Baiklah. Kalaupun Bangsa Indonesia sekarang tak perlu sampai memerlukan penglihatan diri sejauh ini, semoga sedikit berinisiatif pada takaran normal saja sebagai manusia, sebagai masyarakat dan sebagai bangsa – untuk memulai kemandirian, punya instink untuk ketat menjaga martabatnya, untuk mulai percaya kepada dirinya dan kepada apa yang sebenarnya bisa digapainya.
Kalau bangsa Indonesia tidak percaya bahwa ia besar, bahwa ia lebih induk dan lebih besar dari bangsa-bangsa di dunia, serta tidak percaya bahwa sesungguhnya ia punya filosofi, formula, teknologi, budaya dan mekanisme kepemimpinan atas dunia secara lebih damai, hangat dan penuh toleransi (masyarakat kita aslinya adalah Professor Doktor Toleransi dengan tesis empiris cum laude) – maka mudah-mudahan ada sedikit inisiatif kecerahan diri mengupayakan agar 2009 tidak menjadi “Perayaan Kebodohan Edisi kesekian”, 2012 mencoba memastikan ada sejumlah klausul kenegaraan dan hak milik yang membuat kita tidak lebih parah menjadi budak bangsa lain, serta 2015 memproklamasikan “Keselamatan Minimal” sebagaimana layaknya manusia hidup normal standard tanpa keunggulan dan kehebatan.
Kalau flash-back di atas suatu hari dipelajari dan direnungi, mungkin kesibukan berpikir keIndonesiaan kita sehari-hari mengandung kadar pengetahuan dan substansi yang sedikit agak fenomenologis dan paradigmatik. Kita bersabar dengan ilmu, dan menahan diri tidak bicara atau bertindak apapun kalau tidak dilandasi tanggungjawab ilmu. Bahkan yang membedakan keyakinan (iman) dengan khayalan (klenik, mitologi, subyektivisme) adalah faktor ilmu.
Misalnya ada pertanyaan: kenapa segala penderitaan rakyat, kebobrokan pemerintahan dan kekacauan keadaan bangsa kita tidak pernah cukup menjadi syarat lahirnya sebuah revolusi yang mendasar, total, dan sungguh-sungguh? Padahal penderitaannya lebih dari sungguh-sungguh, kebobrokannya jauh melebihi ukuran kekebobrokan yang pernah dicatat oleh sejarah kepemimpinan dan pemerintahan, serta kekacauannya sedemikian rupa sehingga tak ada rakyat Negara manapun di muka bumi yang sanggup berada di dalamnya?
Salah satu jawabannya: karena individu manusia Indonesia sangat tangguh, tidak collapse oleh kesengsaraan bagaimanapun juga, bahkan berulangkali sanggup menolong Negara untuk tidak collapse pada keadaan yang secara teoritis dan seharusnya ia collapse.
Dan jawaban khusus untuk lembar acara hari ini adalah: karena bangsa “kita” memiliki tradisi Teknologi Internal yang tidak dimiliki oleh gen-gen bangsa lain. Dan paradigma itulah yang selama ini “mencelakakan” kita.(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib)
fwd from www.kenduricinta.com
Selasa, 01 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar