suporter

Rabu, 23 Juli 2008

ABU BAKAR, UMAR, UTSMAN ATAU ALI-KAH ENGKAU?

Kemarin aku bertutur tentang ingat kepada Allah di segenap ruang dan waktu yang kita libati. Aku ingat para sahabat sering bertanya apakah Al1ah itu bagi kita merupakan hal mewah ataukah bersifat sehari-hari?
Kalau materi, ia disebut mewah jika susah didapat, dan jika kita mendapatkannya selalu terasa sangat nikmat. Sedangkan barang yang sifatnya sehari-hari, yang bersifat 'biasa' atau koden – itu gampang didapatkan dan cara memperolehnya juga tidak istimewa.
Di sinilah letak keagungan dan keindahan Allah. Ia bukan 'barang' mewah, karena kapan saja kita bisa menghadapNya dan 'memperoleh'Nya. Namun jika kita ber-muwajjahah denganNya, jika kita memperoleh kehadiranNya pasti terasa sangat mewah dan istimewa. Artinya, kapan saja dan di mana saja kita bisa berjumpa dengan Allah, tapi Ia tetap mewah.
Kuingat juga sahabatku, Wahyu Sulaiman Rendra – tatkala ia bersyahadat dan masuk Islam di Parangtritis Yogya – ia merasa begitu takjub. "Alangkah dekatnya seorang Muslim dengan Al1ah. Kapan saja ia bisa menemuinya, tanpa birokrasi yang ruwet. Alangkah demokratisnya Islam. Setiap hamba Allah bisa dalam waktu beberapa detik saja menjadi Muslim, karena langsung bersaksi di hadapanNya tanpa melalui perantara siapapun atau apapun saja. Islam mengantarkan setiap manusia untuk langsung berhadapan dengan Allah"
*****
Sekarang aku bertanya kepadamu masing-masing. Aku mengetuk pintu perenungan batinmu, karena mungkin pagi ini, siang ini, sore ini, sedang beriktikaf. Maksudku dengan iktikaf tidaklah harus dalam keadaan bersila atau bersujud di atas tikar atau karpet masjid.
Enngkau bisa beriktikaf sewaktu-waktu. Bisa lima jam, bisa satu jam, bisa beberapa menit, bisa beberapa detik, dan nanti engkau ulangi lagi beberapa detik. Iktikafmu juga bisa tak dibatasi oleh di mana engkau sedang berada atau apa yang sedang engkau kerjakan.
Mungkin engkau sedang duduk termenung dalam taksimu karena menunggn penumpang yang akan memanggil jasamu. Mungkin engkau sedang meladeni penjual di tokomu. Mungkin engkau sedang bekerja di kantormu. Mungkin engkau sedang berjalan di trotoar atau duduk-duduk menunggu bis kota di tepi jalan. Dalam semua keadaan itu batinmu bisa saja beriktikaf, jiwamu merenung, pikiranmu terkonsentrasi kedalamannya kepada Al1ah. Engkau bisa topo ngrame. Aku sendiri melakukannya tiap hari. Aku bekerja keras tiap saat, aku selalu dalam suasana perjalanan hampir tiap hari, aku selalu berada di tengah orang banyak hampir kapan saja. Bahkan ketika mengetik inipun berseliweran banyak orang di sekitarku. Tapi hatiku selalu bersedekap. Jiwaku selalu merenung. Pikiranku insyaAllah selalu bersujud. Perasaanku selalu masuk ke relung-relung kedalaman nilai. Bahkan tatkala engkau melihatku bergurau dan mungkin berteriak-teriak, engkau jangan lupa bahwa sesungguhnya, jauh di dalam
diriku aku bersila dan memejamkan mata.
*****
Aku bertanya kepadamu bagaimanakah sifat pertemuan atau watak kesadaran dan ke-ingat-anmu kepada Allah. Kapankah, pada situasi bagaimanakah, karena apakah, serta terdorong oleh apakah maka engkau menemukan Allahmu?
Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq, ini suatu contoh, adalah jenis manusia kultural-moderat. Pola penghayatan keilahiannya biasa-biasa saja. Ia menjalani hidup dengan penuh irama kewajaran, ia memikirkannya, merasakannya, menghayatinya, sampai akhirnya ia menemukan inti nilai dan berjumpa dengan Al1ah dalam pengalaman-pengalamannya.
Sayyidina Umar Ibn Khattab adalah manusia revolusioner-radikal. Ia tidak melalui proses dan irama penghayatan yang 'wajar'. Merasuknya setiap ketersentuhan dan kesadaran nilai pada dirinya berlangsung radikal dan revolusioner. Ia mengalami dunia, maka ia menemukan Al1ah.
Sementara Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib adalah manusia mistis. Kalau Abu Bakar menghayati dunia dulu baru menemukan Allah, kalau Umar melihat dunia dan langsung menemukan Allah, maka Ali tidak melihat dunia. Ali sama sekali tidak melihat dunia, karena begitu ia menatap dunia, yang tampak di mata batinnya adalah Allah swt.
Ali menatap langit, tampak Allah di mata batinnya. Ali menyaksikan riuh rendah pasar, tampak Allah di mata batinnya. Ali memandangi gelombang laut, dedaunan yang bergoyang oleh angin, manusia lalu lalang di jalanan, burung-burung terbang, cacing melata dan kuda-kuda berlarian – maka di mata batinnya yang tampak oleh Ali adalah Allah.
*****
Bagaimanakah proses-proses pergaulan dan pertemuanmu denganNya? Adapun Sayyidina Utsman Ibn Affan, meletakkan dunia di tangan kirinya, dan meletakkan Tuhan di tangan kanannya.
Artinya, berpedoman kepada Allah dengan segala perintah dan laranganNya, Utsman memerintah dunia, memanage kehidupan dan mengendalikan sejarah di muka bumi.
Kita-kita ini, ada kemungkinan memiliki kecenderungan seperti Sayyidina Utsman, tapi dalam pola managemen yang terbalik. Yakni, dunia kita genggam di tangan kanan, artinya kita utamakan. Lantas Tuhan kita genggam di tangan kiri kita, artinya kita pakai sebagai alat untuk kepentingan dunia kita. Kita hidup, mencari nafkah, menjalani karir, mengejar martabat sosial dan kekayaan, dan untuk semua itu Tuhan kita posisikan sebagai asset kemajuan dan sukses keduniaan kita. Kita dapuk ia sebagai pihak yang kita harapkan bisa mempermudah jalannya kejayaan kita. Kita pojokkan Tuhan untuk mengabulkan doa-doa kita yang umumnya berhubungan hanya dengan kepentingan pribadi kita di dunia. Bahkan kita pasang Tuhan sebagai alat politik, sebagai maskot suatu strategi sosialisasi dan mobilisasi, atau sebagai bagian penting dari merk dagang komoditas perusahaan kita.
Atau mungkin kehinaan kita tidak sejauh itu. Al1ah sekedar kita acuhkan. Kita nomerduakan. Tidak kita anggap penting. Tidak kita perlakukan sebagai sumber maha sumber dan tujuan maha tujuan segala sesuatu dalam hidup kita. Diam-diam kita bergumam tentang Tuhan: “Emangnya Gue Pikirin!” Sehingga kita jalankan apa saja, kita bangun apa saja, kita ekspansikan apa saja, kita putar roda kapitalisme, industrialisme, hedonisme dsb. dengan tidak usah mempertimbangkan eksistensi Tuhan.
Hanya saja, nanti kalau ada gejala bangkrut, ada kemungkinan kekuasaan kita terdesak oleh kekuatan lawan – baru Tuhan kita pindahkan ke genggaman tangan kanan. Mendadak kita jadi religius, bergaya saleh, rajin pariwisata ke tanah suci, ikut grup tarekat, atau tiba-tiba sangat peka terhadap nasib orang miskin, anak yatim dan kaum yang menderita.
Tetapi ojo dumeh, karena gejala terakhir itu bisa jadi merupakan suatu jalan yang baik bagi proses pertobatan manusia yang bernama husnul khothimah. Itulah sebabnya aku senantiaea berdoa agar para pemimpin negeri ini dimurahi oleh Al1ah dengan anugerah husnul khothimah.'
(Emha Ainun Nadjib/2000/PmBNetDok)

Tidak ada komentar: