Ditulis Oleh: Noe Letto
Heboh benar peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional, dan saya cari-cari di mana diri saya di tengah keramaian itu. Berhubung tidak menemukannya, saya mengandaikan diri saya cukup penting, sehingga ada yang bertanya: apa aspirasi saya tentang Kebangkitan Nasional. Dan saya pun nekat menulis tentang sesuatu yang jauh lebih besar dari diriku. Yakni nilai-nilai yang melandasi sikap untuk bangkit sebagai bangsa.
Pastilah nilai yang diyakini dan dilaksanakan seseorang akan propagate ke mentalitas dan kualitas decision making yang dia jalankan. Nilai yang diyakini dan dilaksanakan sebuah generasi akan membawa perubahan pada generasi tersebut dan berpengaruh pada generasi setelahnya.
Saya coba menuliskan sejumlah konten sikap dasar itu, dan memulainya dari diri saya sendiri, misalnya: ''mendapatkan kesenangan tanpa ada yang disusahkan''. Sebuah sikap dasar yang menumbuhkan empati dan membunuh budaya egoisme. Itu kabarnya yang disebut saleh dalam agama: kebaikan dan kebenaran yang ketika diterapkan di dalam dialektika tatanan sosial, tak ada yang tersakiti.
Sikap eksploitatif tak diberi ruang sedikit pun. Jika transaksi (dalam arti luas) terjadi tanpa ada pihak yang merasa dirugikan, output-nya adalah keikhlasan dan rasa bersyukur. Tanpa eksploitasi, keadilan bakal lebih terjamin. Kreativitas akan terpacu (karena tak ada jalan pintas untuk mengambil keuntungan).
Memberi kesempatan pada setiap orang untuk berbicara dan memberikan haknya untuk dinilai secara objektif. Seringkali seseorang harus menjadi tokoh dulu agar perkataannya didengarkan. Padahal, alangkah lebih baiknya kalau kita mendengarkan perkataan siapa pun terlebih dulu, baru memutuskan apakah dia seorang tokoh atau bukan.
''Berpikir global sebagai jenius lokal''. Sadar akan posisi kita pada pemetaan dunia tanpa meninggalkan local-wisdom yang terbangun dari peradaban ribuan tahun akan memberi filter terhadap budaya yang masuk. Memberi perspektif lebih luas pada cara pandang kita, sembari mengokohkan jati diri sebagai sebuah bangsa yang beradab.
''Kedaerahan yang Indonesiawi''. Kemampuan menggali budaya lokal, mampu mengukur kemampuan potensi lokal, dalam skala frame pemikiran untuk akselerasi kemajuan nasional. Time is money bukan berasal dari budaya kita. Jika money adalah ukuran keberhasilan, maka kita harus mendefinisikan kembali konsep itu yang sesuai dengan akar budaya kita. Katakanlah money sama dengan laba (profit dan benefit).
''Laba ekonomi tidak menghilangkan laba kemanusiaan, laba sosial, dan laba budaya''. Kemapanan ekonomi yang hilang kemanusiaannya akan menimbulkan iri dan dengki. Keuntungan ekonomi yang melupakan nilai sosialnya akan menimbulkan kesenjangan dan keresahan. Keuntungan ekonomi yang meninggalkan budaya akan mereduksi manusianya menjadi manusia yang tak lagi mengenal kemesraan, kebersamaan, dan etika. Manusia yang hanya terdefinisi dari jumlah uang yang ia miliki.
''Waktu adalah laba, jika waktu tak pernah terbuang sia-sia''. Meredefinisi arti kerja keras dan memberi ruang lebih luas pada proses-proses positif, kreatif, kadang tidak berhubungan langsung dengan proses ekonomi.
''Keringat adalah laba, jika tak satu tetes keringat pun tersepelekan''. Ketika setetes keringat dihargai, semua manusia berhak memiliki harga dirinya dari usahanya, bukan karena status sosialnya atau penghargaan yang pernah didapat.
Sikap adalah laba, jika berlaku kesadaran bahwa tidak ada hal terlalu remeh untuk dilakukan, sekecil apa pun itu. Membangkitkan budaya saling menghargai. Tak ada hal yang dianggap sepele dan tak ada yang punya hak untuk menyepelekan apa pun dan siapa pun.
''Keadilan adalah laba''. Pentingnya fairplay untuk menjamin kesetaraan kesempatan. Sudahkah kita mendomestikasi demokrasi? Ataukah demokrasi masih ''binatang'' liar di negeri kita? Atau mungkin demokrasi perlu diberi ''bumbu'' untuk menjadi ''barang dalam negeri''.
''Kebebasan berbicara dengan dilandasi kesantunan berbangsa''. Sopan santun akan memberi filter agar sebuah pesan yang disampaikan tidak menimbulkan ketegangan secara bahasa sebelum dicerna substansinya. ''Kebebasan berpendapat dengan dilandasi kemaslahatan bersama''. Seringkali kebebasan berpendapat digunakan untuk mengakomodasi perseteruan personal. Kita dipaksa menjadi penonton ''pertarungan politik'' yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan bersama. Nilai ini akan memberi pagar pada hal-hal seperti itu.
''Kebebasan berekspresi yang mengekspresikan Indonesia''. Banyak nilai yang bisa kita anut. Banyak deklarasi yang bisa kita teriakkan. Tapi pertanyaan fundamentalnya adalah seberapa teguh konsistensi kita untuk bisa terus bertahan pada sebentuk nilai, minimal sampai titik waktu tertentu yang akan membawa perubahan yang mendasar. Sambil memastikan bahwa nilai-nilai ini tertular pada generasi penerus kita.
Saya tidak berpendapat bahwa itu semua ada manfaatnya bagi siapa pun, tapi minimal saya bisa menghibur hati kecil saya sendiri bahwa ''tuan''-nya ini mau belajar menjadi manusia dan mencoba ''menjadi sebuah generasi''. (*dimuat di majalah Gatra, edisi 14 no 28)
Pastilah nilai yang diyakini dan dilaksanakan seseorang akan propagate ke mentalitas dan kualitas decision making yang dia jalankan. Nilai yang diyakini dan dilaksanakan sebuah generasi akan membawa perubahan pada generasi tersebut dan berpengaruh pada generasi setelahnya.
Saya coba menuliskan sejumlah konten sikap dasar itu, dan memulainya dari diri saya sendiri, misalnya: ''mendapatkan kesenangan tanpa ada yang disusahkan''. Sebuah sikap dasar yang menumbuhkan empati dan membunuh budaya egoisme. Itu kabarnya yang disebut saleh dalam agama: kebaikan dan kebenaran yang ketika diterapkan di dalam dialektika tatanan sosial, tak ada yang tersakiti.
Sikap eksploitatif tak diberi ruang sedikit pun. Jika transaksi (dalam arti luas) terjadi tanpa ada pihak yang merasa dirugikan, output-nya adalah keikhlasan dan rasa bersyukur. Tanpa eksploitasi, keadilan bakal lebih terjamin. Kreativitas akan terpacu (karena tak ada jalan pintas untuk mengambil keuntungan).
Memberi kesempatan pada setiap orang untuk berbicara dan memberikan haknya untuk dinilai secara objektif. Seringkali seseorang harus menjadi tokoh dulu agar perkataannya didengarkan. Padahal, alangkah lebih baiknya kalau kita mendengarkan perkataan siapa pun terlebih dulu, baru memutuskan apakah dia seorang tokoh atau bukan.
''Berpikir global sebagai jenius lokal''. Sadar akan posisi kita pada pemetaan dunia tanpa meninggalkan local-wisdom yang terbangun dari peradaban ribuan tahun akan memberi filter terhadap budaya yang masuk. Memberi perspektif lebih luas pada cara pandang kita, sembari mengokohkan jati diri sebagai sebuah bangsa yang beradab.
''Kedaerahan yang Indonesiawi''. Kemampuan menggali budaya lokal, mampu mengukur kemampuan potensi lokal, dalam skala frame pemikiran untuk akselerasi kemajuan nasional. Time is money bukan berasal dari budaya kita. Jika money adalah ukuran keberhasilan, maka kita harus mendefinisikan kembali konsep itu yang sesuai dengan akar budaya kita. Katakanlah money sama dengan laba (profit dan benefit).
''Laba ekonomi tidak menghilangkan laba kemanusiaan, laba sosial, dan laba budaya''. Kemapanan ekonomi yang hilang kemanusiaannya akan menimbulkan iri dan dengki. Keuntungan ekonomi yang melupakan nilai sosialnya akan menimbulkan kesenjangan dan keresahan. Keuntungan ekonomi yang meninggalkan budaya akan mereduksi manusianya menjadi manusia yang tak lagi mengenal kemesraan, kebersamaan, dan etika. Manusia yang hanya terdefinisi dari jumlah uang yang ia miliki.
''Waktu adalah laba, jika waktu tak pernah terbuang sia-sia''. Meredefinisi arti kerja keras dan memberi ruang lebih luas pada proses-proses positif, kreatif, kadang tidak berhubungan langsung dengan proses ekonomi.
''Keringat adalah laba, jika tak satu tetes keringat pun tersepelekan''. Ketika setetes keringat dihargai, semua manusia berhak memiliki harga dirinya dari usahanya, bukan karena status sosialnya atau penghargaan yang pernah didapat.
Sikap adalah laba, jika berlaku kesadaran bahwa tidak ada hal terlalu remeh untuk dilakukan, sekecil apa pun itu. Membangkitkan budaya saling menghargai. Tak ada hal yang dianggap sepele dan tak ada yang punya hak untuk menyepelekan apa pun dan siapa pun.
''Keadilan adalah laba''. Pentingnya fairplay untuk menjamin kesetaraan kesempatan. Sudahkah kita mendomestikasi demokrasi? Ataukah demokrasi masih ''binatang'' liar di negeri kita? Atau mungkin demokrasi perlu diberi ''bumbu'' untuk menjadi ''barang dalam negeri''.
''Kebebasan berbicara dengan dilandasi kesantunan berbangsa''. Sopan santun akan memberi filter agar sebuah pesan yang disampaikan tidak menimbulkan ketegangan secara bahasa sebelum dicerna substansinya. ''Kebebasan berpendapat dengan dilandasi kemaslahatan bersama''. Seringkali kebebasan berpendapat digunakan untuk mengakomodasi perseteruan personal. Kita dipaksa menjadi penonton ''pertarungan politik'' yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan bersama. Nilai ini akan memberi pagar pada hal-hal seperti itu.
''Kebebasan berekspresi yang mengekspresikan Indonesia''. Banyak nilai yang bisa kita anut. Banyak deklarasi yang bisa kita teriakkan. Tapi pertanyaan fundamentalnya adalah seberapa teguh konsistensi kita untuk bisa terus bertahan pada sebentuk nilai, minimal sampai titik waktu tertentu yang akan membawa perubahan yang mendasar. Sambil memastikan bahwa nilai-nilai ini tertular pada generasi penerus kita.
Saya tidak berpendapat bahwa itu semua ada manfaatnya bagi siapa pun, tapi minimal saya bisa menghibur hati kecil saya sendiri bahwa ''tuan''-nya ini mau belajar menjadi manusia dan mencoba ''menjadi sebuah generasi''. (*dimuat di majalah Gatra, edisi 14 no 28)