Kamis, 20 Maret 2008
akhlak muhammad (maulid nabi 12 rabiul awal 1429)
Jika Engkau Memaafkan
Ada seorang teman bernama Abdullah ibn Ubay, yang kerjanya tiap hari --benar-benar tiap hari: mengejek Muhammad SAW, menyindir-nyindir, melecehkan, dan menghinanya. Itu berlangsung sepanjang hidup Muhammad SAW. Atas keadaan ini, bikinlah sayembara: siapa pun yang bisa menemukan satu kata saja balasan ejekan atau hinaan dari Muhammad SAW, apalagi kemarahan dan tindakan kekerasan --boleh diambil dari bahan sejarah yang mana pun, dari buku hadis, sunah Rasul maupun sirah Rasul-- mari kita urunan untuk memberi hadiah kepada yang bisa menemukannya. Termasuk tak ada satu kata buruk pun dari mulut Muhammad SAW atas orang-orang kampung Thaif yang mengusirnya dan melemparinya dengan batu hingga berdarah.
Allah sendiri memberikan acuan moral yang jelas kepada setiap orang yang dianiaya. Ia secara yuridis berhak melakukan hal yang sama, tak boleh lebih, kemudian dikunci oleh-Nya dengan keindahan: "Jika engkau memaafkannya, itu lebih baik di hadapan-Ku."
Muhammad SAW adalah manusia jelata (ia menolak menjadi mulkan-nabiyya atau nabi yang raja, dan memilih menjadi 'abdan-nabiyya, yakni nabi yang rakyat jelata) yang amat sengsara selama hidupnya, juga disengsarakan sesudah matinya, bahkan sampai berabad-abad sesudah itu. Fitnah dan kesalahanpahaman publik adalah menu utamanya. Panjang rumahnya 4,80 cm, lebarnya 4,62 cm. Allah tak mengizinkannya sekadar untuk punya satu anak lelaki, kecuali si Qosim yang diambil oleh-Nya kembali di masa kanak-kanaknya. Menantunya dibunuh orang. Kedua cucunya juga. Cucu pertamanya diracun oleh istrinya sendiri, ketahuan olehnya, ia memaafkannya, kemudian besok paginya diracun lagi dan meninggal. Cucu yang kedua bukan hanya dibunuh, tapi kepalanya diseret dengan kuda sejauh ratusan kilometer, sehingga kuburannya di dua tempat.
Muhammad SAW amat suka kambing bakar, khususnya kaki depan sebelah kiri. Dan kaki itulah yang dipanggang oleh Zaenab, seorang wanita Yahudi, dilumuri racun dan disuguhkan kepada beliau. Tubuh Muhammad SAW panas parah karena itu, dirawat di rumah Maimunah, tapi kemudian beliau meminta pindah opname di rumah Aisyah. Sebab Maimunah masih familinya sendiri, sehingga orang-orang yang bukan keluarganya tidak bebas membesuk beliau. Dengan pindah ke rumah Aisyah, maka semua golongan, parpol, ormas, lain agama dan aliran, punya peluang yang sama untuk menjenguk beliau.
Mencicipi Kesengsaraannya
Ini orang menjahit pakaiannya sendiri, menambal sepatunya sendiri, selama hidupnya tidak pernah makan kenyang tiga hari berturut-turut kecuali selalu ada hari-hari kelaparan. Istrinya tidak pernah bisa seminggu penuh menyuguhkan makanan secara sempurna kecuali selalu ada saat-saat panjang yang tak ada apa pun yang bisa disiapkan di meja makan rumah tangga mereka.
Jika di malam hari salat tahajud terlalu lama di masjid sehingga pulang terlambat, suami yang kalau bersuara selalu lirih dan kalau berjalan selalu menundukkan muka ini merasa pekewuh untuk membangunkan istrinya, sehingga tidur beralaskan kayu di depan pintu rumahnya.
Tentu semua gambaran kemelaratan itu bukanlah melankoli kesengsaraan. Tapi fitnah yang menimpanya sepanjang sejarah mungkin takkan tertanggungkan oleh siapa pun lainnya. Salah satu puncak kesengsaraan Muhammad SAW terkandung di balik salah satu statemennya yang penuh kedalaman duka: "Al-Islamu mahjubun bil-Muslimin." Islam ditutupi oleh kaum muslimin. Entah sedikit, entah sejumlah, entah banyak, entah kebanyakan --perilaku kaum muslimin bukan hanya tidak merepresentasikan Islam, lebih dari itu bahkan menutupi Islam. Menutupi itu melenyapkan, meniadakan.
Beribu kali saya terlibat dalam forum massa, umum maupun kaum muslimin, dan yang terindah adalah tatkala forum itu diberi judul "Memetik Kesengsaraan Rasulullah".
Beberapa kawan menanyakan, apakah saya tidak tersinggung atau marah atas karikatur di Denmark itu. Dengan sangat hati-hati saya memberikan beberapa jawaban: dengan segala keburukan dan kehinaan, saya ini amat amat amat mencintai Rasulullah Muhammad SAW. Ia manusia yang paling mencintai Allah dan paling dicintai Allah: bagaimana mungkin ada satu molekul dari hidup saya yang tak berisi cinta kepadanya. Kadar cinta saya kepada beliau membawa saya naik mabuk di atas mabuk, melayang lebih dari segala melayang, meringkuk lebih dari segala meringkuk, bahkan jauh melebihi kehidupan dan kematian saya.
Segala hinaan, ejekan, lecehan, dan cercaan, sampai tingkat sebrutal apa pun, tak akan mengurangi kadar cinta saya, 1 cc-pun. Cinta kepada Rasulullah memenuhi jiwa dan hidup saya, sehingga cinta saya kepada keluarga, khalayak, bangsa, negara, dan umat manusia: menjadi lebih indah, bercahaya, dan penuh kedamaian, di kandungan cinta kepada beliau. Sedahsyat-dahsyat penghinaan tak bisa menandingi kedahsyatan dan mutlaknya kematian, padahal cinta saya kepada beliau mengatasi hidup dan mati. Dan kalau Rasulullah tidak pernah marah, bahkan bersikap lembut dan selalu memaafkan orang yang menghinanya: bagaimana mungkin orang yang mencintai Rasulullah berani melakukan yang bukan kelembutan dan permaafan?
Juga titipan Allah melalui Muhammad SAW yang bernama Islam sangat memberi saya kecerdasan, kecerahan, kekuatan, dan ketenteraman --yang tak akan bisa seserpihkan dikurangi kadarnya oleh segala jenis penghinaan. Islam sangat memberi perlindungan dan sandaran. Islam sendiri tidak memerlukan saya, saya yang membutuhkan Islam. Bahkan, kalau boleh berterus terang, segala macam cercaan itu tidak berakibat apa-apa selain menambah senyuman saya dalam Islam dan memupuk cinta saya kepada Muhammad SAW. Penghinaan itu bahkan membantu dan menambahi tingkat tinggi maqam surga beliau.
Adapun tentang teman-teman Denmark itu, apakah engkau tidak mempelajari sejarah mereka, alam pikiran mereka, pengalaman peradaban mereka: sehingga engkau kaget oleh jenis ekspresi mereka? Atas dasar kenyataan ke-Denmark-an yang mana dan dimensi apa pada realitas alam pandang mereka sehingga engkau mengharapkan sesuatu yang bukan seperti karikatur itu? Kenapa engkau mengharapkan ayam mengembik atau mengharuskan kambing berkokok?
Pun tentang kaum muslimin yang berang, marah, naik pitam, mengamuk: kenapa engkau heran atau mengharapkan mereka tak berbuat seperti itu? Apa engkau kira mereka adalah Ali bin Abi Thalib? Berdasarkan tradisi pendidikan Islam yang mana, kebudayaan keagamaan kaum muslimin yang mana, kedewasaan, kearifan, dan kematangan kemanusiaan yang mana --sehingga engkau memprihatinkan amuck mereka?
Saya tidak akan meludahi mukamu, sebab aku tidak yakin engkau akan tidak marah juga seperti itu, bahkan dendammu mungkin akan tak pernah lenyap sepanjang hidupmu. Saya juga tak akan pernah membuat karikatur menggambar wajahmu seperti kera atau tokek, karena yang amat tersinggung pasti bukan hanya engkau, melainkan juga keluargamu, familimu, orang segolonganmu, masyarakatmu, mungkin juga bangsa dan negaramu. Kalau aku meludahi wajahmu karena demikianlah kebebasan ekspresiku, maka engkau pun menempeleng kepalaku sebab demikian jugalah kebebasan ekspresimu.
Kita gambar bersama-sama saja karikatur-karikatur cinta.
Emha Ainun Nadjib
Budayawan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar