suporter

Rabu, 07 Mei 2008

THE NATION OF TEMPE

Ada yang bilang, ketika Raja demak Sultan Trenggono menyerbu
Pasuruan lewat laut jawa, armada beliau beranggotakan tak kurang dari 800,000 prajurit yang diangkut dengan ribuan kapal.
Mungkin jumlah itu tidak `shahih` . Mungkin `perawi` sejarahnya agak
ngawur. Tapi, yang jelas setidaknya ada berpuluh - puluh kapal dengan
muatan beratus ratus manusia.

Yang menjadi pertanyaan Jon Parkir ialah bagaimana `sistem dapur`
kapal itu selama berbulan - bulan dalam perjalanan? Kan belum ada kompor.
belum ada makanan kalengan. Apa mereka bikin ratusan `pawon (dapur) kayu
bakar di setiap kapal supaya pendekar demak lancar makan minum ?
Maka alkisah kitab bab ketiga belas literatur mengenai peradaban jawa
memuat penjelasan mengenai hal itu. kabarnya ada ide bikin makanan pampat
dari tempe. entah diramu dengan apa dan bagaimana cara bikinnya, tapi
pokoknya dihasilkan butiran - butiran super tempe kecil yang sekali
telan bisa berkhasiat sepiring nasi dan lauk pauk.
Tapi apa hiya ? Pak sartono Kartodirjo yang bisa menjawab dengan
argumentasi yang reepresentatif.
Namun yang jelas, tekonologi makanan yang berkembang subur sejak
jaman Majapahit, dimana Nusantara digarap secara maritim, pada akhirnya
tak menemukan relevansinya sesudah Kerajaan jawa berorientasi ke
pedalaman: Pajang dan Mataram. Sedemikian rupa, sehingga kita hanya
mengenal tempe tidak terutama pada kedudukannyasebagai lambang
kecanggihan peradaban bangsa kita.
`God knows better. Wallahu'alam`. seperti juga kalau kita bertaoya
apa alat rekat batu - batu candi Borobudur? Apa semen bangunan megah dari
masa silam?
Ada juga yang bilang kulit batang pisang yang kering , kalau
direndam pakai garam , bisa amat kuat dan bisa dibikin semacam tas kulit.
(secangkir kopi jhon parkir)

Wirid dan Kerjakeras



Tanah tanpa tanaman itu omong kosong, tahayul atau klenik. Manusia yang tidak mengakarkan dan menumbuhkan tanaman di atas tanah, akan hanya menjadi manusia hutan belantara yang hidupnya bergantung pada tanaman sunnah (tradisi penciptaan) Allah.

Hidupnya sudah produktif, tidak kreatif, tidak inovatif, dan itu artinya tidak setia kepada daya kerja dan kewajiban menggerakkan kehidupan yang berasal dari Allah.

Tanaman yang ditumbuhkan hanya di pot atau tabung yang memisahkan hubungannya dengan syariat bumi, alias hanya mengeksploitir bumi itu dengan hanya mengambil beberapa jumput tanah untuk ditaruh untuk ditaruh di dalam pot itu - juga tidak akan menemukan daya guna maksimal dan potensialitas alam.

Dengan batas 'kosmologi' pot itu manusia jadinya juga memutuskan hubungan dengan sumber, sehingga tidak akan tercapai pula titik tuju kehidupannya. Ia bersikap a-historis terhadap sejarah eksistensi kehidupannya, serta berlaku tidak ilmiah terhadap kenyataan dirinya.
Ia akan hanya memperoleh sukses yang palsu, kemajuan yang menjebak hari tuanya, produk yang temporer dan tidak sejati, dan akhirnya penyesalan menjelang maut.

Kita tidak ikut memperjuangkan proses kelahiran diri kita, sehingga tanggung jawab kita kepada diri kita sendiri secara alamiah cenderung kalah mendalam dibanding tanggung jawab Bapak kita atas diri kita.
Tapi karena Ibu-lah yang lebih menghayati kesengsaraan dalam melahirkan kita, maka tanggung jawab Ibu atas hidup kita lebih mendalam dibanding tanggung jawab Bapak, dan terlebih lagi dibandingkan dengan kadar tanggung jawab kita atas diri kita sendiri.
Namun demikian tanggung jawab siapapun atas diri kita tidak ada sejumput debu dibanding besarnya, agung dan setianya tanggung jawab Allah atas kehidupan kita. Karena peranNya dalam proses penciptaan dan pelahiran atas kita sama sekali jangan dibandingkan dengan peran Ibu Bapak kita.

Allah sangat konsisten, setia, mesra dan amat bertanggung jawab terhadap nafkah kita, rejeki kita, kesejahteraan kita, keselamatan dan kebahagiaan kita.
Indahnya tanggung jawab Allah itu akan sangat tampak jelas di mata ilmu kita dan kesadaran batin kita apabila pola pandang yang kita pakai dalam menilai apapun saja yang kita alami ini - berperspektif dunia akhirat, bukan hanya melalui kalkulasi dan atau berskala dunia saja atau akhirat saja.

Wirid yang kita lakukan ini berfungsi dialektis.
Pertama, ia merupakan wujud tanggung jawab kita kepada kemurahan Allah atas kehidupan kita.
Kedua, wirid itu sendiri merupakan salah satu 'perangsang' bukti tanggung jawab Allah atas hidup kita.
Semakin kita mewiridkan kekuasaan dan cintaNya di sisi kerja keras kita setiap hari, semakin Allah menunjukkan bukti tanggung jawabNya.

Sesayang-sayang Bapak dan handai tolan kepada kita, jangan pernah dipertandingkan melawan rasa sayang Allah kepada kita.
Secinta-cinta Ibu dan sanak famili kepada kita, jangan pernah dikompetisikan melawan kadar cintaNya kepada kita.
Ada perhubungan cinta segitiga, antara Allah SWT, Rasulullah Muhammad SAW dengan kita. Akurasi dan maksimilitas kabulnya doa kita dan suksesnya kerja keras kita, sesungguhnya minimal berbanding sejajar dengan frekwensi dan kedalam wirid kepada Allah dan RasulNya, maksimal satu wirid menjadi tujuh batang pohon barokah, di mana dari setiap pohon barokah itu terlahir seratus buah pada masing-masingnya.

Saya mengajak Anda semua pergi ke sawah lantas mencangkulnya dan menanaminya dengan kemajuan hidup dan bukannya pergi ke sawah untuk duduk bersila dan berwirid dengan harapan tanaman akan tumbuh dengan sendirinya.
Sambil bekerja keras atau disela-sela kerja keras itulah kita berwirid.
Dengan tujuan, pertama wirid itu akan merabuki tanaman kita sehingga berbuah barokah, dinamis, investatif, produktif dan menyimpan rejeki-rejeki tak terduga.
Kedua, kita sama sekali tidak mampu menjamin bahwa kita akan terus sukses, terus 'berkuasa' atau terus 'punya' ini itu. Dalam hal itu tradisi wirid akan menghindarkan kita dari keterjerembaban ke titik terendah dari kehidupan alias kondisi faqir.
"Wirid Padang Bulan"

Tidak ada komentar: