hubungan dengan sumber, sehingga tidak akan tercapai pula titik tuju kehidupannya. Ia bersikap a-historis terhadap sejarah eksistensi kehidupannya, serta berlaku tidak ilmiah terhadap kenyataan dirinya.
Ia akan hanya memperoleh sukses yang palsu, kemajuan yang menjebak hari tuanya, produk yang temporer dan tidak sejati, dan akhirnya penyesalan menjelang maut.

Kita tidak ikut memperjuangkan proses kelahiran diri kita, sehingga tanggung jawab kita kepada diri kita sendiri secara alamiah cenderung kalah mendalam dibanding tanggung jawab Bapak kita atas diri kita.
Tapi karena Ibu-lah yang lebih menghayati kesengsaraan dalam melahirkan kita, maka tanggung jawab Ibu atas hidup kita lebih mendalam dibanding tanggung jawab Bapak, dan terlebih lagi dibandingkan dengan kadar tanggung jawab kita atas diri kita sendiri.
Namun demikian tanggung jawab siapapun atas diri kita tidak ada sejumput debu dibanding besarnya, agung dan setianya tanggung jawab Allah atas kehidupan kita. Karena peranNya dalam proses penciptaan dan pelahiran atas kita sama sekali jangan dibandingkan dengan peran Ibu Bapak kita.

Allah sangat konsisten, setia, mesra dan amat bertanggung jawab terhadap nafkah kita, rejeki kita, kesejahteraan kita, keselamatan dan kebahagiaan kita.
Indahnya tanggung jawab Allah itu akan sangat tampak jelas di mata ilmu kita dan kesadaran batin kita apabila pola pandang yang kita pakai dalam menilai apapun saja yang kita alami ini - berperspektif dunia akhirat, bukan hanya melalui kalkulasi dan atau berskala dunia saja atau akhirat saja.

Wirid yang kita lakukan ini berfungsi dialektis.
Pertama, ia merupakan wujud tanggung jawab kita kepada kemurahan Allah atas kehidupan kita.
Kedua, wirid itu sendiri merupakan salah satu 'perangsang' bukti tanggung jawab Allah atas hidup kita.
Semakin kita mewiridkan kekuasaan dan cintaNya di sisi kerja keras kita setiap hari, semakin Allah menunjukkan bukti tanggung jawabNya.

Sesayang-sayang Bapak dan handai tolan kepada kita, jangan pernah dipertandingkan melawan rasa sayang Allah kepada kita.
Secinta-cinta Ibu dan sanak famili kepada kita, jangan pernah dikompetisikan melawan kadar cintaNya kepada kita.
Ada perhubungan cinta segitiga, antara Allah SWT, Rasulullah Muhammad SAW dengan kita. Akurasi dan maksimilitas kabulnya doa kita dan suksesnya kerja keras kita, sesungguhnya minimal berbanding sejajar dengan frekwensi dan kedalam wirid kepada Allah dan RasulNya, maksimal satu wirid menjadi tujuh batang pohon barokah, di mana dari setiap pohon barokah itu terlahir seratus buah pada masing-masingnya.

Saya mengajak Anda semua pergi ke sawah lantas mencangkulnya dan menanaminya dengan kemajuan hidup dan bukannya pergi ke sawah untuk duduk bersila dan berwirid dengan harapan tanaman akan tumbuh dengan sendirinya.
Sambil bekerja keras atau disela-sela kerja keras itulah kita berwirid.
Dengan tujuan, pertama wirid itu akan merabuki tanaman kita sehingga berbuah barokah, dinamis, investatif, produktif dan menyimpan rejeki-rejeki tak terduga.
Kedua, kita sama sekali tidak mampu menjamin bahwa kita akan terus sukses, terus 'berkuasa' atau terus 'punya' ini itu. Dalam hal itu tradisi wirid akan menghindarkan kita dari keterjerembaban ke titik terendah dari kehidupan alias kondisi faqir.
"Wirid Padang Bulan"