suporter

Selasa, 29 Juli 2008

SAHABAT DAN UMMAT

Maiyah ialah: kalau Anda shalat berjamaah di Masjid, pastikah Anda tahu siapa yang shalat berjajar di samping kanan atau kirimi? Tahu siapa namanya? Kira-kira berapa umurnya? Rumahnya di mana? Sudah kawin atau belum? Berapa anaknya? Kerjanya apa? Kaya atau miskin atau sedang-sedang saja? Apakah teman sejamaahmu itu hatinya sedang gembira ataukah sedih? Sedang punya problem atau tidak?
Apakah sebuah jamaah di masjid pernah menyelenggarakan lita'arofuu, berkenalan satu sama lain, sebagaimana Allah meniscayakan segala makhluknya? Pasti Anda dan orang semasjid itu adalah saudara seiman seislam. Anda dengan mereka yasyuddu ba'dhuhum ba'dho. Saling memperkuat satu sama lain. Ibarat satu badan, kalau kaki terjepit, mata yang menangis. Kalau pipi ditampar, hati yang sedih. Apakah memang sudah demikian nilai perhubungan Anda dengan orang-orang yang bareng bersembahyang dengan Anda?
Ataukah Anda tidak pernah kenal mereka kecuali satu dua belaka yang kebetulan pernah berkenalan? Dan Anda tidak tahu apakah teman shalat Anda itu masih punya beras atau tidak di rumahnya, juga Anda tidak punya siapa-siapa di masjid itu untuk mengungkapkan bahwa anak Anda sakit keras sementara istri Anda rewel.
Padahal katanya ummat Islam itu satu badan. Kalau ada satu saja orang kelaparan dan tidak ada sistem hubungan yang memungkinkan ia ditolong oleh lainnya, maka semua ikut berdosa.
Apakah dengan orang-orang yang bareng bersujud itu Anda saling terikat oleh nilai-nilai persaudaraan, logika ukhuwah, kesetiaan moral, kewajiban tolong menolong - ataukah Anda semua ini tiap hari berjamaah shalat tetapi kehidupan nyata Anda berlangsung sendiri-sendiri, individual dan egoistik?
Jangankan lagi peningkatan mutu dari keislaman ke keimanan. Dari kualitas Muslim ke derajat Mu'min. Mu'min, iman, aman..karena Anda satu ummat dan karena Anda mu'min maka segala perilaku dan bicara Anda selalu mengamankan semua yang ada di sekitar Anda. Apakah dalam berdagang Anda mengamankan saudara-saudaramu karena engkau Mu'min? Apakah dalam menjalankan kehidupan sehari-hari Anda menciptakan rasa aman bagi saudara-saudaramu? Apakah parpolmu, kampanyemu, jabatanmu, uangmu, kekuasaanmu, kekuatanmu, akses-aksesmu - membuat saudara-saudaramu aman, ataukah justru mereka merasa terancam?
Kalau Megawati adalah presiden PDIP maka yang non-PDIP merasa tidak aman. Maka Megawati dilarang oleh akal sehat dan moralitas kebangsaan untuk menjadi Presiden PDIP, sebab kewajiban formalnya adalah menjadi Presiden Republik Indonesia. Sehingga ia menjamin keamanan semua pihak di Indonesia, bahkan menjamin keamanan tanah, pohon, angin, air, kalau perlu juga Jin dan hantu-hantu di seantero Indonesia.
Kalau pemimpin engkau ambil dari suatu golongan, maka siapkan dua hal dalam hidupmu: engkau menjadi ancaman, atau engkau berposisi terancam.
Apakah Gus Dur merasa aman atas Amin Rais? Apakah Amin Rais merasa aman atas Gus Dur? Demikian juga pemimpin-pemimpin dan berbagai golongan social dan politik di negeri ini, adakah rasa aman satu sama lain? Bahkan kalau suatu malam Anda naik motor lewat tuwangan atau bulak dan Anda dibegal orang motor dan dompet direbut - jangan membayangkan bahwa pembegalmu itu orang PKI atau orang kafir. Besok malam engkau sebenarnya bisa ketemu dia di pengajian, lusa Jum'atan bareng,, dan nanti kalau dia punya duit juga akan bareng kami naik haji.
Sedangkan dengan tetanggamu yang seiman sebangsa sesuku sekampung saja engkau tidak sungguh-sungguh merasa aman. Jadi tidak rasional kalau engkau mengira bahwa da Ummat Islam yang kalbun-yan yasyuddu ba'dhuhum ba'dho. Yang saling tolong menolong dan melindungi satu sama lain.
Maka untuk tahap sekarang ini, sebelum tercipta dan terbangun "ummat", tentukan dan pastikan dulu siapa "sahabat"mu. Sahabat yang kita saling gembira kalau ada satu yang gembira, saling sedih kalau ada satu yang bersedih. Saling setia, bertanggung jawab, santun dan berkasih sayang.
Mungkin "sahabat"mu itu hanya dua orang, tiga orang, sepuluh orang atau berapapun. Tapi mereka tidak membiarkan anakmu sakit tanpa pengobatan, dan engkau tidak membiarkan keluarga mereka kelaparan dan berduka. Tidak usah membayangkan Maiyah Indonesia Raya dulu, cukup tentukan yang jelas siapa-siapa "sahabat"mu dalam kehidupan yang penuh tekanan dan ancaman ini.
Itulah "Ummat" kecilmu, "ummat" sejatimu. Itulah Indonesia kecilmu, Indonesia sejatimu. Itulah maiyah.******(Emha Ainun Nadjib/2002/PmBNetDok)

Membeli Fitnah

BENARKAH ada sanak saudaramu yang harus berkorban sedemikian besar, sampai pun nyawanya, demi keserakahan sejumlah orang -- yang bahkan tak dikenalnya -- terhadap sekati upah?
Benarkah anggota keluarga Anda harus membayar sebegitu mahal kepada pentas primordialisme yang sempit? Demi fanatisme dan taqlid yang sebuta- butanya. Atau, bahkan demi pertarungan yang hanya berisi kebodohan, nafsu dan emosi yang tidak jernih arahnya, serta ketidakpahaman dan ketergesaan. Maka kecemasan yang saya alami tidak hanya terhadap kemungkinan chaos yang heboh, tapi juga terhadap kebebalan yang 'tenang'.


Diam-diam, sesungguhnya, jauh di lubuk jiwa saya terdapat juga rasa asyik menyaksikan atau mengalami benturan dan peperangan. Tapi untuk apa dulu? Bersediakah Anda mengalami itu semua untuk suatu kesibukan nasional satu bulan yang pada hakikat dan kenyataannya tidak ada keterkaitan yang realistis dengan perjuangan nasib Anda sendiri sebagai rakyat kecil?

Bertamulah ke rumah orang-orang pandai. Para dosen, pastur atau kiai. Bertanyalah kepadanya apakah gegap gempita yang sedang kita selenggarakan hari-hari ini memiliki prospek yang nyata terhadap impian perubahan yang sesungguhnya, yang nasib struktural rakyat bergantung padanya?

Maka bergembiralah dengan semua pesta itu, namun dengan sanggup melakukan pengaturan takaran. Pacing. Bukan menyediakan pasak yang jauh lebih besar dibanding tiang rapuh yang tersedia sekarang ini.

Ada anak-anak muda 'minta izin' -- anehnya -- kepada saya. "Cak, biar deh saya dipenjara, asalkan puas hati ini. Ayolah kapan kita serbu dan bakar...!"

Tentu saja saya masih bisa tidak gila untuk memberikan jawaban yang tepat terhadap desakan emosi kerakyatan, yang sesungguhnya saya mafhum benar latar belakangnya. Semangatnya penuh enerji 'jihad', tapi belum ada titik koordinat yang menyilangkan pertemuan antara konteks atau tema dengan momentum yang tepat.

Kalau boleh, naluri seperti itu hendaklah 'dipenjarakan' bis-shobri was- sholah -- sampai ada konteks dan sa'ah sejarah di mana gumpalan tenaga semacam itu kita perlukan.

***
JIWA kekanak-kanakan saya juga punya semacam rasa senang terhadap letusan-letusan kecil atau besar, dengan tema apapun. Tapi yang disebut 'aga- ma' adalah kesanggupan mental dan akal budi untuk tidak menggerakkan kaki kehidupan ini berdasarkan apa yang kita sukai, melainkan berdasarkan apa yang wajib dan benar menurut Allah.
Saya mohon maaf untuk mengatakan hal seperti ini. Bahkan terhadap fitnah-fitnah besar dalam hidup saya, Insya Allah saya bukan hanya tak bersedia meladeni atau mengeluarkan enerji sedikit pun, melainkan kalau perlu, saya bersedia membeli fitnah-fitnah itu. Saya bersedia membayar orang- orang yang memfitnah saya, demi ma'unah, fadhilah dan karomah.

Maka kalau saya merasa cemas, Insya Allah kecemasan yang saya maksudkan bukanlah situasi mental, melainkan manifestasi dari kesadaran akan pengetahuan dan kewajiban hidup.

Pernahkah Anda bertanya kepada diri sendiri seberapa besar kadar keprihatinan dan kecemasan Anda terhadap tingkat kemunkaran politik, hukum dan ekonomi di sekitar kita.

Seberapa besar pulalah kecemasan Anda terhadap kenyataan betapa orang- orang justru tidak cemas terhadap itu semua? Seberapa cemaskah Anda terhadap ketidakpedulian kita semua atas seberapa jauh bangsa ini mengalami 'defisit nilai' demokrasi, moral, keberbudayaan dan keberadaan. Dalam bentuknya yang kasar dan transparan, maupun yang halus, canggih dan kita sangka kebaikan dan ketenteraman? ***
(Emha Ainun Najib/2007/PmBNetDok)

Rabu, 23 Juli 2008

Allah dan Slang-slang AC

Aku ini kere yang sering memperoleh kesempatan untuk munggah mbale. Maksudku, karena dari hari ke hari hidupku hampir selalu di perjalanan dan berpindah-pindah tempat untuk memenuhi undangan-undangan – baik dari orang-orang yang benar-benar mempercayaiku, maupun dari orang-orang yang sekedar membutuhkanku namun diam-diam ngedumel di dalam hati mereka – maka terkadang aku diinapkan di hotel-hotel.
Sesekali di hotel berbintang banyak. Saat lain di hotel sedengan. Terkadang di losmen, di mess, atau di rumah kosong yang tak ditempati karena si empunya tidak mungkin membagi punggungnya ditugel-tugel jadi banyak agar bisa menempati banyak rumahnya. Yang aku selalu merasa terancam adalah kalau ditidurkan di rumah orang, artinya di rumah yang dihuni oleh sebuah rumah tangga. Soalnya pasti tuan rumahku orang baik, selalu menjamu dan menghormati secara maksimal, menyediakan makan minum dan tempat tidur yang lebih dari layak. Kemudian kami harus dayoh-dayoh-an penuh sopan santun dan wajib penuh basa basi. Lantas sekitar jam 23.00 aku dipersilahkan tidur – dan inilah puncak ancaman bagiku. Mana mungkin aku tidur jam segitu sampai pagi. Aku tidak mampu menikmati tidur sebagai acara tidur. Maksudku, aku harus selalu bekerja keras sampai badanku tidak kuat dan lantas secara alamiah aku tidur. Aku tidak pernah akrab dengan ranjang dan kasur, sebab aku
mendatanginya hanya ketika aku sudah sangat mengantuk dan kesadaranku tinggal lima watt. Tak mungkin aku bergaul intensif dengan siapapun dan dengan apapun hanya dengan bekal kesadaran lima watt.
Bukannya aku meremehkan tidur. Tidur itu sangat penting. Tetapi bagiku tidur itu bukan terutama merupakan mekanisme budaya atau kegiatan budaya dalam hidupmu. Tidur itu kegiatan alam. Pekerjaan natural. Itu keharusan atau sunnah dari Allah pada momentum tertentu setiap hari. Oleh karena itu sering aku heran kepada orang-orang yang begitu sibuk mengurusi ranjang, membeli kasur dengan segala keindahannya. Padahal kasur itu urusannya orang tidur. Dan tidur itu urusannya orang mengantuk. Dan kalau orang sudah dalam keadaan sangat mengantuk, ia hampir tidak perduli apakah yang di depannya itu kasur ataukah tikar. Oleh karena itu bagiku, tidur tidak perlu aku programkan dalam kebudayaan. Ia alamiah.
*****
Pertanyaan yang ingin kuajukan dalam tulisan hari ini adalah: apakah kesadaran dan pergaulan kita dengan Allah itu merupakan sesuatu yang engkau biarkan berlangsung alamiah, ataukah perlu engkau terjemahkan ke dalam rancangan-rancangan budaya? Termasuk di sini, berapa watt-kah kapasitas kesadaran dan pergaulan kita dengan Allah swt.?
Itulah sebabnya di awal tulisan ini aku bercerita tentang hotel-hotel. Pada suatu senja bersama sejumlah kawan aku mencari mushallah di sebuah hotel besar internasional di Jakarta. Kami hendak maghriban bareng menjelang menghadiri pembukaan Pameran Lukisan Kaligrafi di hotel tsb.
Kami berjalan menerobos bagian-bagian bawah dari hotel itu. Kami melewati lorong-lorong panjang dan berliku-liku. Akhirnya tiba di mushallah yang terletak sangat di pojok dan tersembunyi. Kalau sendiri, tak bisa kujamin aku akan bisa menemukannya.
Seusai shalat, aku hendak berdoa macam-macam, yang mendadak yang bersuara dalam hatiku adalah keluhan, dan kuucapkan itu perlahan-lahan. "Ya Allah Kekasihku, apakah Engkau merasa sepi? Engkau di sembunyikan di sini, di pojok bawah. Engkau bukan sesuatu yang penting bagi rancangan dan konsep hotel yang mewah ini. Engkau tidak primer. Engkau tidak nomer satu. Engkau tidak disediakan tempat di etalase terpenting dari performance hotel ini. Ketika para arsitek membangun tempat ini, tak ada alokasi atau ingatan tentangMu, barangkali. Rumah atau mushallaMu ini tampaknya juga tidak sejak semula dibangun sebagai mushalla. RumahMu ini sekedar sebuah ruangan yang dipaksakan untuk dipakai sebagai tempat shalat, karena kebetulan banyak karyawan hotel ini yang beragama Islam. Ya Allah, apakah Engkau merasa kesepian? Tidak. Aku tahu Engkau tidak kesepian. Engkau tidak bersemayam hanya di mushalla ini. Engkau bisa aku jumpai di manapun. Aku bisa menghadapMu di bagian
manapun dari hotel ini. Tetapi yang kutangiskan adalah kenapa Engkau begitu tidak dianggap penting, bahkan mungkin dianggap tidak ada, oleh mereka yang membangun dan menikmati gedung-gedung di muka bumiMu. Padahal tanah ini tanahMu. Material apapun yang dipakai untuk membangun hotel ini adalah milikMu. Juga semuanya, apa saja dan siapa saja yang menghuni dan lalu lalang di gedung ini, adalah sematamata Engkau yang menciptakan dan Engkau yang menganugerahkan kepada mereka segala jenis rizqi dan kekayaanMu..."
Itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Seusai shalat aku berlari mencari telpon dan kuhubungi saudara-saudaraku di Jombang. Spontan aku katakan: "Malam ini juga cari empat orang yang sangat miskin tapi yang akhlaqnya baik. Kasih tahukan dan pandulah mereka untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk naik haji. Uang ONH saya kirim besok pagi".
*****
Mungkin aku agak sentimental dengan keluhan semacam ini. Semestinya aku juga bisa berpikir bahwa kultur hotel-hotel yang berlaku adalah memang produk dari peradaban sekular abad 20. Tetapi aku tidak juga bisa menganggap bahwa budaya hotel dari kosmos industri dan kapitalisme sekular ini tidak memiliki sentuhan religius, karena hampir selalu bisa kujumpai The Holly Bible di laci meja kamar-kamarnya.
Harus kita akui bahwa juga ada hotel-hotel yang menyediakan Kitab Al-Quran serta tulisan petunjuk kiblat di atap kamar. Bahkan kini sudah pula berdiri beberapa hotel yang segala sesuatunya dirancang untuk suatu mekanisme kehidupan yang Islami. Segala sesuatu dalam kebudayaan ummat manusia memang terus berkembang ke berbagai arah. Semuanya sedang terus melakukan tawar-menawar dengan ragam nilai-nilai.
Di atas semua itu aku tetap bersyukur. Meskipun di berbagai hotel berbintang engkau jumpai mushalla hanya bersifat darurat di pojok-pojok, di basement, bahkan di ruang-ruang bawah tanah di mana kalau kita shalat di atas kita terdapat slang-slang AC bersilang-silang, sehingga terasa Allah sebegitu dimarginalisir – kuanjurkan engkau tetap bersyukur. Karena hikmah, karomah dan mashlahah disediakan olehNya di segala macam tempat.
Jum'at kemarin aku tinggal di sebuah hotel milik seorang menteri yang namanya memakai idiom dari Quran, yang rekruitmen karyawan-karyawannya juga mengutamakan yang beragama Islam. Tapi tempat jum'atannya adalah di pojok tempat parkir, yang ruangnya sangat sempit, sehingga para jamaah tumpah keluar, dan kami mendengarkan khutbah campur mobil yang berseliweran. Ketika naik ke kamar, kubuka laci, kujumpai Bible, dan aku bergumam: "Kalau memang yang dimaksud kebudayaan modern adalah aktualisasi demokrasi, mestinya tidak banyak biaya untuk juga membeli Qur'an, Bagavadgita, syukur kitab asli Zabur, Taurat dan Injil.****
(Emha Ainun Nadjib/2000/PmBNetDok)



ABU BAKAR, UMAR, UTSMAN ATAU ALI-KAH ENGKAU?

Kemarin aku bertutur tentang ingat kepada Allah di segenap ruang dan waktu yang kita libati. Aku ingat para sahabat sering bertanya apakah Al1ah itu bagi kita merupakan hal mewah ataukah bersifat sehari-hari?
Kalau materi, ia disebut mewah jika susah didapat, dan jika kita mendapatkannya selalu terasa sangat nikmat. Sedangkan barang yang sifatnya sehari-hari, yang bersifat 'biasa' atau koden – itu gampang didapatkan dan cara memperolehnya juga tidak istimewa.
Di sinilah letak keagungan dan keindahan Allah. Ia bukan 'barang' mewah, karena kapan saja kita bisa menghadapNya dan 'memperoleh'Nya. Namun jika kita ber-muwajjahah denganNya, jika kita memperoleh kehadiranNya pasti terasa sangat mewah dan istimewa. Artinya, kapan saja dan di mana saja kita bisa berjumpa dengan Allah, tapi Ia tetap mewah.
Kuingat juga sahabatku, Wahyu Sulaiman Rendra – tatkala ia bersyahadat dan masuk Islam di Parangtritis Yogya – ia merasa begitu takjub. "Alangkah dekatnya seorang Muslim dengan Al1ah. Kapan saja ia bisa menemuinya, tanpa birokrasi yang ruwet. Alangkah demokratisnya Islam. Setiap hamba Allah bisa dalam waktu beberapa detik saja menjadi Muslim, karena langsung bersaksi di hadapanNya tanpa melalui perantara siapapun atau apapun saja. Islam mengantarkan setiap manusia untuk langsung berhadapan dengan Allah"
*****
Sekarang aku bertanya kepadamu masing-masing. Aku mengetuk pintu perenungan batinmu, karena mungkin pagi ini, siang ini, sore ini, sedang beriktikaf. Maksudku dengan iktikaf tidaklah harus dalam keadaan bersila atau bersujud di atas tikar atau karpet masjid.
Enngkau bisa beriktikaf sewaktu-waktu. Bisa lima jam, bisa satu jam, bisa beberapa menit, bisa beberapa detik, dan nanti engkau ulangi lagi beberapa detik. Iktikafmu juga bisa tak dibatasi oleh di mana engkau sedang berada atau apa yang sedang engkau kerjakan.
Mungkin engkau sedang duduk termenung dalam taksimu karena menunggn penumpang yang akan memanggil jasamu. Mungkin engkau sedang meladeni penjual di tokomu. Mungkin engkau sedang bekerja di kantormu. Mungkin engkau sedang berjalan di trotoar atau duduk-duduk menunggu bis kota di tepi jalan. Dalam semua keadaan itu batinmu bisa saja beriktikaf, jiwamu merenung, pikiranmu terkonsentrasi kedalamannya kepada Al1ah. Engkau bisa topo ngrame. Aku sendiri melakukannya tiap hari. Aku bekerja keras tiap saat, aku selalu dalam suasana perjalanan hampir tiap hari, aku selalu berada di tengah orang banyak hampir kapan saja. Bahkan ketika mengetik inipun berseliweran banyak orang di sekitarku. Tapi hatiku selalu bersedekap. Jiwaku selalu merenung. Pikiranku insyaAllah selalu bersujud. Perasaanku selalu masuk ke relung-relung kedalaman nilai. Bahkan tatkala engkau melihatku bergurau dan mungkin berteriak-teriak, engkau jangan lupa bahwa sesungguhnya, jauh di dalam
diriku aku bersila dan memejamkan mata.
*****
Aku bertanya kepadamu bagaimanakah sifat pertemuan atau watak kesadaran dan ke-ingat-anmu kepada Allah. Kapankah, pada situasi bagaimanakah, karena apakah, serta terdorong oleh apakah maka engkau menemukan Allahmu?
Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq, ini suatu contoh, adalah jenis manusia kultural-moderat. Pola penghayatan keilahiannya biasa-biasa saja. Ia menjalani hidup dengan penuh irama kewajaran, ia memikirkannya, merasakannya, menghayatinya, sampai akhirnya ia menemukan inti nilai dan berjumpa dengan Al1ah dalam pengalaman-pengalamannya.
Sayyidina Umar Ibn Khattab adalah manusia revolusioner-radikal. Ia tidak melalui proses dan irama penghayatan yang 'wajar'. Merasuknya setiap ketersentuhan dan kesadaran nilai pada dirinya berlangsung radikal dan revolusioner. Ia mengalami dunia, maka ia menemukan Al1ah.
Sementara Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib adalah manusia mistis. Kalau Abu Bakar menghayati dunia dulu baru menemukan Allah, kalau Umar melihat dunia dan langsung menemukan Allah, maka Ali tidak melihat dunia. Ali sama sekali tidak melihat dunia, karena begitu ia menatap dunia, yang tampak di mata batinnya adalah Allah swt.
Ali menatap langit, tampak Allah di mata batinnya. Ali menyaksikan riuh rendah pasar, tampak Allah di mata batinnya. Ali memandangi gelombang laut, dedaunan yang bergoyang oleh angin, manusia lalu lalang di jalanan, burung-burung terbang, cacing melata dan kuda-kuda berlarian – maka di mata batinnya yang tampak oleh Ali adalah Allah.
*****
Bagaimanakah proses-proses pergaulan dan pertemuanmu denganNya? Adapun Sayyidina Utsman Ibn Affan, meletakkan dunia di tangan kirinya, dan meletakkan Tuhan di tangan kanannya.
Artinya, berpedoman kepada Allah dengan segala perintah dan laranganNya, Utsman memerintah dunia, memanage kehidupan dan mengendalikan sejarah di muka bumi.
Kita-kita ini, ada kemungkinan memiliki kecenderungan seperti Sayyidina Utsman, tapi dalam pola managemen yang terbalik. Yakni, dunia kita genggam di tangan kanan, artinya kita utamakan. Lantas Tuhan kita genggam di tangan kiri kita, artinya kita pakai sebagai alat untuk kepentingan dunia kita. Kita hidup, mencari nafkah, menjalani karir, mengejar martabat sosial dan kekayaan, dan untuk semua itu Tuhan kita posisikan sebagai asset kemajuan dan sukses keduniaan kita. Kita dapuk ia sebagai pihak yang kita harapkan bisa mempermudah jalannya kejayaan kita. Kita pojokkan Tuhan untuk mengabulkan doa-doa kita yang umumnya berhubungan hanya dengan kepentingan pribadi kita di dunia. Bahkan kita pasang Tuhan sebagai alat politik, sebagai maskot suatu strategi sosialisasi dan mobilisasi, atau sebagai bagian penting dari merk dagang komoditas perusahaan kita.
Atau mungkin kehinaan kita tidak sejauh itu. Al1ah sekedar kita acuhkan. Kita nomerduakan. Tidak kita anggap penting. Tidak kita perlakukan sebagai sumber maha sumber dan tujuan maha tujuan segala sesuatu dalam hidup kita. Diam-diam kita bergumam tentang Tuhan: “Emangnya Gue Pikirin!” Sehingga kita jalankan apa saja, kita bangun apa saja, kita ekspansikan apa saja, kita putar roda kapitalisme, industrialisme, hedonisme dsb. dengan tidak usah mempertimbangkan eksistensi Tuhan.
Hanya saja, nanti kalau ada gejala bangkrut, ada kemungkinan kekuasaan kita terdesak oleh kekuatan lawan – baru Tuhan kita pindahkan ke genggaman tangan kanan. Mendadak kita jadi religius, bergaya saleh, rajin pariwisata ke tanah suci, ikut grup tarekat, atau tiba-tiba sangat peka terhadap nasib orang miskin, anak yatim dan kaum yang menderita.
Tetapi ojo dumeh, karena gejala terakhir itu bisa jadi merupakan suatu jalan yang baik bagi proses pertobatan manusia yang bernama husnul khothimah. Itulah sebabnya aku senantiaea berdoa agar para pemimpin negeri ini dimurahi oleh Al1ah dengan anugerah husnul khothimah.'
(Emha Ainun Nadjib/2000/PmBNetDok)

Selasa, 08 Juli 2008

Indonesia sebuah Negeri........

Sejuta definisi, sejuta istilah dewasa ini diberikan kepada Indonesia. Berikut hanya sebuah sumbangan pemikiran Cak Nun yang ditulis berbelas tahun yang lalu dalam Iblis Nusantara Dajjal Dunia

1. Sebuah negeri dengan deretan kerusuhan yang terus membakar dirinya tanpa dipastikan bahwa kali tertentu ia akan berhenti.

2. Sebuah negeri dengan tumpukan problem, yang tidak datang dari luar melainkan dari dalam diri mereka sendiri.

3. Sebuah negeri dengan akumulasi masalah, yang telah seribu kali disadari, seribu kali didiskusikan, seribu kali dinyatakan akan diatasi, namun seribu kali pula tidak pernah benar-benar diatasi, dan bahkan seribu kali pula masalah itu malahan ditambahi.

4. Sebuah negeri dengan hamparan kesenjangan, ketimpangan dan ketidakseimbangan yang tidak pernah sanggup direnungi.

5. Sebuah negeri yang penuh anugerah, namun tidak diproduksi darinya kemaslahatan dan kebahagiaan bersama.

6. Sebuah negeri yang semakin lama semakin membutuhkan kerusuhan buat mendapatkan kemungkinan untuk terbangun dari tidur panjangnya.

7. Sebuah negeri yang di leher gunung kekisruhannya ditemui oleh keteduhan Ramadhan, namun tidak mempengaruhinya untuk mengi’tikafi keadaan-keadaannya.

8. Sebuah negeri yang sedang dihantam oleh letusan gunung, oleh kobaran api demi api, namun tetap saja tidur nyenyak dalam ketentraman global yang tidak sehat.

9. Sebuah negeri yang bertele-tele dalam mengamati permasalahan dirinya, yang bertele-tele dalm menginsyafi bahwa sangat banyak soal mendasar yang harus diurusinya, serta yang bertele-tele dalam mengkoordinasikan segala kemungkinanuntuk bangkit dari ranjau-ranjau zaman yang diciptakannya sendiri.

10. Sebuah negeri yang sedang digoyang oleh berbagai hasil kelakuan zamannya sendiri, namun para penghuninya tidak menginisiatif-i kehendak bersama dalam skala nasional untuk memperbaiki kuda-kuda dan merancang suatu ketegak-kan dan keteguhan barus sebagai bangsa.

11. Sebuah negeri yang sangat memerlukan tangan-tangan saling berentang dan bergandengan, namun yang berlangsung justru tangan demi tangan sangat sibuk mengepalkan diri dan kekuasaan nya masing-masing.

12. Sebuah negeri yang sangat membutuhkan ‘orang tua’, namun yang tampil di panggung dan dibesar-besarkan oleh media massa justru adalah pemimpin-pemimpin bermental kanak-kanak yang justru sibuk menebar fitnah, dlon, sangkaan, aran-aran (prasangka dlm Jawa).(Emha Ainun Nadjib)

Selasa, 01 Juli 2008

Ketangguhan Yang “Mencelakakan”

Baiklah. Kalaupun Bangsa Indonesia sekarang tak perlu sampai memerlukan penglihatan diri sejauh ini, semoga sedikit berinisiatif pada takaran normal saja sebagai manusia, sebagai masyarakat dan sebagai bangsa – untuk memulai kemandirian, punya instink untuk ketat menjaga martabatnya, untuk mulai percaya kepada dirinya dan kepada apa yang sebenarnya bisa digapainya.

Kalau bangsa Indonesia tidak percaya bahwa ia besar, bahwa ia lebih induk dan lebih besar dari bangsa-bangsa di dunia, serta tidak percaya bahwa sesungguhnya ia punya filosofi, formula, teknologi, budaya dan mekanisme kepemimpinan atas dunia secara lebih damai, hangat dan penuh toleransi (masyarakat kita aslinya adalah Professor Doktor Toleransi dengan tesis empiris cum laude) – maka mudah-mudahan ada sedikit inisiatif kecerahan diri mengupayakan agar 2009 tidak menjadi “Perayaan Kebodohan Edisi kesekian”, 2012 mencoba memastikan ada sejumlah klausul kenegaraan dan hak milik yang membuat kita tidak lebih parah menjadi budak bangsa lain, serta 2015 memproklamasikan “Keselamatan Minimal” sebagaimana layaknya manusia hidup normal standard tanpa keunggulan dan kehebatan.

Kalau flash-back di atas suatu hari dipelajari dan direnungi, mungkin kesibukan berpikir keIndonesiaan kita sehari-hari mengandung kadar pengetahuan dan substansi yang sedikit agak fenomenologis dan paradigmatik. Kita bersabar dengan ilmu, dan menahan diri tidak bicara atau bertindak apapun kalau tidak dilandasi tanggungjawab ilmu. Bahkan yang membedakan keyakinan (iman) dengan khayalan (klenik, mitologi, subyektivisme) adalah faktor ilmu.

Misalnya ada pertanyaan: kenapa segala penderitaan rakyat, kebobrokan pemerintahan dan kekacauan keadaan bangsa kita tidak pernah cukup menjadi syarat lahirnya sebuah revolusi yang mendasar, total, dan sungguh-sungguh? Padahal penderitaannya lebih dari sungguh-sungguh, kebobrokannya jauh melebihi ukuran kekebobrokan yang pernah dicatat oleh sejarah kepemimpinan dan pemerintahan, serta kekacauannya sedemikian rupa sehingga tak ada rakyat Negara manapun di muka bumi yang sanggup berada di dalamnya?

Salah satu jawabannya: karena individu manusia Indonesia sangat tangguh, tidak collapse oleh kesengsaraan bagaimanapun juga, bahkan berulangkali sanggup menolong Negara untuk tidak collapse pada keadaan yang secara teoritis dan seharusnya ia collapse.

Dan jawaban khusus untuk lembar acara hari ini adalah: karena bangsa “kita” memiliki tradisi Teknologi Internal yang tidak dimiliki oleh gen-gen bangsa lain. Dan paradigma itulah yang selama ini “mencelakakan” kita.(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib)
fwd from www.kenduricinta.com