suporter

Kamis, 28 Agustus 2008

Kesaksian Sederhana Orang Biasa


dua buah puisi dari milis padhang mbulan. Untuk BERLANGGANAN, kirim e-mail kosong ke
kenduricinta-subscribe@yahoogroups.com Untuk BERHENTI, kirim e-mail kosong ke
kenduricinta-unsubscribe@yahoogroups.com

Kesaksian Sederhana Orang Biasa From Maiyah KC
Kesaksianku tentang dunia hanya bisa sederhana
Karena jenis dan standar kebahagiaanku memang sangat biasa-biasa saja

Kaki hidupku tidak meloncat menggapai langit
Tak ada yang kukejar hingga lari terbirit-birit

Tanganku tidak mengacungkan tinju ke angkasa
Sebab tak ada satu unsur apapun dalam kehidupan ini
yang membuatku kagum dan terpana

Kekuatanku tak akan menyentuh siapa-siapa
Karena aku tidak tertarik pada kemenangan atas manusia

Kubelanjakan tenagaku hanya sedikit saja
Sebab atas segala yang lemah hatiku tak berdaya

Kalaupun pikiranku mengembara sampai ke ruang hampa
Hatiku sudah lama selesai dan tak meminta apa-apa

Tak ada sekilaspun padaku mimpi menaklukkan dunia
Sebab dunia sangat murah harganya dan hanya beberapa
tetes keringat dari badanku yang kurelakan untuknya

Tak ada sedikitpun minatku terhadap kehebatan diri
karena jenis kelemahanku adalah kebiasaan
untuk mentertawakan diriku sendiri

Jika ada orang beramai-ramai tersesat menjunjungku
Volume kepalaku tidak membesar dan hatiku tetap bisa mengantuk

Jika mereka menemukan kebenaran sehingga menghinaku
Helai-helai buluku tidak berdiri bahkan kantukku bertambah lelap

Kebesaran dan kegagahan amat sangat aku remehkan
Dan tak akan pernah kukenakan sebagai pakaian

Apabila dunia menyangka aku mencintainya dan ingin mengawininya
Tentu karena ia tak tahu aku sudah mentalaknya sebelum pernah mencintainya

Barang siapa kegagahannya mendatangiku dan menggertak
Kusihir ia jadi katak
(Emha Ainun Nadjib/PmBNetDok/2004)

Sudah Bukan Diriku From: maiyah kc

Kalau aku sudah bukan diriku
Akankah lahir anakku yang berasal dari dirinya
Kalau manusia sudah tak sepenuhnya manusia
Adakah cara agar penerusnya kembali manusia

Kalau aku sudah hilang
Karena diriku digantikan
Oleh diri seragam produksi massal
Yang mana dari nilai-nilai yang masih mungkin tertinggal

Bangsaku sudah bukan bangsaku
Bangsaku bukan bangsa yang tumbuh
dari dalam diri kebangsaannya
Bangsaku hanya bahan dasar alam
Sebagaimana batubara yang ditambang
Dicetak oleh industri globalisasi
Dijadikan plastik dan robot barang dagangan
Pemerintahku adalah anjing herder
Pikirannya dikendalikan oleh stick holder

Merahkah ini hijaukah itu
Baikkah ini burukkah itu
Ditentukan tidak berdasar nurani dan akalmu
Karena sudah ada paket makro untuk itu

Mana maju mana mundur
Apa yang mulia apa yang hina
Siapa Nabi siapa teroris
Bukan hak kemanusiaanmu untuk menentukan

Bumi mengecil seukuran bola golf
Diambil dipukul diambil dibuang atau dikeranjang-sampahkan
Bangsaku terdaftar sebagai pelacur unggul tergolek di ranjang
Disetubuhi kapan saja Mr. Global Stick Holder menghendaki

Sekujur badan disemprot parfum demokrasi
Dihibur dengan lagu dusta tentang hak asasi
Mata dipejamkan ditiup dengan hawa toleransi
Mulut dingangakan, siap dituangi sperma globalisasi
Tetapi bangsaku tak kehilangan dirinya
Karena generasi yang ini sejak lahir memang sudah bukan dirinya

Hujan turun terlalu deras
Hujan ludah dan air liur para raksasa
Manusia dan negara dipersatukan oleh banjir
Dunia menyempit, menjadi sebuah bendungan

Bendungan itu
Bernama globalisasi
Hujan turun terlalu deras
Banjir global masuk sampai ke kamar pribadi
Menelusup sampai ke ulu hati
Bahkan otak sampai terbungkus oleh kerak tahi besi

Di manakah, dalam banjir itu, manusiamu?

Tak ada kegelisahan apapun atas hilangnya diri
Tak ada ketakjuban atas punahnya nilai

Apakah wajah yang kau temukan di kaca itu
benar wajah manusia

Sebab pada semuanya yang lebih menonjol
adalah tanda-tanda kehewanan
Yang lebih rajin muncul
adalah indikator kebinatangan
politik keserakahan
mobilisasi pelampiasan
ekonomi keborosan
globalisasi pemusnahan kemanusiaan
peruntuhan nilai-nilai batin
seluruh permukaan bumi sedang dirancang
menjadi hamparan lapangan golf
di mana para juragan global dengan stik-stik mewah
membidik dan melempar bola-bola golf
yang terbuat dari kepala-kepala manusia

Dan kalau engkau bertanya tentang aku
dengarlah pertanyaanmu itu kujawab
dengan penuh kebanggaan:
Aku adalah setan!
Aku adalah setan, yang riwayatku
ditulis oleh Tuhan sendiri di kitab suciNya
bahwa puncak sikapku adalah pernyataan suci
bahwa sesungguhnya aku takut kepada Allah
Apakah manusia takut kepada Tuhan?
Apakah bagi manusia, Tuhan cukup penting?
Tuhan tergeletak di belakang tumit setiap orang
Tuhan bukan subyek yang disertakan
dalam proses pengambilan keputusan

Kalau bangsa ini semakin tak memenuhi syarat untuk disebut bangsa
Kalau manusia kita semakin tak pantas disebut manusia
Adakah cara agar penerus kita kembali manusia?
(Emha Ainun Nadjib/2004/PmBNetDok)

Rabu, 27 Agustus 2008

NOE LETTO "Ayah saya penyanyi Tembang Setan"

sebuah wawancara dengan Noe Letto diambila dari Official site letto

Pelantun tembang-tembang teduh dari Letto ini berbagi kisah berjumpa dengan Nabi, arwah Freddy Mercury, hingga kenakalan membakar pabrik.
Sabrang Mowo Damar Panuluh adalah putra budayawan Emha Ainun Nadjib dengan istri pertamanya, Neneng Suryaningsih. Kini, dia melejit dengan nama sapaan yang berasal dari rekan kuliahnya di Jurusan Matematika dan Fisika, Universitas Alberta, Edmonton, Kanada. Pria kelahiran 10 Juni 1979 ini memotori terbentuknya Letto. Lagu Letto di album perdana Truth, Cry, and Lie yang sendu telah merebut perhatian. Album kedua Letto, Don’t Make Me Sad, memiliki misi khusus karena sebagian hasil penjualan akan didedikasikan untuk pembuatan buku dengan huruf braile. Inilah vokalis, keyboardist, dan pujangga yang menghias lirik Letto dengan kata-kata puitis yang kontemplatif.

Mengapa Anda dipanggil Noe?
Sejarahnya panjang karena teman-teman saya di Kanada lebih mudah menyebutnya dari panjang nama saya yang asli.

Lagu Letto yang paling sulit dinyanyikan?
"Innosense's Innosence" karena lagunya datar. Enaknya yang santai, tapi nggak emotionalless.

Kapan Anda menyadari kalau Anda bisa bernyanyi?

Sampai sekarang saya nggak sadar kalau saya bisa menyanyi (tertawa).

Bagaimana peran ayah Anda dalam pendidikan musik Anda?
Nggak punya peran sama sekali. Kalau bermusik kan macem-macem. Ngomong aja pakai musik. Kalau nggak pakai irama nggak enak ngomongnya. Perannya yah ngajarin ngomong. Alat musik nggak pernah ngajarin.

Lagu pertama yang dinyanyikan yang membuat Anda jadi vokalis?
(Tertawa) Itu pertanyaan susah. Soalnya nggak ada yang mau jadi vokalis. Jadi, saya terdakwanya. Karena nggak ada korban lain aja.

Mengapa selalu menggunakan topi kupluk?
Kata orang sih bagusnya pakai kupluk. Saya pakai kupluk sudah lama.

Apa alasan Anda pernah bercita-cita sebagai pengantar pos?
Setahu saya orang pos itu kaya dan murah hati. Karena sering ngirimin wesel ke rumah. Kan orangtua saya kerja sebagai penulis. Jadi, dapat uang dari kiriman wesel. Saya pikir kok tukang pos ini kaya banget ngasih duit terus.

Apa perbedaan yang Anda rasakan saat dibesarkan di Lampung dan Yogya?
Satu, setting-nya saja yang berbeda, yang satu di desa, yang satu di kota. Nilai-nilainya banyak yang bisa diserap juga. Semua jadi wacana yang baik. Saya tuh culture shock sama semua hal. Dari ngeliat tangga berjalan sampai pesawat terbang itu melalui syok.

Paman Anda kan memberikan kumpulan lagu-lagu Queen. Lagu apa yang paling berkesan?
"Lilly of the Valley" karena lagunya bagus dan paling ‘nyambung’ sama saya.

Sebagai pembicara seminar, apa Anda pernah mengalami debat kusir yang melelahkan?
Banyak, tapi saya nggak ingat detailnya. Sering juga yang isinya nggak mau kalah. Biasanya masalah yang mengandung interpretasi, seperti pemahaman agama, pemahaman lirik. Seperti, "Apa maknanya lagu Bento?" Yah, debat kusir jadinya. Orang bebas menginterpretasi kok. Nggak penting merasa interpretasinya yang paling benar. Diskusi yang obyektif yang paling enak, mulai dari kuku sampai genetik.

Apa topik diskusi teraneh?
Banyak. Tapi, nggak penting nggak apa-apa yah? Rambut sama kuku. Mengapa ada rambut di atas, alis, kumis, di mana-mana? Tapi, ada di tiap tempat dan panjangnya beda, mereka tahu. Itu bisa panjang tuh (diskusinya).

Sebagai penggemar Queen, apa yang akan Anda katakan seandainya Freddy Mercury bangkit dari kubur?

Eh, gimana kabarnya, Setan? Nggak deng (tertawa). Kapan-kapan diajak tur yah!

Lagu "Bunga di Malam Itu" berisi tentang perjumpaan dengan Nabi Muhammad SAW, apa peristiwa yang menginspirasi Anda?

Siapa yang nggak ingin ketemu sih? Itu kalau diceritakan saya merasa nggak nyaman. Cerita personal dia ketemu dengan siapa. Saya cerita tentang kekangenannya, bukan peristiwanya. Ada peristiwa yang spesifik. Tapi, nggak mau saya ceritakan (tertawa).

Mengapa Anda tidak menjadi penyanyi tembang religi seperti Ayah Anda?
Potong leher saya kalau Ayah saya penyanyi lagu religi. Ayah saya penyanyi Tembang Setan (tertawa). Karena kita tidak percaya dengan lagu religius. Kalau ada lagu religius berarti ada lagu tidak religius dong. Padahal semua hal menurut kita bisa diambil sisi religiusnya. Mau ngomong kambing sampai tai sapi, semuanya bisa religius juga. Bukan lagunya, tapi bagaimana kita mengambilnya.

Apa yang ingin Anda capai saat berumur 30?
Nggak boleh yah ngomongin mati?

Terserah...
Saat saya umur 30, saya ingin pandangan saya jelas. Tentang banyak hal. Wacana sangat banyak dan belum semua bisa masuk dalam kotak-kotaknya. Ada yang masih blur, di gray area. Itu sebenarnya apa. Semoga saat umur 30, semua bisa terjawab, bisa masuk ke dalam kotaknya sendiri-sendiri sehingga lebih jelas memandang dunia.

Anda memadukan lirik cinta yang komersial dengan nilai filosofis, seberapa patuh Anda pada tuntutan industri?

Industri sekarang nggak ada yang jelas dalam tolok ukur. Tolok ukurnya selalu penjualan. Itu pun selalu teori antara penjualan terhadap karya seni. Samapi sekarang belum ada rumus statistiknya laku seperti apa, menjual seperti apa. Jadi, karena ukuran mereka nggak jelas terhadap suatu karya yah saya juga bikin batasnya nggak jelas, suka-suka hati.

Ada media yang pernah menghujat Letto karena hanya mampu membawakan lagu tentang cinta dan pemujaan pacar yang terdengar seperti keabadian di neraka. Komentarnya?
(Tertawa) Jempol buat Anda. Silahkan. Kedalaman Letto itu bukan dari liriknya. Liriknya itu cermin bagaimana diri Anda sendiri. Kalau Anda ingin melakukan pencarian yang holistik, di situ bisa menemukan. Itu bisa diambil dari banyak sisi. Yang Anda ambil itu yang Anda inginkan. Kita juga sadar nggak semua orang punya sudut pandang yang sama, cara mencerna yang sama, gak semua orang punya IQ yang sama (tertawa). Terserah, kita senang-senang sajalah.

Apa kenakalan yang paling Anda sesali?
Membakar pabrik.

Wah, kenapa itu?
Karena saya kriminal (tertawa). Sudah lama, kenakalan anak kecil. Anak-anak muda kan isinya berkelahi atau apa. Anak ini saya ajak berkelahi nggak mau. Tapi, kerjaannya ngerusakin sepedaku setiap saat. Yah, pabrik Bapaknya aku bakar sekalian (tertawa).

Bagaimana hubungan Anda dengan orang itu sekarang?
Ketawa-ketawa aja. Sampai sekarang dia nggak tahu yang bakar aku (tertawa).

Drugs? Alkohol?
Belum pernah. Ada pilihan untuk tidak.

Lagu apa yang membuat Anda merasa memiliki suara yang seksi?
"SMS". Pernah menyanyikan sendiri di kamar mandi. "Bang, SMS siapa ini, Bang?" (menyanyi). Tapi, itu menurut saya sendiri (tertawa).

Anda pernah mengatakan industri musik sekarang instan. Berapa lama Anda memprediksi karier Letto?
Bisa jadi instan juga. Semua hal yang instan adalah kemasannya. Jadi, kita mencoba menuju pada hal-hal yang kemasan tidak selalu instan. Kita membuat sesuatu yang bernilai. Sepuluh tahun dari sekarang lagu “Sandaran Hati” akan mempunyai makna yang fresh juga.

Pernah terpikir untuk solo karier?
Pernah. Tapi, nggak di musik. Yah, jadi researcher atau jadi orang kaya (tertawa).

Penggemar Anda di Malaysia ingin menjadikan Anda sebagai suami mereka. Apa pernah ada fans yang melamar Anda?

Ada yang kayak gitu. Mereka nggak ngirim surat ke aku. Mereka ngirim surat ke orangtua aku. (Ketawa-ketawa semua).

Anda mengambil jurusan Matematika dan Fisika di Kanada. Bagaimana penerapannya dalam hidup Anda?

Matematika dan Fisika saya adalah teori. Penerapannya adalah di atas kertas dan di komputer. Ini tetap saya lakukan sekarang. Kalau punya ide saya tulis di kertas dan hitung-hitungan sendiri kalau ngaco.

Mengapa nggak jurusan musik?
Nggak mampu otak saya (tertawa). Matematika dan Fisika saja yang lebih pasti.

Sebagai anak Cak Nun, kapan saat Anda merasa tidak religius?
Ketika saya tertawa terlalu keras. Ketika saya menangis...Saya nggak pernah menangis deng. Ketika semua hal keterlaluan saja.

Anda tak pernah menangis sekarang. Apa saat ini Anda sedang bahagia?
Nggak. Saya sudah kehilangan poin akan air mata (tertawa).

Apa pertanyaan yang paling mengganggu pikiran dan Anda belum menemukan jawaban?
Tuhan itu suka bercanda yah. (Tertawa) Pertanyaan di otak saya itu, ‘Candaan Tuhan yang mana yah?’ Itu tidak bisa didiskusikan. Itu kemesraan sama Tuhan sendiri. Kesandung, mulutnya nyonyor, ‘Wah, Tuhan bercanda neh sama kita.’ (Ketawa-tawa aja).

Lagu apa yang ingin Anda dengar saat sekarat?
Saya dengerin orang Dzikir mungkin, lebih menenangkan. Kalau sekarat kan ketakutan banget pasti.

MY LIST

Buku favorit: Bukunya Joe Maguijo, CXL karena idenya bagus.
Album favorit: Innuendo dan Miracle (Queen) karena beda banget.
Situs favorit: Sains dan caviar audio

ISTRIKU SERIBU

membaca buku istriku seribu berulang - ulang tidak membuatku bosan. palagi di halaman 49. kalau rekan mau ikut membaca berikut adalah soft copynya.

MALAM KEMERDEKAAN DI ALEXANDRIA

Pada suatu malam di Alexandria alias Iskandariyah, bersama kiai kanjeng aku bertamu kemasjid Imam Busyiri, pencipta syair – syair budah dan shalawat shalwat yang rata – rata umat Islam Tradisional bisa melagukannya, sekedar mengetahui atau pernah mendengarnya.
Seorang syehk membukakan pintugerbang masjid, mempersilahkan kami tidak dengan kalimat kebudayaan atau sopan santun sosial. Sambil membuka pintu beliau melantunkan lagu “Annabi Shollu’aalaih Shalawatullah ‘Alaih, wayanalul barokah, kullu man sholla’alaih…”

Tangannya melambai – lambai mempersilahkan kami memasuki gerbang satu persatu. Tidak ada kata :silahkan masuk,atau dari mana anda sekalian. Ataupun kalimat budaya yang lainnya. Hanya shalawat beliau lagukan dengan sangat indah,serak, tua, dengan vibrasi khas mesir utara.
Aliran darahku bergerak lebih cepat, suhu badanku naik. Begitu juga kami semua. Berduyun duyun kami semua memasuki masjid, mengarah kemakam Syeh Imam Busyiri. Shalawat tak henti beliau lantunkan, dan ditengah – tengah itu rasa “gatal” menyergap hatiku. Begitu Syekh selesai satu bait, aku teriak melantunkan syair lagu itu dan serempak teman – teman KiaiKanjeng juga melantunkannya.
Syekh agak kaget teryata kami bisa melantukan syair dengan lagu yang sama. Bukan sekedar mengetahui atau pernah mendengarnya. Beliau lantunkan refrain, kami koor. Berganti syair lagi, kami juga tetap mengejarnya. Hingga sekitar 5 lagu syair cinta rasulullah kami lantunkan.
Lantunan trus berlangsung dan tetap tanpa kalimat basa – basi apapun. Pada suatu bagian lagu, aku lihat syekh melantunkan dengan sedikit memukul – mukul meja. Maka aku spontan berbisik kepadanya “ Apa boleh menabh rebana?
Spontan beliau menjawab “Qalilan. Qalilan….” Sedikit, sedikit jangan keras keras. Aku langsung kasih kode kepada Rahmat dan Irfan untuk mengambil rebana – rebana kami di bus. Beberapa menit kemudianmasing masing dari kami menabuh rebana, dan akhirnya malam menjadi begitu tak tertandingi indahnya bagi kami : pesta cinta kepada Allah dan Rasulullah meneriakkan sahalawat, membunyikan terbang – terbang kerinduan, rebana – rebana kemesraan.
Hatiku berkata : “ wahai manusia, ambillah dunia ini, jilatilah sepuasmu, telanlah uang korupmu, kekuasan karier serakahmu, harta benda curian kapitalisme maniakmu, kemasyuran tanpa tanpa martabatmu, jabatan yang mencampakkanmu setelah beberapa waktu, jam – jam tayang kekonyolan dangkalmu, apapun saja yang diarakusi oleh hati kalian. Ambil. Ambil telah kudapatkan kenikmatan yang satu baris syairnya tidak kuizinkan kalian ganti dengan jumlah uang berpapun dari hasil korupsimu yang jumlahnya bisa dipakai untuk mendirikan negara baru……”
Seusai berpesta, Syekh memeluk Islamiyanto, slahsatu pelatun Shalawat KiaiKanjeng, samapai hampir lima menit. Mereka dan kami menangis. Dan sampai ketika kami berpamitan, kami tidak bertanya atau saling mencatat nama kami, negara asal kami, alamat atau nomer HP kami masing – masing. Tidak perlu nama – nama itu, asal usul itu. Yang perlu adalah sedu sedan itu.

Selasa, 26 Agustus 2008

kangen

Sudah lama kita tak saling minum kopi, Kangen rasanya!

Tapi percayalah, kangen itu baik. Kangen itu makhluk ciptaan Allah yang
tergolong paling indah. Ia mutiara batin, atau api yang menghidupkan jiwa.
Karena kangen yang menggebu, dulu Ibrahim menggembarai bumi dan langit
bertahun-tahun, untuk akhirnya menemukan apa yang paling dibutuhkan oleh
hidupnya: Allah.

Oleh kangen yang tak tertahankan pula, Musa bermaksud membelah kodrat,
menerobos maqam dan ingin memergoki Allah yang amat dicintainya. Tentu saja
gagal, sebab ketika itu ia masih manusia, masih darah daging.

Kangen, membuat seorang istri paham arti kehidupan. Kangen membikin
suaminya, yang pergi nun jauh, membatalkan penyelewengannya sebagai lelaki. Kangen mendorong seorang gadis menancapkan cintanya lebih dalam. Kangen membuat pemuda kekasihnya mengerjakan kesibukan-kesibukan baik untuk memelihara kebersihan rindu yang dinikmatinya.

Seorang istri menghayati perkawinannya seperti menghadapi agama dan
sembahyangnya. Seorang suami, yang suka nakal, bermaksud mengakali eksistensinya: Ia menjadi Bapak yang konservatif di dalam rumah, sementara di luar rumah ia menjadi
lelaki liberal. Banyak sekali suami atau lelaki pribadi belah semacam ini: sehabis menyeleweng, rasa dosa dan rasa kangen kepada keluarganya akan menyiksanya.

Maka seorang suami yang dewasa tahu bagaimana menumbuhkan kangen yang tak
menyiksa. Kangen yang indah dan nikmat.

Seorang dewasa mengerti persis lorong rasa kangennya. Siapa saja penghuni
lorong itu? Suami? Anak-anak? Tetangga? Para jamaah? Kehidupan yang saleh?

Namun pasti, di ujung lorong itu hanya Allahlah adanya.
(Emha Ainun Nadjib/PmBNetDok/20/11/2000)


Jumat, 22 Agustus 2008

SELAMAT DATANG YA RAMADHAN

MOMEN UNTUK PERUBAHAN

Ramadhan 1429 H sebentar lagi menjelang, bulan yang lebih mulia dari seribu bulan itu bagi umat mulim sebentar lagi datang. Puasa menurut caknun di ibaratkan air khomer atau arak, seperti halnya haji air madu, zakat air susu. Kenapa arak? Bukankah itu haram. Sebenarnya bukan dari segi hukum halal haram nya tapi dari prosesnya. Arak di ciptakan dari proses peragian, seperrti hal nya tape (wadagnya halus) yang berasal dari singkong yang (wadag keras) peragian puasa juga seharusnya bisa membuat hati yang keras membatu bisa halus seperti tape. Itulah pemaknaan puasa secara sederhana.

Dalam kehidupan 11 bulan kita terus menerus sibuk mencari sesuatu yang mungkin sesungguhnya tidak kita bawa nantinya. Dan kiranya satu bulan cukup untuk sedikit menghela nafas, sedikit keluar dari pusaran riuh rendah dunia, sedikit “ngaso” sejenak dari jeratan jeratan kehidupan yang menghalalkan segala cara. “Raup” (cuci muka) air ramadhan mungkin bisa membuat kita yang selama ini salah (baik tahu kalau dirinya sedang salah, ataupun tidak tahu / merasa dirinya sedang salah) yang kita punya bisa berganti dengan kebenaran yang dilahirkan di hari hari Idul fitri nanti.

Maka ijinkan saya pribadi sebagai pengelola situs ini mengucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa 1429 H. mohon maaf jika ada kesalahan selama ini.

Dan monggo dinikmati Renungan nya Emha Ainun Nadjib berikut ini

Puasa: Menuju Makan Sejati
(Emha Ainun Nadjib - Budayawan)

Puasa itu jalan sunyi
Tersedia makanan tapi tak dimakan
Tersedia kursi tapi tak diduduki
Tersedia tanah tapi tak dipagari/

Puasa itu jalan sunyi
Menggambar tapi tak terlihat
Bernyanyi tapi tak terdengar
Menangis tapi tak diperhatikan/

Puasa itu jalan sunyi
Menjadi tanpa eksistensi
Pergi menuju kembali
Hadir tapi tak dikenali

ILMU Rasulullah Muhammad, "hanya makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang", telah menjadi pengetahuan hampir setiap pemeluk Agama Islam, tetapi mungkin belum menjadi ilmu. Puasa demi puasa, Ramadlan demi Ramadlan beserta fatwa demi fatwa yang senantiasa menyertainya dengan segala kerendahan hati harus saya katakan belum cukup mengantarkan kita dari permukaan pengetahuan menuju kedalaman ilmu.

Ada jarak yang tak terkirakan antara pengetahuan dengan ilmu, meskipun khasanah kebahasaan kita dengan kalem menyebut ilmu pengetahuan di lembaran-lembaran kamusnya. Dengan berkunjung ke sebuah museum, kita bisa memperoleh pengetahuan tentang sebilah pedang, lengkap dengan semua data tentang panjang-lebarnya, asal-usul sejarahnya, serta logam suku cadangnya, termasuk berapa kepala yang dulu pernah dipenggalnya.

Tetapi, ilmu baru terjadi tatkala pedang itu telah menyatu dengan tangan kita. Bukan saja kita sanggup menggenggamnya dan mendayagunakannya dengan seribu teknik silat; lebih dari itu ilmu ditandai oleh realitas menyeluruh, di mana pedang itu telah menjadi bagian dari diri kita, bagian dari badan kita, akal pikiran kita, emosi hati kita, termasuk budi dan kearifan jiwa kita.

Pengetahuan barulah tataran terendah dari persyaratan mutu dan aktualitas eksistensi mahluk yang bernama manusia. Tetapi, ilmu pun belumlah "langit" tertinggi dalam kosmos "ahsani taqwin" sebaik-baik mahluk - manusia. Sebab, ilmu pedang bisa merupakan awal mula dari tertikamnya dada seseorang. Oleh karena itu, di atas ilmu si penggenggam kebenaran ada langit lebih tinggi yang bernama hubb atau cinta.

Cinta adalah rem, pembijak, pengatif, yang terkandang nikmat terkadang sakit, bagi kemungkinan pembunuhan atau permusuhan yang dipotensialkan oleh ilmu pedang. Ini berlaku pada skala mana pun, di kesempitan pergaulan sehari-hari hingga di keluasan peradaban.

Adapun jika ilmu jika penghayatan akan kebenaran, bersenyawa, bekerja sama, berkoperasi, berposisi, dan berkelangsungan intermanagable, atau denan kata lain "bersuami-istri dengan hubb" atau cinta maka tercapailah tataran "taqwa".

Tanpa itulah target puasa. Taqwa itulah cakrawala perjalanan kemusliman manusia. Taqwa lebih tinggi dari nilai kebenaran dan nilai cinta. Apalagi dibandingkan tataran norma, hukum formal, adat, serta tabung-tabung formal kultural lainnya dalam komunitas atau kejamaahan umat manusia. Taqwa itu suatu atmosfer yang bukan main menyejukkan,menenteramkan, dan membahagiakan, yang terletak di garis kemungkinan
"liga rabb", yakni kemungkinan pertemuan hamba-hamba hina dina macam kita ini dengan Allah. Sekarang bisalah kita membandingkan, apa beda kemungkinannya jika pedang berada di tangan orang berpengetahuan, dengan jika ia tergenggam di tangan orang berilmu saja, atau jika ia tergenggam di tangan orang yang bercinta saja dengan jika ia tergenggam di tangan orang yang bertaqwa.

Kemudian gampanglah bagi kita untuk memproyeksikan: jika pedang itu adalah kekuatan fisik, adalah kekuasan politik, adalah modal dan peluang ekonomi, adalah pasal-pasal hukum, atau apa pun saja. Gampanglah kita perhitungkan: terjaditikaman, siapa yang menikam dan yang tertikam, seberapa dahsyat akibat sejarah dari ketertikaman itu, ataukah mungkin berlangsung suatu ketaqwaan peradaban, di mana pedang tak pernah
menikam, di mana ketajaman pedang ditaqwai untuk hanya menguak kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.

Makan yang sejati

Rasanya tak enakuntuk memuji-muji Muhammad. Ada situasi psikologis tertentu dalam pergaulan teologis dan kultural di lapangan integrasi nasional kita, yang menjadi sumber ketidakenakan tersebut. Sepenuhnya saya memahami itu. Secara kultural, untuk situasi semacam itu, saya harus pelti" pujian. Tetapi, dalam konteks ilmu kita tidak
bisa menemukan argumentasi apa pun untuk melakukan hal yang sama. Tidak kebetulan bahwa arti harfiah kata "Muhammad adalah juga yang terpuji". Apa yang ingin saya lakukan dengan tulisan ini hanyalah mencicil landasan rasional agar kita berhak menyebut rasul terakhir itu dengan Muhammad. Kalau tak cukup pengetahuan dan ilmu, syukur cinta dan ketaqwaan, maka jika kita memanggilnya dengan mesra "Ya Muhammad
kekasih", rasanya kosong, tak ada muatannya. Muhammad menolehkan kepalanya dan melirikkan bola matanya ke arah kita, tetapi hati, nalar dan budinya tak ikut merasa terpanggil, karena panggilan kita memang tanpa nalar, hati dan budi. Beliau pasti kecewa.

"Makan hanya ketika lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang" Adalah formula tentang kesehatan hidup. Tak hanya menyangkut tubuh, tapi juga keseluruhan mental sejarah. Ia adalah contoh soal lebih dari sekadar teori keilmuan tentang keefektifan dan efisiensi.

Selama ini pemahaman-pemahaman nilai budaya kita cenderung mentabukan perut. Orang yang hidupnya terlalu profesional dan hanya mencari uang, kita sebut "diperbudak oleh perut". Para koruptor kita gelari "hamba perut" yang mengorbankan kepentingan negara dan rakyat demi perutnya sendiri.

Padahal ia bukanlah hamba perut. Sebab, kebutuhan perut amat sederhana dan terbatas. Ia sekadar penampung dan distributor sejumlah zat yang diperlukan untuk memelihara kesehatan tubuh.

Perut tak pernah mempersoalkan, apakah kita memilih nasi pecel atau pizza, lembur kuring atau masakan Jepang.

Yang menuntut berlebih pertama-tama adalah lidah. Perut tidak menolak untuk disantuni dengan jenis makanan cukup seharga seribu rupiah. Tetapi, lidah mendorong kita harus mengeluarkan sepuluh ribu, seratus ribu, aau terkadang sejuta rupiah.

Mahluk lidah termasuk yang menghuni batas antara jasmani dengan rohani. Satu kaki lidah berpijak di kosmos jasmani, kaki lainnya berpijak di semesta rohani. Dengan kaki yang pertama ia memanggul kompleks tentang rasa dan selera; tak cukup dengan standar 4 sehat 5 sempurna, ia membutuhkan variasi dan kemewahan. Semestinya cukup di warung pojok pasar, tapi bagian lidah yang ini memperkuda manusia untuk mencari
berbagai jenis makanan, inovasi dan paradigma teknologi makanan, yang dicari ke seantero kota dan desa. Biayanya menjadi ratusan kali lipat.

Dengan kaki lainnya lidah memikul penyakit yang berasal dari suatu dunia misterius, yang bernama mentalitas, nafsu, serta kecenderungan-kecenderungan aneh yang mensifati budaya manusia. Makan,yang dalam konteks perut hanya berarti menjaga kesehatan, di kaki lidah itu diperluas menjadi bagian dari kompleks kultur, status sosial, gengsi, feodalisme, kepriyayian, serta penyakit-penyakit kejiwaan komunitas manusia lainnya.

Kecenderungan ini membuat makan tidak lagi sejati dengan konteks perut dan kesehatan tubuh, melainkan dipalsukan, dimanipulir atau diartifisialkan menjadi urusan-urusan kultur danperadaban, yang biayanya menjadi amat, sangat mahal. Budaya artifisialisasi makan ini dieksploitasi dan kemudian dipacu oleh etos industrialisasi segala
bidang kehidupan, serta disahkan oleh kepercayaan budaya, bahwa harus senantiasa ada proses kreatif: orang menyelenggarakan modifikasi budaya makan, pembaruan teknologi konsumsi, jenis makanannya, panggung tempat makannya, nuansanya, lagu-lagu pengiringnya, pewarnaan meja kursi dindingnya hingga karaokenya.

Artifisialisasi budaya makan itu akhirnya juga menciptakan berbagai ketergantunan manusia, sehingga agar selamat sejahtera dalam keterlanjuran ketergantungan itu, manusia bernegosiasi di bursa efek,menyunat uang proyek, memborong gunung-gunung dan hutan-hutan, bahkan berperang dan membunuh satu sama lain.
Padahal perut hanya membutuhkan "makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang".

Maka yang bernama "makan sejati" ialah makan yang sungguh-sungguh untuk perut. Adapun yang pada umumnya kita lakukan selama ini adalah "memberi makan kepada nafsu".

Perut amat sangat terbatas dan Allah mengajarinya untuk tahu membatasi diri. Sementara nafsu adalah api yang tak terhingga skala perbesaran atau pemuaiannya. Jika filosofi makan dirobek dan dibocorkan menuju banjir bandang nafsu tak terbatas, jika ia diartifisialkan dan dipalsukan dan tampaknya itulah salah satu saham utama beribu konflik dan ketidakadilan dalam sejarah umat manusia maka sesungguhnya itulah
contoh paling konkret dari terbunuhnya efisiensi dan keefektifan.

Rekayasa budaya makan pada masyarakat kita, dari naluri sehari-hari hingga aplikasinya di pasal-pasal rancangan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, mengandung inefisiensi atau keborosan dan keserakahan, yang terbukti mengancam alam dan kehidupan manusia sendiri; di samping sangat tidak efektif mencapai hakikat tujuan makan itu sendiri.

Kebutuhan sejati

Aktivitas puasa selalu diartikan - dan memang benar demikian - sebagai peperangan melawan nafsu. Cuma barangkali karena pengetahuan dan ilmu kita tentang musuh yang harus diperangi itu tidak bertambah, maka strategi dan taktik perang kita pun kurang berkembang.

Kalau kita mendengar tentang nafsu makan, asosiasi kita menunjuk ke makan, bukan ke nafsunya. Maka ketika istri kita ke pasar, yang dibeli terutama adalah pesanan-pesanan nafsu, bukan kapasitas kebutuhan makan yang diperlukan. Setiap pelaku puasa punya pengalaman untuk cenderung mendambakan dan menumpuk berbagai jenismakanan dan minuman sepanjang hari, kemudian ketika saat berbuka tiba, ia baru tahu, bahwa perut sama sekali tidak membutuhkan sebanyak dan semewah itu.

Pelajaran yang diperoleh dari peristiwa semacam itu seharusnya adalah kesanggupan memilahkan antara dorongan nafsu dengan kebutuhan makan. Kegiatan puasa jadinya bukanlah pertempuran melawan "tidak boleh makan" atau "tidak adanya makanan", melainkan melawan nafsu itu sendiri yang menuntut pengadaan lebih dari sekadar makanan.

Puasa adalah penguraian "nafsu" dari "makan". Untuk tidak makan dari subuh hingga maghrib, putra kita yang baru duduk di kelas III Sekolah Dasar saja pun sudah sanggup. Untuk "tidak makan" jauh lebih gampang dan ringan dibanding untuk "tiak bernafsu makan", terutama bagi para penghayat "makan yang sejati".

Seorang Sufi yang taraf pergaulannya dengan makan tinggal hanya berkonteks kesehatan tubuh, dalam hidupnya ia tak pernah lagi ingat makan, kecuali ketika perutnya lapar. Ia bukan merekayasa untuk hanya makan ketika lapar, tapi memang betul-betul sudah tak ingat makan sampai perutnya mengingatkan, bahwa ia lapar.

Untuk ingat lapar, cukup perut yang melakukannya, tapi untuk berhenti makan sebelum kenyang, manusia memerlukan dimensi-dimensi rohani tinggi kemanusiaannya untuk mengingatnya. Ia memerlukan nalar ilmu kesehatan tentang makan yang sehat, yakni tentang kurang dan tak lebih. Ia juga memerlukan ilmu dan kearifan yang lebih tinggi untuk melatih ketepatan kapasitas makan, agar ia memperoleh ketepatan pula dalam aktivitas "makan" yang lain di bidang-bidang kehidupan yang lebih luas.

Dalam pelajaran keaktoran teater, ada metoda "biasakan makan minum yang pas, agar dalam bermain drama engkau tidak overacting dan juga tidak underacting."

Padahal ilmu "makan sejati" atau "makan pas"-nya Rasulullah Muhammad juga berlaku untuk segala makan dalam kehidupan.
Kita masuk ke toko serba ada dengan segala gemerlap yang tidak memanggil-manggil kebutuhan kita, melainkan mengundang nafsu kita. Saya mohon maaf, bukan saya bermaksud mematikan nafkah para pedagang, tetapi bermilyar-milyar rupiah dikeluarkan orang untuk membeli pelayanan atas nafsu, bukan pelayanan atas kebutuhan.

Program-program pembangunan kita memacu tahyul; mengetalasekan beribu-ribu jenis konsumsi yang tak sejati, yang sebenarnya belum tentu dibutuhkan oleh konsumen. Iklan-iklan industri adalah kendaraan budaya yang mengangkut jutaan manusia dari terminal kebutuhan ke terminal nafsu, dari kesejatian dan kepalsuan. Mereka dicetak untuk merasa rendah atau bahkan merasa tak ada, apabila tidak memiliki celana model ini dan kosmetika model itu. Merk-merk dagang adalah strata tahyul dan klenik.
Para pasien di rumah sakit budaya tinggi, budaya gengsi, budaya kelas priyayi, menyerbu warung-warung status modernitas tidak untuk membeli barang, melainkan membeli anggapan-anggapan tentang barang.
Salah satu wajah dunia industri modern adalah tahyul konsumtifisme, yang menjadi sumber dari berbagai konflik serius di bidang persaingan ekonomi, pergulatan kekuasaan politik hingga penyelewengan hukum.
Ini adalah kata-kata "purba", yang terasa lucu dan naif untuk diperdengarkan. Tapi, tak bisa kita menghapusnya, karena setiap orang - setidaknya beberapa hari menjelang ajalnya - akan mendengar kata-kata semacam itu dari lubuk hati dan kesadarannya sendiri.

Puasa mengajarkan dan melatih pelaku-pelakunya untuk makan, untuk memiliki sejumlah uang dan kekayaan, untuk bersedia menggenggam kekuasaan, untuk menjadi ini-itu atau melakukan apa pun saja hanya ketika benar-benar dalam keadaan "lapar sejati", bukan dalam keadaan "merasa lapas karena nafsu".

Jika orang menjalankan puasa dengan pengetahuan, ilmu, cinta, dan ketaqwaan, ia akan terlatih untuk bertahan pada "makan yang sejati". Yakni, terlatih untuk mengambil jarak dari nafsu. Terlatih untuk tidak melakukan penumpukan kuasa dan milik, tidak melakukan monopoli,
ketidakadilan, serta penindasan, karena telah diketahui dan dialaminya,bahwa itu semua adalah "makanan palsu".

/Tetapi, alangkah sedihnya menyaksikan, betapa dunia ini diisi oleh banyak manusia yang tak henti-hentinya makan, padahal ia tak lapar, serta oleh banyak manusia yang tak habis-habisnya makan, padahal ia sudah amat kekenyangan./

Untunglah, bahwa bagi para pelaku puasa sejati, kesabaran untuk
menyaksikan keburaman hidup semacam itu bisa justru meningkatkan
perolehan kemuliaan dan kesejatiannya.


Kamis, 21 Agustus 2008

Tikungan Iblis (saatnya mendengar kritik iblis)

Iblis Bukan Kompetitor Tuhan

Dalam sepuluh tahun terakhir sejak reformasi bergulir, perkembangan teater modern, sastra atau kesenian pada umumnya menunjukkan gejala makin terasingnya kesenian dari persoalan-persoalan publik. Tema-tema personal seperti cinta, maut, seks, kerinduan, atau apa saja, termasuk hal-hal non-sense, terasa dominan.

Yang terjadi kemudian adalah: kelumpuhan di berbagai bidang; masyarakat mengalami krisis presentasi diri, sehngga merasa tak berdaya untuk merespons secara kritis gelombang persoalan yang digerakkan oleh kapitalisme, industrialisme dan materialisme.

Berdasarkan berbagai pandangan di atas, kami –Teater Dinasti, Kiai Kanjeng dan Emha Ainun Nadjib– merasa wajib memberikan respons kritis atas berbagai persoalan sosial, politik dan kebudayaan bangsa ini. Tidak terlalu berlebihan jika kami masih meyakini bahwa kesenian masih mampu menjadi media untuk mengekspresikan ide-ide pencerahan baik secara tematik maupun simbolik. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, kami mencoba menawarkan satu reportoar pertunjukan Tikungan Iblis.

Tikungan iblis mencoba memberikan paradigma yang lain dan berbeda. Iblis bukan kompetitor Tuhan untuk menguasai manusia. Iblis adalah sosok penting yang menjadi ’alat’ Tuhan untuk menunjukkan kebesaranNya bagi umat manusia. Iblis adalah sosok yang menjadi aktor strategis bagi Tuhan untuk memberikan berbagai tantangan bagi manusia untuk memperjuangkan martabat dan eksistensinya. Ia menawarkan ’anti tesis’ atas ’tesi’ Tuhan, agar manusia mampu menggenggam sintesa: nilai-nilai Ilahiyah secara utuh, mendasar dan mengakar karena nilai-nilai itu tidak otomatis hadir sebagai paket, melainkan diraih melalui perjuangan yang keras dan mendidih. Sehingga ketika manusia mengakui eksistensi Tuhan –dengan seluruh nilai-nilai idealnya– maka pengakuan itu tidak artifisial, melainkan substansial. Lakon ini bukan merupakan ’pembelaan’ atas Iblis melainkan mencoba memperluas cara pandang manusia atas sosok Iblis.

Pentas Dinasti kali ini nanti merupakan hasil kerjasama Kedaulatan Rakyat dengan Progress Jogja Production.
******

TEATER DINASTI

mempersembahkan:

Pentas Kebahagiaan Keluarga Teater Dinasti “TIKUNGAN IBLIS"

Pada Hari Sabtu, 23 Agustus 2008, Pukul 20.00 WIB
Di Gedung Conser Hall - Taman Budaya Yogyakarta (TBY)
Jl. Sriwedani No. 1 Yogyakarta

HTM:
Rp. 25.000, - untuk FESTIVAL (lesehan)
Rp. 50.000, - untuk VIP (kursi)

TIKET BOX:
PROGRESS – 0274-618810
KANTIN TAMAN BUDAYA YOGYAKARTA
KANTOR PROMOSI KR –0274-895257

PARA PEMAIN:
Tertib Fadjar Suharno, Bambang Susiawan, Joko Kamto, Novi Budianto, Seteng, Untung Basuki, Cithut Puspawilaga, Eko Winardi, Jemek Supardi, Toro, Islamiyanto, Novia Kolopaking,

PARA PEMUSIK:
Joko, Jijit, Godor Widodo, Yoyok, Bayu, Sugiyanto, Hari Murti, Joko Kusnun, Mas Is, Bobiet, Novi

TIM SUTRADARA:
Fajar Suharno, Jujuk Prabowo

Konfirmasi Acara: Eko Nuryono 081904138595

jangan batalkan cinta part 5 (habis)

Orang mendambakan kesejahteraan bersama
Tapi tak punya apa-apa selain kemauan pribadinya
Maka engkau minggir, menghindarkan persaingan
Engkau usir dirimu sendiri dari ramainya perebutan
Merintis keadilan dengan menomerduakan dirimu sendiri
Tetapi mukamu diludahi

Orang bilang sedang menjalankan reformasi
Maka engkau berpuasa, tak ikut berkuasa
Tak ikut mencuri dan menumpuk harta
Tapi engkau dikutuk dan dibikin sengsara
Dengarlah kubisikkan sesuatu ke telingamu
Aku nyatakan bahwa aku bersetia mengikutimu
Terus menegakkan cinta, meskipun orang melecehkannya
Terus membangun kemesraan, meskipun orang merusaknya
Terus menumbuhkan kedamaian, meskipun orang merobohkannya

Rabu, 20 Agustus 2008

jangan batalkan cinta part 4

Engkau mendengar negeri ini
Sedang membangun demokrasi
Maka kau siapkan modal utama
Yakni kesediaan untuk saling berendah hati
Engkau dewasakan pikiran
Bahkan kau sisihkan hak-hakmu sendiri
Agar setiap orang mendapatkan ruang
Tetapi engkau dihina dan direndahkan
Oleh saudara-saudaramu sendiri
Yang dirinya dipenuhi oleh kesadaran
Tentang hak-hak pribadi

Engkau mendengar bangsa ini
Sedang merangkai kebersamaan
Maka engkau hindarkan kemenangan
Tak tega melihat siapapun engkau kalahkan
Engkau gali cinta dan engkau temukan
Yang bernama diri adalah kebersamaan
Tapi jalanmu dibuntu, engkau dicelakakan
Oleh saudara-saudaramu sendiri
Yang menjunjung-junjung karier pribadi
Yang mereka sebut kebenaran tertinggi

Selasa, 19 Agustus 2008

jangan batalkan cinta part 3

Engkau mendengar bangsa ini memerlukan kemesraan
Maka engkau menelusuri nusantara
Mengakrabi setiap manusia
Merangkul alam dan segala hamba
Mengikat tali sejati persaudaraan
Tetapi engkau ditertawakan oleh kekuasaan
Engkau tersisih dari lingkaran persaingan

Dengarlah kubisikkan sesuatu ke telingamu
Sudah lama aku menjadi bagian dari dirimu
Aku ikut berdetak dengan jantungmu
Mengalir dalam darahmu
Kusyukuri gembiramu, kutangisi sedihmu
Tolong jangan ajak aku bunuh diri
Dengan mundur dari nikmatnya kemesraan ini


Kamis, 14 Agustus 2008

jangan batalkan cinta part 2

Engkau mendengar negeri ini membutuhkan cinta
Maka setiap langkahmu hanya langkah cinta
Sorot matamu hanya sorot mata cinta
Uluran tanganmu hanya uluran tangan cinta
Lagu yang kau nyanyikan hanya lagu cinta
Puisi yang kau gumamkan hanya puisi cinta
Tapi engkau dihardik oleh orang-orang
Yang memancarkan wajah kebencian

Dengarlah kubisikkan sesuatu ke telingamu
Lihatlah, aku siap di sini sebagai pengikutmu
Aku memohon jangan batalkan cinta
Karena penderitaan oleh kutukan manusia
Karena kesengsaraan dalam pengucilan
Masih lebih mulia dibanding hidup kerdil dalam kebencian


Rabu, 13 Agustus 2008

Jangan Batalkan cinta part 1

Engkau mendengar negeri ini butuh kedamaian
Maka engkau berkeliling membawa hati damai
Menyebarkan rasa damai, membuka sawah-sawah ilmu damai
Menaburkan benih prinsip damai, menegakkan pepohonan damai
Tetapi engkau dicegat oleh orang-orang
Yang mengacung-acungkan pedang kepentingan

Dengarlah kubisikkan sesuatu ke telingamu
Tengoklah, aku berdiri di belakangmu
Aku memohon jangan hentikan langkah kita
Karena jikapun kita harus mati oleh pedang-pedang itu
Kematian kita tetap akan terasa lebih nikmat
Dibanding hidup dalam kecemasan berperang

Selasa, 12 Agustus 2008

Berlindung Dari 5 Kesombongan

Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari kesombongan orang berkuasa, yang
berdiri gagah tanpa punya malu karena merasa diri mereka lebih tinggi dari
rakyatnya, padahal rakyatnya itulah yang meletakkannya di kursi dan membiayai
hidup mereka, namun rakyat itu pulalah yang menjadi sasaran dari palu dan
senapan para penguasa

Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari kesombongan orang kaya, yang berjalan
acuh tak acuh dan mendongakkan kepalanya karena merasa dirinya lebih
penting di banding orang-orang lainnya, padahal orang banyak itulah sumber penghidupan dan kekayaannya, namun orang banyak itu pulalah yang selalu disuruh siap dibeli kehormatannya dengan uang dan harta mereka

Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari kesombongan orang pandai, yang selalu
merasa lebih hebat dari orang lainnya, sehingga ia membuka mulutnya
lebar-lebar dan memuntahkan hujan kata-kata yang berasal dari perasaan pandai dan hebat di dalam dirinya, padahal inti kepandaian adalah kesanggupan untuk mendangarkan serta kerendahan hati untuk tidak banyak membuka mulut, dan puncak tertinggi keterpelajaran berbanding sejajar dengan tingkat kesadaran atas kebodohan diri

Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari kesombongan orang masyhur yang selalu
merasa lebih khusus dibanding orang-orang disekitarnya, yang menyangka bahwa
kemasyhuran adalah kelebihan derajat atas orang lainnya, yang mengira bahwa
kemasyhuran adalah sama dengan keunggulan dan kehebatan, yang perilakunya
mengandalkan "karena aku masyhur maka aku hebat", bukan membuktikan bahwa
"karena aku bermanfaat maka aku (terpaksa) masyhur"

Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari kesombongan orang alim saleh, yang ke
mana-mana sibuk merasa bahwa yang selain dirinya adalah najis, yang tidak
punya kemampuan lain kecuali merasa dirinya suci dan selalu benar, yang beranggapan bahwa Tuhan adalah anak buahnya, bahwa para Nabi dan Rasul adalah staf dan karyawannya untuk melaksanakan kepentingan-kepentingan diri dan golongannya

Syair Tarian Syukur

Aku tak pernah bisa ingat kamu, Muhammad
Karena kamulah yang menggandeng tangan kami semua berduyun-duyun ke rumah Allah yang sejuk
Kalau awan menggelapkan matahari, aku ingat kamu dalam hati prihatin
Kalau kemudian awan menyibak, aku ingat kamu dalam rasa syukur yang tak berujung Muhammad, sesekali kami boleh manja, dong
Diam-diam kami cemburu pada isra' mu, diam-diam kami kangen pada mi'raj mu
Ajak dong kami, setidaknya dalam kisah dan impian
Ayo, Muhammad kekasih, hadirlah selalu kedalam jiwa kami
Seperti dulu Kaum Anshar di Madinah menyambutmu, kami juga ingin menyongsong hijrahmu kedalam jiwa kami yang rindu.


Bukan Hanya Milik Kematian

Kalau ada orang meninggal, kita ucapkan inna lillahi wa inna ilaihi roji'un.
Sesungguhnya kita semua ini milik Allah dan pasti kembali hanya kepadaNya, mustahil bisa balik ke yang selain Allah.
Dan karena manusia itu penuh kelemahan, gampang terjebak oleh slogan dan mudah dikelabuhi oleh rutinitas - maka kita sering lupa bahwa kalimat itu tidak hanya berlaku untuk kesadaran tentang kematian, melainkan terutama juga merupakan dasar ilmu dan sikap terhadap kehidupan.
Maka hanya tatkala berjumpa dengan realitas maut, kita baru ngeh bahwa semua ini milik Allah.
Dalam kehidupan sehari-hari kita begitu yakin dan mantap bahwa kita memiliki sesuatu, punya modal, memegang hak milik atas tanah, kekuasaan dlsb.
Dan untuk itu kita bikin kompetisi ekonomi dan karir politik, perang dan kapitalisasi senjata, perlombaan properti dan aksesori budaya, atau mengunyah mode demi mode kebudayaan sampai air liur kita meleleh-leleh.
Padahal teknologi tercanggih di abad 500 kelakpun tak akan sanggup menciptakan segenggam tanah, selembar daun, secipratan minyak atau sehelai rambut.