suporter

Sabtu, 15 Maret 2008

menertawakan diri sendiri ala abunawas


Ketika masih muda, Abu Nawas pernah bekerja di sebuah toko jahit.

Suatu hari majikannya datang membawa satu kendi madu dan karena kuatir madu tersebut diminum oleh Abu Nawas, maka majikannya berbohong dengan berkata, “Abu, kendi ini berisi racun dan aku tidak mau kamu mati karena meminumnya!!!”

Sang majikan pun pergi keluar, pada saat itu Abu Nawas menjual sepotong pakaian, kemudian menggunakan uangnya untuk membeli roti dan menghabiskan madu itu dengan rotinya.
Majikannya pun datang dan sadar bahwa pakaian yang dijualnya ternyata kurang satu sedangkan madu dalam kendi juga telah habis. Bertanya dia pada Abu Nawas, “Abu!!! Apa sebenarnya yang telah terjadi..?”
Abu Nawas menjawab, “Maaf tuan, tadi ada seorang pencuri yang mencuri pakaian tuan, lalu karena aku takut akan dimarahi tuan, jadi aku putuskan untuk bunuh diri saja menggunakan racun dalam kendi itu…”.
===============================================
Abu Nawas - Yang Lebih Kaya Dan Mencintai Fitnah

Seperti biasa, Abu Nawas berjalan-jalan mengunjungi pasar. Tempat inilah yang paling ia sukai karena dari tempat ini ia dapat menyampaikan ide-idenya ke masyarakat luas secara langsung.

Tiba-tiba ia berdiri di suatu tempat yang cukup tinggi untuk di dengar seluruh orang di pasar. Dengan suara agak keras, ia mulai berpidato, "Saudara-saudara sekalian. Ada yang perlu saudara-saudara ketahui tentang Raja kita yang tercinta, Baginda Harun Al Rasyid."

Seluruh isi pasar terdiam, pandangan tertuju padanya. Orang-orang di pasar itu menunggu-nunggu kalimat berikutnya yang akan dikeluarkan oleh Abu Nawas. Melihat pandangan semua tertuju padanya, Abu Nawas semakin percaya diri.

"Kalian harus tahu, bahwa sebenarnya Baginda Harun Al Rasyid lebih kaya dari pada Allah."

Tiba-tiba bergemeruhlah suara orang-orang dipasar. Semua orang tersentak mendengar kata-kata yang keluar mulut si Abu Nawas.

"Tenang....tenang.....tenang saudara. Masih ada lagi."

Lagi-lagi seluruh orang pasar terdiam.

"Baginda kita itu, sebenarnya sangaaaaaaat mencintai fitnah."

Meledaklah lagi gemuruh orang seluruh pasar. Banyak yang memprotes omongan Abu Nawas. Tetapi si Abu Nawas nampak tenang-tenang saja tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Tiba-tiba sejumlah tangan merengut kedua lengan Abu Nawas. Tetapi Abu Nawas berusaha tetap tenang. Ia tahu itu adalah tangan-tangan dari punggawa-punggawa kerajaan. Diseretlah Abu Nawas menghadap raja Harun Al Rasyid.

Dengan muka geram, raja Harun Al Rasyid menginterogasi Abu Nawas dihadapan penasehat-penasehatnya. "Apakah benar dipasar kamu mengatakan bahwa Aku lebih kaya dari Allah?"

"Benar baginda."

Makin geramlah Harun Al Rasyid.

"Apakah benar kamu juga mengatakan bahwa aku mecintai fitnah?"

"Maaf, Baginda. Itu benar adanya," jawab Abu Nawas tenang.

"Pengawal!! Bawa Abu Nawas ke penjara. Gantung dia besok pagi."

"Tenang, Baginda. Beri saya kesempatan untuk menjelaskan apa maksud kata-kata saya itu." Abu Nawas memohon dengan wajah yang memelas.

"Cepat katakan! Sebelum kau temui ajalmu."

"Begini Baginda. Maksud kata-kata saya bahwa Baginda lebih kaya dari Allah adalah baginda memiliki anak, sedang Allah tidak dimemiliki anak. Bukan begitu Baginda?"

Harun Al Rasyid terdiam. Dia tersenyum dalam hati. "Dasar. Si Abu Nawas."

"Terus, maksud kata-katamu bahwa aku mencintai fitnah?"

"Maksudnya, bahwa Baginda sangat mencintai istri dan anak-anak Baginda sendiri. Padahal mereka dapat menjadi fitnah bagi Baginda. Bukan begitu Baginda?"

Harun Al Rasyid pun hanya bisa geleng-geleng kepala. "Lalu, kenapa kamu teriak-teriak di pasar? Yang tidak paham perkataanmu bisa marah."

"Yah, kalau masyarakat marah. Nanti kan Saya dipanggil oleh, Baginda."

"Kalau Aku sudah memanggil, memang kenapa?"

"Hmmmm....Yah...biar dikasih hadiah, Baginda," ucap Abu Nawas lirih.

Baginda pun hanya bisa tersenyum simpul. Lalu diberikannya sekantung uang dinar ke Abu Nawas.

Ada 3 anekdot dan 1 nasehat yg sangat berkesan buatku…

Tuhan Maha Adil

Di saat Tuhan sedang membuat bumi dan segala kandungannya, Tuhan dgn adil meletakkan sumber daya alam di tiap daerah. Ada tanah yg gersang tapi kandungan minyak buminya sangat melimpah. Ada tanah yg tidak subur, tapi kandungan emasnya banyak. Ada kepulauan tandus, tapi kekayaan lautnya beraneka ragam, dan lain sebagainya. Kecuali, ada 1 daerah di khatulistiwa dimana Tuhan meletakkan hampir seluruh jenis kekayaan alam di situ. Mulai tanah yg subur, hutan yg luas dgn beragam hewan di dalamnya, laut yg luas dgn isinya yg beranekaragam, kandungan minyak dan kekayaan bumi lainnya juga tersedia melimpah di sana.

Atas pengecualian ini, salah seorang malaikat memberanikan diri mengajukan “protes” pada Tuhan. Si malaikat berkata, “Ya Tuhan, mengapa Engkau tidak adil dgn meletakkan hampir seluruh jenis kekayaan bumi di tempat itu?” Tuhan pun menjawab, “Aku tahu apa yg Aku lakukan, hai malaikat. Tunggulah, aku belum menentukan manusia2 yg akan memimpin di negeri ini. Setelah itu, kau akan melihat-Ku berlaku adil.”

Tanahnya Tuhan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yg dimiliki manusia telah sangat canggih, di segala bidang. Segala hal yg saat ini masih tampak mustahil, saat itu telah menjadi hal yg biasa. Kloning manusia, perjalanan antar bintang, menghuni planet lain, sudah berhasil dilakukan manusia saat itu. Kemajuan paling mutakhir yg dicapai adalah berhasilnya seorang ilmuwan menciptakan manusia dari tanah.

Dengan kemampuan yg sudah sedemikian tinggi, sang ilmuwan tersebut merasa telah mampu menyaingi Tuhan. Dengan jumawa sang ilmuwan berkata pada Tuhan, “Hei Tuhan… lihatlah, aku sudah bisa menciptakan manusia dari tanah sebagaimana Engkau dulu menciptakan Adam. Sekarang aku juga bisa menjadi Tuhan seperti Engkau!“. Tuhan pun tersenyum dan menjawab, “Selamat, selamat… kamu memang sudah sangat pandai, wahai manusia!” Si ilmuwan tersenyum bangga. “Tapi… Aku mau tanya nih, darimana tanah yg kau gunakan untuk membuat manusia itu?”

Abu Nawas Membeli Baju

Siang itu Abu Nawas sedang susah. Satu2-nya baju yg dimiliki Abu Nawas robek besar karena tersangkut kayu pintu rumahnya sendiri. Untuk memperbaiki baju itu pun, Abu Nawas malas karena robeknya lumayan besar. Lagipula baju itu sudah sangat jelek, banyak tambalan kecil di sana-sini. Sedang untuk beli baju baru, Abu Nawas tidak punya uang. Tapi Abu Nawas -seperti biasa- tidak pernah kehilangan akal.

Sorenya, Abu Nawas pergi ke toko pakaian. Dipilihnya salah satu baju yg agak bagus dan mahal. Tapi dia memilih warna kuning yg tidak disukainya serta motif kotak2 yg norak. Dibawanya baju itu ke sang penjual. “Baju ini bagus bahannya tapi aku tidak suka warna dan motifnya, bisakah kau carikan aku alternatif lain?”

Walaupun agak pesimis melihat tampilan Abu Nawas, si penjual tetap dgn ramah menawarkan baju lain yg lebih murah berwarna putih polos, “Bagaimana kalo yg ini, Tuan? Harganya lebih murah daripada yg itu, tapi warnanya bagus dan cocok untuk Tuan.”

Abu Nawas mengambil baju tsb dan pura2 menimbang-nimbang. “Hmmm… boleh juga. Baiklah, kalo begitu aku tukar aja baju ini“, sambil meletakkan baju yg tidak disukainya, “dgn baju ini“, lanjut Abu Nawas sembari mengambil baju yg ditawarkan si penjual, “apa boleh?”

Karena si penjual tidak yakin Abu Nawas akan mampu membayar baju yg mahal itu, tentu saja si penjual dgn senang hati mengijinkan. “Tentu boleh, Tuan. Pembeli adalah raja!” ujar si penjual sambil tersenyum lebar.

“Terima kasih, tolong dibungkuskan ya“, kata Abu Nawas tanpa menawar lagi.

Si penjual pun dgn sigap membungkus baju tsb dan menyerahkannya pada Abu Nawas. “Harganya hanya dua puluh ribu rupiah saja, Tuan“, si penjual meminta uang pembayaran pada Abu Nawas.

“Loh, kenapa aku harus membayar baju ini?“, Abu Nawas pura2 protes.

“Tuan kan sepakat beli baju ini, ya harus bayar dong“, jawab si penjual, agak bingung.

“Gini ya… tadi aku kan mau beli baju kuning itu, tapi aku gak suka warnanya dan kau mengijinkan aku untuk menukarnya dengan baju putih ini“, Abu Nawas beralasan.

“Iya… berarti Tuan harus bayar baju putih ini.“

“Lah… baju putih ini kan sudah aku tukarkan dgn baju yg kuning tadi, kenapa harus bayar lagi?“

“Iya… tapi… baju yg kuning tadi juga belum Tuan bayar“, si penjual jadi agak bingung.

“Loh… kenapa aku harus bayar baju kuning itu? Kan aku tidak jadi beli itu. Kenapa aku harus bayar barang yg tidak jadi aku beli?“

“Nah, berarti Tuan bayar baju putih ini.“

“Gimana sih? Baju putih ini kan sudah aku tukarkan dgn baju kuning tadi!“

Si penjual pun kebingungan. Dengan santai dan senyum simpul, Abu Nawas meninggalkan toko pakaian dan penjualnya sambil membawa bungkusan baju putih di tangan yg diperolehnya secara gratis.

Ada yg bisa bantu si penjual pakaian?

Syarat Jadi Orang Pelit

Ini adalah nasehat dari kakekku yg tidak akan pernah aku lupakan. Saat itu aku masih kecil, masih duduk di bangku SD, kira2 usiaku sekitar 10-11 tahunan. Adikku nangis habis berantem dgnku. Gara2-nya, adikku ingin pinjam set spidol warna punyaku buat dia ngerjakan tugas sekolah, tapi aku gak meminjamkannya. Maklum, spidol warna itu baru aja aku beli 2 hari sebelumnya. Kakekku mendengar pertengkaran kami. Dgn lembut tapi tegas, kakek meminta aku untuk meminjamkannya. Dgn berat hati dan setengah takut pada kakek, akhirnya aku beri pinjam juga spidol warnaku pada adikku.

Kakek kemudian mengajakku ke ruang tamu dan menawarkan sepiring pisang goreng yg baru saja dibuat ibuku buat penganan sore hari. Kakek kemudian ngajak aku ngobrol.

“Bee… kakek mau nanya nih, kenapa tadi Bee gak ngasih pinjam spidol buat adik?“, tanya kakek.

Wah, kesempatan buat mengadu (jawa: wadul) nih, pikirku. “Gini kek… adik itu suka pelit ama Bee. Adik juga sering ngerusakin barang2 Bee yg dipinjamnya. Bee kan gak suka, kek! Makanya tadi Bee gak mau kasih pinjam spidol ke adik“, ujarku mengadu.

“Hmmm gitu ya…“, sahut kakek sambil mengunyah pisang goreng, “Kalo gitu, Bee pelit dong“, lanjut kakek. Aku hanya terdiam, waktu itu aku gak ngerasa salah bersikap pelit pada org2 yg sering merusak barang2-ku.

“Kalo Bee mau jadi org pelit boleh2 aja… tapi ada syaratnya“, kata kakek lagi. Wah… baru nih, biasanya org2 dewasa pada nasehatin aku supaya jgn pelit, tapi kakek bilang kok boleh2 aja? Kakek yg aneh, pikirku.

“Syaratnya apa, kek?“, tanyaku penasaran.

“Bee pernah lihat org meninggal yg diantar dgn dipikul org lain ke kuburan?“

“Pernah kek… waktu kapan hari Mbah Mat meninggal, Bee kan lihat waktu rombongan jenazahnya lewat depan rumah, trus ibu nyuruh Bee masuk ke dalam rumah“.

“Baguslah… Bee tau kenapa org meninggal harus diantar org lain ke kuburannya sendiri?“

“Wah… kakek pertanyaannya aneh nih… org meninggal ya jelas harus diantar ke kuburan dong, masa’ jalan sendiri? Org lain jadi takut ntar!” jawabku sambil tersenyum-senyum.

“Tapi, bisa gak org meninggal jalan sendiri ke kuburan dan gak ngerepotin org lain buat ngantar dia?“

“Ya jelas gak bisa lah, kek… namanya org meninggal, ya gak bisa gerak2, apalagi jalan. Berarti harus org lain yg ngantar ke kuburan“, jawabku dgn pede. Kakek udah pikun kali ya? pikirku waktu itu.

“Nah… itu dia syaratnya… kalo suatu saat nanti Bee meninggal dan Bee yakin bisa jalan sendiri ke kuburan tanpa bantuan orang lain, baru Bee boleh pelit. Setuju?“

“Yah… kakek, mana bisa syaratnya seperti itu. Kan gak mungkin, kek!“, aku protes.

“Ya udah… kalo syaratnya gak bisa Bee penuhi, berarti Bee gak boleh pelit. Gampang kan?“, jawab kakek.

Dgn dongkol, terpaksa aku iyakan juga “syarat pelit” dari kakek.

Waktu itu aku belum terlalu paham maksud dari “syarat” ini, maklum aku masih kanak2. Tapi seiring bertambahnya usia, aku mulai ngeh inti dari nasehat kakek di atas. Terima kasih, kek… semoga kakek saat ini bahagia di alam sana.


1 komentar:

Anonim mengatakan...

abunawas......... sebuah sindiran terhadap kita....