suporter

Jumat, 25 April 2008

Bagaimanapun Manusia Itu Ahsani Taqwim

Bagaimanapun Manusia Itu Ahsani TaqwimSebagaimana rutin, Mocopat Syafaat 17 April 2008 mengulas
pelbagai topik krusial dan mendasar. Selain Cak Nun dan Pak Harwanto Dahlan,
hadir malam itu Mas Andre Dukun dari Kenduri Cinta Jakarta, Pak Fajar Suharno
teater Dinasti, Indra Tranggono koordinator projek pementasan Menyongsong
Garuda Sejati
-nya Dinasti, Kiai Budi Hardjono beserta rombongan, Mustofa W.
Hasyim yang membacakan puisinya Legenda Negeri Korupsiana, dan tentu
saja KiaiKanjeng alias Pak Novi Budianto dkk.


Mengawali acara, Pak Harwonto memberi pengantar bagi Mas Andre yang diminta Cak Nun untuk menceritakan illegal logging atau pembalakan liar hutan di Ketapang Kalbar beberapa waktu lalu di mana Cak Nun dan KiaiKanjeng ikut melakukan sejumlah hal di sana. Pak Harwanto menyampaikan bahwa 80 kapal per hari mengangkut kayu-kayu dari hutan kita dibawa ke luar negeri dengan nilai Rp 400 miliar per hari. Nilai sebesar itu cukup didapat dengan membayar 120 juta rupiah ke petugas. Malangnya lagi, tidak ada responsibility secara internasional. Karena itu, Dosen HI UMY ini sempat khawatir kalau selebritis jadi pejabat publik jangan-jangan mudah "dipakai" karena minimnya pengalaman di hutan rimba birokrasi.


Pembalakan Liar di Ketapang Kalbar


Bagaimanapun Manusia Itu Ahsani Taqwim
Sementara itu, jika ada istilah memancing di air keruh, Mas Andre mengibaratkan apa yang dikerjakan Cak Nun-KiaiKanjeng dan sejumlah aktivis KC di Ketapang itu sebagai menjernihkan air keruh supaya mudah memancingnya. Seperti diketahui, Menhut MS Ka'ban meminta Cak Nun dan KiaiKanjeng untuk membantu mengatasi pembalakan liar di Kalbar, bahkan rencananya ke tempat-tempat lain di Indonesia. Sebelum ke sana, Cak Nun menerjunkan beberapa aktivis KC (Arya Palguna, M. Ikhwan Ridwan, Roni Oktavianto, Mathar, Andrie Sis) ke lokasi untuk mempelajari medan, melakukan lobby dan riset. Mereka mencoba mempelajari kultur dan sejarah Ketapang, serta melakukan persiapan-persiapan acara Cak Nun-KiaiKanjeng. Seperti dilaporkan kepada manajemen Cak Nun-KiaiKanjeng, kedatangan Menhut dan Cak Nun-KiaiKanjeng membuat panik cukong-cukong yang selama ini ikut bermain di sana.


Pada saat acara berlangsung, 2 April 2008, dengan tajuk Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, sejumlah tokoh sosial-adat dan pejabat publik hadir. Uniknya, salah satu yang dilakukan Cak Nun di situ adalah mempersilakan semua hadirin yang datang untuk mengirim SMS ke sebuah nomor yang disebut berulang-ulang. Mereka diminta melaporkan apa dan siapa yang mereka curigai terlibat dalam illegal logging. Ajaib, dalam waktu yang tak lama, puluhan SMS masuk, dan jadilah itu semua data amat penting bagi upaya mengatasi masalah pembalakan hutan. Hari-hari itu juga, pihak Mabes Polri dipimpin Kapolri Jenderal Sutanto turun langsung melakukan inspeksi dan diikuti penangkapan sejumlah pejabat yang diduga terlibat.


******

Usai Mas Andre, Giliran Pak Fajar Suharno dan Indra Tranggono. Intinya, mereka berdua meminta doa dan dukungan bagi persiapan pentas Menyongsong Garuda Sejati. Saat ini seminggu tiga kali mereka melakukan latihan. Di luar tema Dinasti, menariknya, Indra Tranggono malah mengomentari Pak Harwanto Dahlan. Diceritakan oleh cerpenis dan pengamat kebudayaan Yogya ini, bahwa almarhum Pak AR Fahruddin yang juga ulama dan pernah menjabat ketua umum Muhammadiyyah, adalah sosok yang sangat kultural. Dalam menjawab pertanyaan misalnya, Pak AR sangat cerdas dan diplomatis. Bahkan konon, pernah beliau bermaksud membuat SIM. Semua tahap tes diikuti, tes tulis maupun lainnya. Saat tes mengendarai motor, semua materi uji dilakukan, kecuali ketika beliau diminta mengendarai motor dengan membentuk angka delapan. Beliau tidak mau. Sewaktu ditanyakan oleh petugas, dijawablah, "Saya nggak pernah mengendarai motor dengan angka delapan". Dan kisah-kisah lainnya. Melihat kecerdasan humoris-kultural Pak Harwanto, Indra Tranggono berharap Pak Harwanto bisa menjadi sosok dan tokoh Muhammadiyyah yang kultural sebagaimana almarhum Pak AR. Fahruddin.

Kira-kira pukul 23.00, Cak Nun baru naik ke panggung. Merespons soal Dinasti, Cak Nun menegaskan bahwa pentas tersebut puncaknya adalah soal Indonesia tetapi berangkatnya dari asal-usul manusia. Pentas itu bukan cuma perkara teologi, kosmologi, dan budaya, tetapi bahkan juga menyangkut masalah uluhiyyah. Kemudian, Cak Nun juga menjelaskan bahwa maiyah sekarang sedang jadi kereta api yang tak ada remnya, terus melaju untuk sampai ke turning point. Artinya, maiyah dan Cak Nun-KiaiKanjeng sedang diperjalankan untuk ikut mengatasi aneka masalah di Indonesia. "Apa yang sedang dilakukan KPK itu hanya satu gejala menuju turning point itu," tandas Cak Nun.

Setelah itu, Cak Nun berbicara tentang ilmu kehidupan yaitu merohanikan materi. Misal uang. Pernah Cak Nun sewaktu di Malang mau beli jagung bakar, tetapi uangnya tidak cukup untuk orang sebanyak 46. Cak Nun ceritakan kondisi itu ke penjualnya yang kebetulan orang Madura. Si penjual mempersilakan Cak Nun untuk ambil 46 biji jagung bakar, walaupun uangnya kurang. "Tetapi harganya tetap," berulang-ulang si penjual menegaskan. Ketika calon pembeli itu makin tidak paham, si penjual menjelaskan maksudnya,"sedangkan kekurangannya biar jadi tabungan saya di akhirat. Kalau harga saya turunkan, saya nggak punya tabungan akhirat." Dengan cerita itu Cak Nun mengatakan bahwa merohanikan uang adalah menemukan nilai shodaqah dengan cara mengubah niat.



Teno, salah seorang jamaah, bertanya kepada Cak Nun tentang meng-emas-kan ilmu melalui sikap. Juga Sunadi bertanya tentang puisi Haru Biru Kekasihku karya Cak Nun yang termaktub dalam Seribu Masjid Satu Jumlahnya, yang mengisahkan inisiatif malaikat untuk menolak atau mempertanyakan rencana Tuhan menciptakan manusia yang menurut pengetahuan mereka pekerjaannya adalah menumpahkan darah di muka bumi. Tetapi Tuhan tetap pada rencananya dan mengatakan "Aku lebih mengerti...."

Kemudian Cak menuturkan bahwa sewaktu Nabi Ibrahim akan dibakar, beberapa malaikat datang menawarkan bantuan untuk melemparkan gunung, meluapkan air samudera, mengirim angin badai kepada Raja Namrud. Atas tawaran malaikat-malaiakat itu, Ibrahim menanyakan apakah itu kemauan mereka atau kehendak Tuhan. Bagi Ibrahim, apa saja yang terjadi asalkan kehendak Allah, tak ada masalah. Sikap mandiri dan keberanian Ibrahim itu direspons Allah dengan qul ya naaru kuuni bardan wa salaaman.

Begitu pula tatkala Nabi Muhammad hijrah ke Thaif dan dilempari batu oleh orang-orang kafir, para malaikat tak tahan diri dan menawarkan bantuan. Nabi Muhammad tidak menanyakan apakah itu kehendak Allah atau malaikat melainkan langsung berdoa allahummahdi qaumi fa innahum la ya'lamun. Karena itulah Muhammad lebih tinggi penyikapannya dari Ibrahim.

Puncaknya Cak Nun menyitir ayat al-Quran laqad khalaqnal insana fi ahsani taqwim tsumma rodadnahu asfala safilin. "Siapa subjek kalimat dalam ayat itu? Jawabnya adalah: Allah. Yang menciptakan manusia dalam ahsani taqwim adalah Allah dan yang merendahkan dengan serendah-rendahnya adalah juga Allah.... Jadi subjeknya adalah Allah. Semua itu (kejadian yang kita alami dll) berlangsung atas izin Allah. Mengizinkan tidak sama dengan merekayasa, menciptakan atau memerintahkan. Melihat ayat itu, saya sangat optimis, karena subjeknya adalah Allah. Anda datang ke sini termasuk bagian dari illal ladzina amanu wa amilus shalihati falahum ajrun ghoiru mamnun (yang merupakan kelanjutan ayat tersebut)...seluruhnya atas izin Allah. Berapa persen peran manusia, itu urusan ilmu. Tapi bagaimanapun manusia itu ahsani taqwim. Saya karena itu optimis," tegas Cak Nun.

Bagaimanapun Manusia Itu Ahsani Taqwim
Ayat tadi menjadi landasan Cak Nun untuk bersikap optimis dalam menyikapi situasi nasional Indonesia yakni kondisi bangsa yang sesungguhnya adalah burung garuda tetapi selama bertahun-tahun telah menjadi masyarakat emprit yang lupa asal-asul ke-garuda sejati-annya.

"Kemudian untuk Teno. Yang bekerja itu bukan hanya Allah dan kita, ada makhluk-makhluk lain yang juga bekerja. Malaikat itu secara empiris boleh berinisiatif, asal tidak melanggar konstitusi dasarnya yaitu ya'maluna ma yu'marun. Mengatasi malah bisa dengan cara mengubah cara pandang terhadap masalah itu. Ini juga sekaligus ilmu memelihara ketenangan. Atau dengan rasa sayang kita menyatakan terima kasih kepada Allah, sehingga argumentasi jadi tidak penting," urai Cak Nun.

Lalu Cak Nun mengajak jamaah pelan-pelan berpikir dan memasuki cara pikir yang jarang dilakukan orang. "Apa sebab pemimpin harus tanggung jawab pada rakyat. Karena ada perhubungan hak dan tanggungjawab. Tuhan adil tidak? Anda ragu Tuhan adil atau tidak? Tuhan anda tuntut adil? Anda merasa Tuhan harus adil! Apa yang mengharuskan Tuhan harus adil. Tuhan harus adil itu kan harusnya karena ada perhubungan hak dan tanggungjawab dengan kita. Apa Tuhan harus adil? Baik? Demokratis? Sopo sing ngarani ngono? Apa harus adil? Apa salah Dia padamu? Pada posisi apa Tuhan harus adil pada kita. Kalau Dia adil itu bukan karena harus adil, tetapi karena cinta. Dia berhak apa saja. Dia berhak apa saja, adil atau tidak adil. Posisi kita tidak menuntut, melainkan melakukan segala upaya supaya Allah cinta. Jalan praktis menuju Allah itu cinta. Kalau sudah cinta, nggak ada hitungan. Untuk tenang dan waspada, lakukanlah apa yang membuat Allah cinta, jangan tuntut Allah," panjang lebar Cak Nun mengajak kita berpikir lebih mendalam.

"Di Thaif itu, Nabi tidak marah. Beliau mengambil shortcut La ubali (tidak pateken) asal Allah tidak marah. Di sini ilmu jadi tidak penting, karena semua menjadi persembahan (kesedihan dll). Ilmu diperlukan dalam situasi normal. Shortcutnya adalah cinta. Semua jadi setoran kepada Allah. Karena Allah juga mengajarkan rahman rahiim mencintai dulu baru dicintai. Kepada manusia Allah itu robbun (pemelihara) dulu baru ilah (individual). Robbun hurufnya ro' dan ba', bentuknya melengkung seperti perahu bersifat menampung. Jadi huruf-huruf al-Quran sudah diperhitungkan, penuh makna," papar Cak Nun.

Begitulah para jamaah malam itu sangat mendalam mengkaji topik-topik yang sedang aktual dilapisi sikap dan wacana spritual yang kuat, liar, menukik, tetapi dengan out put keadilan persepsi terhadap Allah dan persoalan manusia. Jadi lebih indah majelis itu, lantaran KiaiKanjeng mempersembahkan menu sholawat yang indah, di antara allahumma sholii ala Muhammad dan shalawat badar. Hingga dini hari baru usai majelis itu, tanpa terasa...tanpa terasa.[]

Tidak ada komentar: