Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
KALAU tema maiyahannya soal keprihatirian terhadap nasib hutan seperti yang pernah dialami Kiai Kanjeng di Blora, Bojonegoro, dan lain-lain, yang melingkar ya para blandhong, sahabat - sahabat perhutani, pengusaha-pengusaha kayu, Pemda, Polres, Kodim, LSM, ulama-kiai-ustadz, dan siapa saja sesepuh masyarakat. Dalam memaiyahi hutan, diupayakan akad untuk sesegera mungkin menghabiskan menggunduli hutan, atau sebaliknya: memulai bersama melindunginya, melalui berbagai langkah kultural, birokratis, dan strategis.
Kalau maiyahannya soal pelacuran, di Dolly umpamanya, (beberapa tahun yang lalu Kiai Kanjeng pernah pentas di sana dan guyon sama WTS-WTS), ya yang melingkar utamanya teman-teman yang disebut wanita tuna susila. Terus ayyuhal-ghoroomiy alias germo-germo. Kalau bisa Muspida setempat, teman-teman relawan sosial, pemuka-pemuka agama, dan yang tak kalah penting pengusaha-pengusaha yang manusia.
Melacurkan diri itu salah atau benar tak usah menjadi bahan diskusi Maiyah. Sejak sebelum ada Nabi Adam, sudah ada kesimpulannya dan semua makhluk sepakat -wong ketika Tuhan mau bikin manusia saja Malaikat ngenyang: "Apakah Allah akan menciptakan manusia, yang toh kerjanya bikin kerusakan di bumi, termasuk merusak dirinya sendiri, serta menumpahkan darah...
Soalnya Malaikat sudah punya referensi: dulu manusia (yang diselidiki Darwin) itu kerjanya ` merusak dan akhirnya musnah sendiri. Kemudian, Tuhan mau bikin lagi dan dimulai Adam: Malaikat gelisah hatinya dan cemas.
Yang menjadi tema utama Maiyah adalah dua kenyataan. Pertama, tidak ada wanita yang sejak awal memang bercita-cita menjadi pelacur. Tidak ada gadis berdebar-debar hatinya membayangkan alangkah indahnya kalau bisa menjadi tuna susila, sehingga berdoa "Ya Allah, jadikanlah aku wanita tunasusila. Fa ila hadzihiu'niyyah assholihcih alfaaaatihah....
Kedua, tidak ada wanita tuna susila yang meningkat kariernya dan sampai ke puncak. Perawannya seharga setengah juta rupiah, kemudian mulai dinas dan harganya jadi 600 ribu rupiah, terus meningkat sampai sejuta, dua juta, tiga juta.
Tidak ada pelacur yang makin lama makin cantik, makin seksi, makin segar, makin kemelon. Sebagaimana semua makhluk, jasmaniyahnya diikat oleh hukum keausan. Makin lama makin aus, keriput, melorot, tua, karena gardu terdekat masa depannya adalah kematian.
Maka, harus dimaiyahkan agar setiap tuna susila kita pandu bersama untuk memiliki pengetahuan masa depan dirinya sendiri. Sampai berapa tahun lagi ia akan bisa bertahan. Kemudian, bersikap tegas dan realistis bahwa sekian tahun lagi dia, mau tidak mau, sudah harus berhenti. Untuk itu, sejak sekarang ia perlu mempersiapkan keterampilan untuk kelak menggantikan pekerjaannya yang sekarang. Pak Kiai, Pak Ustadz, Pak Pastor, Pak Pendeta , Pak lurah, dari Camat, semua pihak bermaiyah mengantarkan para wanita itu mempersiapkan diri menuju masa depan yang realistis.
Ini berlaku tidak hanya untuk orang-orang yang melacurkan jasmaninya. Tetapi,juga berlaku untuk siapa saja yang menjual nilai, menjual demokrasi dan reformasi, menjual amanat rakyat, menjual kesucian tangan rakyat ketika mencoblos di Pemilu, menjual negara, menjual harga diri manusia. dan bangsa.
Para pelacur politik Indonesia hari-hari ini juga sedang memasuki salah satu fase puncak keausan dan pengausan. Siapa saja yang terkoptasi dan terkontaminasi segera akan menjumpai dirinya aus sebentar lagi.
Sabtu, 10 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar