suporter

Sabtu, 15 Maret 2008

Lari dari industrialisasi cinta


from kenduricinta
Jika anda mengamati dengan seksama industri perfilman Indonesia,
minggu-minggu ini terdapat sebuah fenomena menarik dengan meledaknya
pemutaran film Ayat-Ayat Cinta, bahkan beberapa bioskop sampai rela
memberikan tempat lebih banyak untuk pemutaran film ini. Antrian yang
panjang dan kekecewaan habisnya tiket pertunjukan dijumpai dimana-mana.

Tak kurang dari para pemuka di negeri ini turut memuji film tersebut.
Kritikus film pun seakan latah mengupas habis fenomena film ini di
berbagai media. Namun, apakah pesan yang ingin disampaikan oleh
Habiburrahman El-Shirazy penulis naskah novel Ayat-Ayat Cinta ini dapat
sampai kepada pemirsanya dengan baik, setelah novel tersebut
difilmkan?, bukankan ini hal yang menarik untuk kita telaah bersama.

Banyak
kejanggalan yang luput dari perhatian para kritikus. Hal yang menyolok
adalah gambaran pelaku utama yang kuliah di Universitas Al Azhar sangat
minim digambarkan. Seperti apakah universitas besar itu menjadi bukan
bagian penting untuk diperlihatkan. Serta pemilihan lokasi adegan
terlalu dominan menggunakan ruang-ruang studio (indoor), sehingga lebih
tepat sebenarnya film ini dikategorikan sebagai mega sinetron plus
saja. Selain itu, pengambilan visual pada pemandangan sungai nil juga
tampak ala kadarnya, ditambah dengan tempelan visual pyramid,
mempertegas kurangnya pemaksimalan keindahan suasana dalam penguatan
konsep cerita.

Faktor aneh lainnya adalah keterlibatan sebuah
produk minuman yang menjadi kesukaan dari salah seorang pelaku sangat
jelas terlihat. Seakan tersirat bahwa produser masih berusaha mencari
keuntungan yang akhirnya cukup mengganggu visual. Hal yang seperti ini
tidak berbeda jauh dengan film-film instan lainnya yang penuh dengan
sponsor.

Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah mengenai
penghayatan Islam dari pembuat film ini. Pada bagian pembacaan
ayat-ayat suci Al Quran masih perlu diiringi musik yang menurut
beberapa kalangan hal tersebut adalah dilarang. Dan herannya tidak
satupun tokoh muslim yang mempermasalahkan hal ini.

Akhirnya tidak salah kalau kemudian muncul tanggapan sinis dari booming-nya
film ini adalah sekedar bagian dari industrialisasi cinta. Bahkan
Franky Sahilatua pun pernah mengakui adanya keengganan dari produser
musik untuk mengangkat tema lagu selain dari cinta. Cinta dieksploitasi
sedemikian rupa untuk kepentingan bisnis. Cinta dilokalisir hanya
menjadi sebuah problematika antara gender. Sungguh sangat menyedihkan.

Dan
yang cukup sangat menyedihkan sekali adalah selera dari konsumen yang
rela diperalat oleh industri. Bahkan sebuah film besar “Lari Dari
Blora” yang diputar bersamaan dan diperankan oleh bintang-bintang
senior seperti W.S.Rendra serta Soultan Saladdin ini, harus rela
tergusur sedemikian cepatnya, hanya dalam jangka waktu 7 hari saja
diputar di bioskop-bioskop ternama, bila dibandingkan dengan film-film
mengenai cinta dan horor yang kering akan makna, tetapi mampu bertahan
lebih lama bahkan hingga berminggu-minggu. Film Lari Dari Blora ini
menggambarkan cinta dari setting budaya masyarakat Samin di Pati-Blora
(Jawa Tengah), beserta problematika lengkap dengan polemik yang terjadi
di masyarakat Samin tersebut. Sebagaimana digambarkan desa tersebut
harus menerima persepsi yang bersifat memojokkan masyarakat samin. Dari
segi soundtrack film, turut serta juga penyanyi legendaris kita Rafika
Duri urun menyumbangkan suaranya di film ini, untuk memperkuat konsep
cerita.


Poster Film Ayat-Ayat Cinta dan Lari Dari Blora



Sehingga pada akhirnya, mungkin benar sebaiknya kita harus membuat film baru yang berjudul “Lari Dari Industrialisasi Cinta”.(Red/G/I/R)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

ada pro pasti ada kontra........

Anonim mengatakan...

cak nun kangen obrolannya....jadi terobati ni...thanks!