Minggu, 20 April 2008 lalu, Cak Nun memandu pertemuan antara GKLL (Gabungan Korban Lumpur Lapindo) dengan MLJ (Minarak Lapindo Jaya) di Hotel Shangri-La Surabaya. Hadir dari pihak MLJ adalah Andi Darussalam Tabussala, Wiwid Prasetyo, Faishol Maskoer, dll dan dari pihak GKLL adalah Joko Suprastowo, Khoirul Huda, Bambang Sakri, Mulyono, dll.
Pertemuan ini dimaksudkan untuk mencari solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi kedua belah pihak, terkait dengan kontroversi hukum pembelian tanah dan bangunan oleh MLJ kepada korban lumpur. Teknisnya, Cak Nun meminta agar masing-masing saling mendengarkan. Presentasi GKLL didengarkan MLJ, dan begitu pula sebaliknya.
Pada kesempatan pertama, Khoirul Huda mengutarakan dengan sedikit mereview perjalanan Perpres no 14 tahun 2007 pasal 15. Juga disampaikan adanya sedikit kendala hukum, yang walaupun demikian telah dijawab oleh petunjuk teknis dari BPN yang menjelaskan empat mekanisme jual-beli tanah bangunan oleh Lapindo kepada korban lumpur. Namun, petunjuk BPN ini masih dianggap oleh notaris terkait sebagai bertentangan dengan UU Agraria tahun 1960 pasal 26.
Mengawali pembicaraannya, Andi Darussalam berharap Cak Nun bisa mempertemukan dengan Badan Pertanahan Nasional dll. Andi juga meminta warga korban untuk memberikan solusi bagi hambatan tersebut di luar tawaran solusi Minarak yaitu resettlement. Andi juga menegaskan bahwa Pak Nirwan tidak ingin di daerah (Sidoarjo) ada yang tidak lebih baik dari kemarin-kemarin.
Kemudian Cak Nun mengawali panduannya dengan menyampaikan sebuah tulisan berjudul Amsal Lumpur (baca Pojok Lumpur: Amsal Lumpur). Intinya, tulisan ini mengajak semua pihak untuk meletakkan diri bukan sebagai orang yang mau menerima uang, melainkan sebagai orang-orang yang berpikiran ke depan, di antaranya dengan memiliki konsep pembentukan masyarakat baru Sidoarjo.
Dalam pertemuan itu, MLJ juga mempresentasikan plan kawasan Kahuripan Nirwana yang rencananya ditawarkan kepada korban lumpur yang mau membeli. Kawasan ini terdiri atas 7 wilayah di Sidoarjo, yang dilengkapi berbagai sarana umum (sekolah, pesantren, kawasan bisnis, dll). Terkait dengan plan ini, Andi juga mengatakan bahwa niat Pak Nirwan ini adalah niat mulia, karena Pak Nirwan ingin dikenang sebagai orang yang bertanggung oleh masyarakat Sidoarjo.
Walaupun Cak Nun tidak bisa menjamin apa-apa dengan semua itu, Cak Nun mengapresiasi niat baik pihak Pak Nirwan bahwa MLJ semestinya meletakkan concern pada skala yang luas, warga tak cuma terima uang, tetapi juga memikirkan masa depan ekonomi. Karena itu Cak Nun juga meninta agar sore itu warga juga diajak melihat lokasi perumahan Kahuripan Nirwana dengan prinsip MLJ boleh menawarkan, dan korban boleh menerima boleh tidak.
Pada perkembangannya, pertemuan ini berjalan deadlock, karena beberapa warga masih mempertanyakan banyak hal kepada MLJ. Namun, di sela-sela memandu dan merepson pertanyaan warga Cak Nun menyisipkan sejumlah pandangan ke depan yang visioner. Bahwa MLJ mengajak diskusi warga itu merupakan hal yang tidak pernah dilakukan perusahaan-perusahaan lain. Artinya warga diajak terlibat.
Cak Nun juga menjelaskan, "masyarakat itu pilihannya adalah dilindas atau tidak oleh industrialisme. Sidoarjo cepat atau lambat akan jadi metropolitan. Hari ini Anda dilibatkan.... Saya berpikir Anda harus punya jurus.... Kalau tidak seperti itu anda akan jadi tamu di Sidoarjo. Nah Anda diajak dan diberi bargaining power...."
Karena masih banyak pertanyaan yang silang sengkarut, di antara ada yang bertanya letter C/petok D itu duluan mana dengan SHM, korban mau dibayar atau tidak, kalau iya bagaimana caranya, hakikat jual-beli, dst, Cak Nun segera menutup pertemuan itu.
******
Namun demikian, usai pertemuan itu, Cak Nun, MLJ, dan GKLL tetap bersama-sama melihat salah satu lokasi Kahuripan Nirwana yang sudah dimulai proses pembangunannya. Malamnya, pertemuan yang deadlock itu dilanjutkan di Hotel Elmi Surabaya. Dalam pertemuan itu, seperti dilaporkan Khoirul Huda, didapat beberapa keputusan penting dan titik terang.
Keputusan tersebut adalah, pertama, sertifikat akan dibayar tunai. Kedua, petok D dan letter C, karena bertabrakan dg UUPA 1960 pasal 26, maka mekanisme pembayarannya sebagai berikut:
a. tanah dibayar tanah sesuai luasan dalam surat.
b. Bangunan dibangunkan sesuai dengan permintaan, jika ada sisa luas bangunan akan diberikan susuk.
c. 20% yang sudah diterima warga tidak diperhitungkan (diberikan kepada warga).
d. warga dapat mengembalikan tanah tersebut ke MLJ dan akan dibayar tunai sesuai tanggal perjanjian.
Ketiga, MLJ akan mendahulukan warga yang tergabung dalam GKLL.
Jumat, 25 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar