Judul acaranya unik: Malam Peringatan Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Diselenggarakan oleh Persatuan Muslim Dipowinatan. Acara ini berlangsung di Balai Dipowinatan Yogykakarta, 24 Maret 2008, di tengah-tengah kampung yang begitu padat. Cak Nun, Ibu Novia Kolopaking, dan KiaiKanjeng diundang hadir untuk mengisi acara itu. Dan yang spesial adalah: Letto juga datang di sana. Kehadiran mereka tentu bukan tanpa alasan.
Dipowinatan Legend
"Saya bukan tamu. Di Balai ini saya ketemu Ratmo. Dari sini hidup saya dimulai. Di sini aku ketemu ibumu, Brang," ucap Cak Nun sembari mengenang masa mudanya di kampung Dipowinatan ini. Di KiaiKanjeng, teman karib sedari dulu di kampung ini adalah Novi Budianto dan Joko Kamto. Bahkan Pak Novi asli Dipowinatan. Di Dipo ini pula sejarah teater Dinasti bermula. Bapaknya Noe ini juga mengungkapkan, "saya sebenarnya kenal musik ya dari Dipowinatan. Sampai keliling dunia juga karena musik. Jadi saya ikut kena berkah Novi Budianto putra ketua Ranting Aisiyah Dipowinatan," disambut tepuk tangan meriah hadirin.
Begitulah, acara yang juga dihadiri masyarakat Dipowinatan malam itu ada nuansa nostalgia kehidupan bagi Cak Nun dan komunitas kreatifnya. Maka beberapa persembahan dari KiaiKanjeng juga dikaitkan dengan napak tilas sejarah mereka di Dipo tempo dulu. Sebut saja misalnya penampilan musik-puisi berjudul Nyanyian Gelandangan yang dibawakan Joko Kamto dan Seteng. Puisi itu ditulis tahun 70-an di Dipo, dimusik-puisikan juga di Dipo. Narto Piul juga berkolaborasi dengan KiaiKanjeng membawakan lagu Berdekatankah Kita yang diangkat dari puisi Cak Nun juga ditulis pada masa Dinasti. Selain Cak Nun, Novi Budianto, dan Joko Kamto, para seniman yang berkreativitas dan ada history-nya dengan Dipo juga hadir: Fajar Suharno, Tertib Suratmo, Narto Piul, Godor, Jemek Supardi yang kali itu mempersembahkan sebuah pantomim, Hari Murti dll, dan tak ketinggalan Bang Fauzi Ridjal.
Meski begitu, konsentrasi utama acara ini tetaplah pada maulid Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Karena itulah, begitu naik panggung, Cak Nun mempersilakan anak-anak yang lumayan banyak itu untuk maju ke depan. Dan ketika sudah siap Cak Nun mengajak mereka bershalawat bersama-sama. Hadirin dibagi menjadi tiga. Diminta Cak Nun, kelompok pertama spontan menamai kelompoknya dengan nama kelompok Muhammad, sementara kelompok kedua juga spontan menyebut dirinya kelompok Khadidjah, seolah mencerminkan betapa cinta kepada Nabi Muhammad sudah menjadi bagian tak terpisah dalam kesadaran hidup mereka. Dan kelompok ketiga yang terdiri atas orang-orang dewasa, Cak Nun sendiri yang menamainya kelompok Abdul Muthallib. Mereka semua diajak melantunkan Alhamdulillah wasyukru lillah azka sholati wasalami lirasulillah.
Lepas itu, Cak Nun meminta waktu kepada hadirin untuk sedikit lebih khusyuk berdzikir dan bershalawat. Terlantunlah istighfar, bacaan tasbih, shalawat Ya robbi solli ala muhammad, Assalamualaika, dan Ya Thoibah yang dibaca lebih kompak dan serempak oleh anak-anak.
Kontekstualisasi Sebelum Cahaya
Tibalah giliran Letto, yang datang lengkap personelnya. Cak Nun mengantarkannya dengan kalimat, "Saya datang di Dipo, Dipo dulu rada gelap, sekarang cahaya. Minadhulumati ilan nur.... Neng nek wis cahaya (tetapi kalau sudah cahaya terang), ingatlah sebelum cahaya," disambut tawa hadirin. "Ngomong Le, ra tilang-tileng, rumangsamu gampang po nggawe kowe!" kelakar sang ayah kepada anaknya untuk memulai bicara.
"Jadi ini kesempatan saya menginterview bagaimana ayahanda pacaran dulu....", balas Sabrang kepada ayahnya sekaligus memulai pembicaraan. Sabrang bercerita tentang masa kecilnya di Dipo. Bagaimana ia belajar ke Om-omnya yang seniman semua. "dari Om Jemek, saya belajar pipis dari Jendela, dari Om Simon saya belajar tidak mandi...." kenang Sabrang yang duduk di sebelah Ibu Tirinya.
Kemudian Letto membawakan Sebelum Cahaya. Juga Ruang Rindu; Sampai Nanti, Sampai Mati, Sandaran Hati, Permintaan Hati. Sebelum melantunkan lagu terakhir ini, Sabrang menyampaikan permintaan kepada sanga ayah, “Saya minta ayah tidak terlalu kejam membolehkan saya menikah....". Kehadiran Letto malam itu sungguh membahagiakan semua hadirin, lebih dari sekadar menghibur. Tak heran jika begitu kelihatan Letto datang, anak-anak berebut untuk meminta tanda tangan.
Sementara itu, Ibu Novia juga membawakan lagu yang dulu populer dibawakannya, Asmara. Juga menyanyikan Sebelum Cahaya-nya Letto diiringi musik KiaiKanjeng tepat sesudah Letto membawakannya. Namun, Ibu Novia tak bisa berlama-lama menemani hadirin, karena harus segera pulang. Ketika pamit, Ibu Via mendapat ciuman di kedua pipinya oleh sang suami, dan saling mencium tangan. Suatu adegan kemesraan yang jarang-jarang ditampakkan di depan publik. "Mbak Via akan main sinetron lagi. Tetapi dia hanya mau sinetron yang tidak seperti sinetron pada umumnya. Yaitu sinetron yang memiliki nilai pendidikan," ujar Cak Nun.
Di Dipo, Tercetuslah Garuda Sejati
Dalam kesempatan itu, Cak Nun juga menjelaskan bahwa KiaiKanjeng akan hadir di Belanda atas undangan sejumlah kelompok Kristen di sana. Sementara Letto tahun ini akan keliling Jepang. "Suatu kebetulan. Dua negara itu adalah negara yang dulu ngurung kita," kata Cak Nun. Lebih jauh dikatakannya, "Jepang adalah orang yang awunya kalah dari bangsa kita, meski secara organisasi Jepang oke. Di dunia Barat tak ada wibawa atau awu. Hanya Indonesia yang punya awu. Kita putune orang Jawa, saya ingin kita jadi orang Jawa. Itulah arti Garuda Sejati...kita bangsa Garuda."
Dalam pandangan Cak Nun, garuda itu adalah burung yang mau terbang jauh. Karena dikurung (oleh kolonialisme dll), tak bisa ia terbang. Anaknya garuda belum tentu bisa terbang, terus hingga cucunya sudah mengerti bahwa dia adalah garuda. Maka di depan hadrin, Cak Nun mengajak semuanya untuk membangun garuda sejati. Lebih-lebih Dipowinatan ini nilainya bukan kampung, tetapi bernilai internasional. "Pluralisme sudah dari dulu ada di sini...juga orang Dipo itu jelas-jelas, jelas pilihannya..." garuda adalah analogi akan keunggulan bangsa Jawa yang baru malam itu dipakai Cak Nun. Biasanya burung emprit, atau macan. Agaknya garuda sejati menginspriasi banyak hal. Di antaranya, Dinasti dan KiaiKanjeng berencana menggelar pementasan bertemakan garuda sejati demi menyampaikan pada publik pentingnya kesadaran menemukan diri kebangsaan yang unggul dan pentingnya bercita-cita yang jauh sejauh terbangnya burung garuda.
Ustadz Harwanto Dahlan dan Mama Cetot
Kemesraan acara malam itu diperhangat oleh kehadiran ustadz Harwanto Dahlan. Dalam uraiannya, Ustadz Harwanto mengajak orangtua untuk lebih banyak belakjar kepada orang zaman dulu. "Orang Tua dulu lebih kreatif dalam hal mendidik anak, tanpa kekerasan dan tanpa ngunek-unekke," jelas Ustadz membandingkan pola pendidikan zaman sekarang serta banyak kejadian yang menimpa anak-anak sekarang akibat kurang jitunya kepengasuhan orangtua.
Selain itu, Ustadz Harwanto juga menyoroti transformasi kultural masyarakat Indoensia yang kurang seimbang. Dia menganalogikan ibu-ibu sekarang lebih suka dipanggil mama tetapi di sisi lain belum pas juga disebut mama. Dalam bayangan Ustadz Harwanto mama adalah panggilan kaum modern dan mapan ekonominya berikut gaya hidupnya. Dicandakan olehnya seorang mama yang lagi memarahi anaknya yang meminta sesuatu, “jangan rewel nanti mama cetot lho!". Kata Ustadz Harwanto, "Mama kok cetot, mama ki yo cubit," disambut tawa hadirin. Ditambah lagi, "mama kok kerokan, mama ki yo SPA, facial dll."
Duh Gusti dari Dipo
Masih terkait dengan Maulid Nabi, Cak Nun berpesan agar ibu-ibu tidak membeli yang bukan-bukan dan agar lebih berhemat, karena harga sembako naik. Dalam hal menderita bercerminlah ke Nabi. "Hikmah Nabi ra gede-gede, nggen ngelih, klambi mung telu.... (hikmah Nabi tidaklah muluk-muluk...cukup dalam hal lapar, baju hanya tiga biji), papar Cak Nun. Kemudian Cak Nun mengajak hadirin menyenandungkan Duh Gusti diringi musik KiaiKanjeng. "Duh Gusti ini diperkenalkan oleh Novi Budianto (dari ibunya) di Dipo, dan sudah dinyanyikan KiaiKanjeng di beberapa negara," terang Cak Nun.
Acara malam itu ditutup dengan lantunan Tombo Ati (Minang dan Jawa) dan Syair I'tirofnya Abu Nawas. "Tombo ati itu artinya tombo buat, pertama hati yang penyakiten (karena hasut, iri, dengki dll), dan kedua, hati yang disakiti (oleh orang atau pihak lain). Pukul 01.20 dini hari acara itu usai dengan penuh kebersamaan. “Semoga acara ini bukan sesekali," kata Cak Nun.
Jumat, 28 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar