suporter

Kamis, 04 September 2008

MAKNA SPIRITUAL DAN SOSIAL IBADAH PUASA

Tulisan ini bisa dimulai dari perspektif Rukun Islam. Dari syahadah hingga menunaikan haji di rumah suci Allah. Kita mencoba menjelaskan satu per satu maqam Rukun Islam tersebut. Dan, pada akhirnya, kita akan melihat maqam ibadah puasa, yang menjadi topik bahasan tulisan ini. Apakah maqam-maqam itu saling terkait, atau tidak?

'Alamat' dan 'Jurusan'

Syahadah. Salah satu Rukun Islam berarti ketetapan dan penetapan titik pijak dan sekaligus arah tujuan gerak kehidupan manusia Muslim. Semacam 'alamat' dan 'jurusan'. Pertama barangkali pada spektrum kosmologis kemudian teologis, baru kemudian kedua kultural.

Pandangan tentang 'sangkan paran', semacam alamat historis-kosmologis, menurut manusia untuk (melalui akal pikiran maupun melalui informasi wahyu, mawaddah wa rahmah, juga huda, bayyinat, wa furqan) menentukan alamat teologis (atau a-teologis)nya. Berdasarkan itu maka ia berangkat merumuskan alamat sosialnya, alamat kulturalnya, juga mungkin alamat politiknya, bahkan bukan tidak mungkin juga alamat geografisnya. Dengan itu, beda pandang manusia mengenai dunia, akhirat, dan tentang dunia akhirat menjadi terumuskan.

Menduniakan Akhirat, Mengakhiratkan Dunia, dan Mendunia-akhiratkan Kehidupan

Pada budaya dan perilaku manusia beserta sistem nilai yang disusun dalam kolektivitas mereka, ada yang memandang dunia ini sebagai tujuan. Seluruh aktivitas pribadi, gerakan sosial, pengorganisasian kekuasaan dan kesejahteraan di antara mereka, dilaksanakan dengan mengandaikan bahwa dunia ini adalah wadah satu-satunya dari segala awal dan segala akhir.

Wadahnya hanya dunia. Substansinya hanya dunia. Metodenya hanya dunia. Dan, targetnya juga hanya dunia. Orang lahir, orang bersekolah, orang bekerja, orang berkuasa, orang berkarier, dalam 'durasi' dunia.

Segala sesuatunya akan berbeda dengan pandangan lain yang meletakkan dunia sebagai titik tolak dan titik pijak untuk melangkah ke akhirat. Sejarah di dunia dikerjakan sebagai jalan (syari', thariq, shirath), dan produknya adalah akhirat. Setiap kegiatan dan fungsi manusia dalam sejarah, selama dunia berlangsung, berlaku sebagai metoda. Berkedudukan tinggi, berjaya, unggul, atau menang di antara manusia, tidak dipahami sebagai neraka. Sebab surga dan neraka adalah produk dari penyikapan (teologis, moral, kultural) manusia atas semua keadaan tersebut.

Dalam hal ini belum akan kita perdebatan tentang apakah dunia dan akhirat itu diwadahi oleh dua satuan waktu yang berbeda, atau terletak pada rentang waktu yang sama, yang dibatasi oleh momentum yawm al-qiyamah, ataukah dunia dan akhirat itu sesungguhnya berlangsung sekaligus.

Ikrar teologis (yang beraktualisasi kultural) yang dilaksanakan melalui syahadatain, ibadah lain serta 'syariat' hidup secara menyeluruh adalah suatu pengambilan sikap, suatu pilihan terhadap pandangna atas dunia dan akhirat. Dengan pijakan sikap ini manusia menggerakkan aktivitas sosialnya, melaksanakan upaya-upaya hidupnya, serta menja-dikannya sebagai pedoman di dalam memandang, menghayati dan memperlakukan apapun saja dalam hidupnya.

Tidak termasuk dalam katagori ini pola sikap manusia yang dalam bersyahadat seakan-akan mengambil keputusan teologis yang memetodekan dunia untuk target akhirat, namun dalam praktiknya ia lebih cenderung meletakkan dunia sebagai target dan tujuan.

Kerancuan sikap semacam ini bisa dilatarbelakangi oleh semacam kebutaan (spiritual), oleh inkonsistensi (mental), oleh kemunafikan (moral), atau oleh tiada atau tidak tegaknya pengetahuan (intelektual). Yang terjadi padanya adalah kecenderungan menduniakan akhirat. Sementara pada manusia yang dalam konteks tersebut tercerahkan spiritualitasnya, yang konsisten sikap mentalnya, yang teguh moralnya, dan yang tegak pengetahuannya- kecenderungannya adalah mengakhiratkan dunia, atau dari sisi lain ia bermakna menduniaakhiratkan kehidupan.
(Emha Ainun Nadjib/Paramadina/1996/PmBNetDok)

Tidak ada komentar: