Setiap calon santri di padepokan Sang Sunan, ditest dulu bagaimana ia membaca kalimat syahadat. Dan Saridin memiliki lafal dan caranya sendiri dalam bersyahadat. Suatu cara yang Gus Dur saja pasti tidak berani melakukannya, minimal karena badan Gus Dur terlalu subur - sementara Saridin adalah lelaki yang atletis dan seorang pendekar silat yang mumpuni.
Tapi sebelum hal itu diceritakan, karena Saridin khawatir Anda kaget lantas darah tinggi Anda kambuh, maka harus diterangkan dulu beberapa hal mendasar
yang menyangkut hubungan antara Tuhan dengan humor.
*
Sejak mulai akil balig, Saridin secara naluriah maupun perlahan-lahan secara
rasional memutuskan untuk melihat dan memperlakukan kehidupan ini sebagai
sesuatu yang sangat bersungguh-sungguh - namun ia menjalanninya dengan urat
saraf yang santai dan dengan kesiapan humor yang setinggi-tingginya.
Soalnya, diam-diam, jauh di dalam lubuk hatinya, Saridin yakin bahwa Tuhan
sendiri sesungguhnya adalah Maha Dzat yang penuh humor ...
Memang belum tentu benar, belum tentu baik dan arif, untuk menyebut bahwa
Tuha itu Maha (Peng- atau Pe-) Humor. Di antara 99 asma dan watakNya, tidak
terdapat nama Maha Humor. Tapi kalau misalnya di satu pihak Tuhan itu Maha
Penyayang dan di lain pihak Ia Maha Penyiksa, atau di satu sisi Ia Maha
Pengasih dan di sisi lain Ia Maha Penghukum, atau di satu dimensi Ia Maha
Penabur Rejeki tapi sekaligus pada dimensi lain Ia Maha Penahan Rejeki -
terpaksa kadang-kadang kita menganggap itu suatu jenis humor. Paling tidak
supaya kepala kita tidak pusing.
Ada sih penjelasan kontekstualnya. Tuhan mengasihi atau menyiksa
hamba-hambaNya menurut konteks dan posisi nilai yang memang relevan untuk
itu. Tuhan mungkin mengasihi siapa saja meskipun mereka mbalelo kepadaNya:
Tuhan tetap memelihara napas para maling, Tuhan tidak menyembunyikan
matahari dari para perampok, Tuhan tidak menghapus ilmu dari otak para
koruptor.
Tapi tidak mungkin Tuhan menyiksa orang yang patuh kepadaNya. Tuhan tidak
mungkin menghukum orang yang tak punya kesalahan kepadaNya. Kalau Tuhan
menahan rejeki orang yang taat kepadaNya, maka penahanan rejeki itu mungkin
merupakan suatu jenis rejeki tertentu yang merupakan metoda agar orang
tersebut menghayatinya dan memperoleh nilai yang lebih tinggi. Atau kalau
seseorang yang baik kepada Tuhan tapi lantas diberi kemiskinan atau
penderitaan, tentu yang terjadi adalah satu di antara tiga kemungkinan.
Pertama, itu teguran. Alhamdulillah dong kalau Tuhan berkenan mengkritik
kita. Itu artinya kita punya kans untuk menjadi lebih baik. Kedua, itu
ujian. Juga alhamdulillah, karena hanya orang yang disediakan kenaikan
pangkat saja yang boleh ikut ujian. Dan ketiga, itu hukuman. Ini lebih
alhamdulillah lagi, karena manusia selalu membutuhkan pembersihan diri,
memerlukan proses pensucian dan kelahiran kembali.
*
Jadi menurut Saridin jelas, bahwa bagi mata pandang manusia, ide-ide
penciptaan yang Ia paparkan pada alam semesta dan kehidupan, banyak sekali
mengandung hal-hal yang kita rasakan sebagai 'humor'.
Bukan hanya ketika kita melihat perilaku monyet, umpamanya - yang membuat
Saridin berpikir: "Ah, ini yang bikin tentu Dzat yang maha pencipta humor,
atau sekurang-kurangnya pencipta monyet adalah Entertainer Agung bagi jiwa
dahaga manusia ..."
Soalnya kelakuan monyet 'kan mirip-mirip Anda ...
*
Juga Anda mengalami sendiri betapa banyaknya hal-hal yang lucu di muka bumi
ini, bahkan juga mungkin di luar bumi. Saridin sendiri amat sering tertawa
riang atau tertawa kecut kalau melihat atau mengalami kehendak-kehendak
Tuhan tertentu. Umpamanya tatkala Adam tinggal di sorga, Tuhan sengaja bikin
pohon Khuldi, tapi dilarangnya Adam menyentuh. Tapi pada saat yang sama, Ia
ciptakan Iblis untuk menggoda agar Adam melanggar larangan itu - dan
akhirnya terjadi benar.
Sehingga beliau beserta istri terlempar ke muka bumi, dan kita semua
terpaksa menjumpai diri kita juga tidak lagi di sorga, melainkan di bumi.
Itupun bumi yang sudah dikapling-kapling oleh konsep adanya negara. Oleh
adanya organisasi pemerintahan yang kerjanya memerintah dan melarang seperti
Tuhan. Kalau Tuhan sih memang berhak seratus persen memerintah dan melarang karena memang Ia yang menciptakan kita dan semua alam ini, serta yang menyediakan hamparan rejeki dan menjamin hidup manusia.
Tapi pemerintah 'kan nyuruh kita cari makan sendiri-sendiri. Kalau kita
kelaparan atau dikubur hutang, kita tidak bisa mengeluh kepada pemerintah.
Hubungan kita dengan pemerintah hanya bahwa kita sebuah berada di bawah
kekuasaannya tanpa ada jaminan bahwa kalau kita mati kelaparan lantas mereka akan menangisi kita dan menyesali kematian itu. Semakin banyak di antara kita yang mati, secara tidak langsung program KB akan semakin sukses.
*
Soal ini memang tergolong paling lucu di dunia. Kalau di negara sosialis
dulu, rakyat dijamin kesejahteraannya meskipun minimal, namun sama rata sama
rasa - dengan catatan tidak boleh mbacot, tidak boleh membantah, alias tidak
ada demokrasi. Kalau di negeri kapitalis, setiap orang memiliki hak bicara,
hak ngumpul dan berserikat - tapi dengan syarat harus cari makan sendiri-sendiri, harus mandiri dan berani bersaing, berani jadi gelandangan
kalau kalah.
Lha Anda adalah rakyat yang hidup di negeri yang mengharmonisasikan dua
keistimewaan dari negeri sosialis dan negeri kapitalis. Anda tidak usah banyak bicara, tak usah membantah, tak perlu protes-protes, karena toh makan
dan kesejahteraan hidup Anda harus Anda jamin sendiri ...
Departemen Sosial, Polsek, Babinsa, Koramil, Majelis Ulama, ICMI, PCPP,
YKPK, PNI-Baru maupun Neo-Masyumi, tidak menjamin bahwa Anda beserta
keluarga akan tidak sampai kelaparan.
*
Bahkan pada saat-saat kita tidak paham pada takdirnya yang menimpa kita, dan
itu mungkin menyedihkan, demi supaya kita tetap survive secara psikologis
-seringkali kita anggap saja itu semua adalah Humor dari yang Maha Kuasa.
Misalnya saja soal Pak Adam di sorga itu. Kalau kita boleh bermanja kepada
Tuhan, mbok ya biarkan saja beliau menghuni sorga. Mbok ya Tuhan ndak usah
menciptakan Setan, Iblis dan sebangsanya itu. Mbok ya langsung saja manusia
yang merupakan hasil ciptaan terbaik ini ditakdirkan saja untuk menghuni
sorga, sehingga Tuhan tak usah juga bikin neraka.
Soalnya gara-gara Iblis menang dan sukses dalam menggoda Adam, lantas di
dalam perkembangan dunia maupun pembangunankebudayaan nasional - Setan dan Iblis malah mendapatkan peluang yang besar untuk menjadi idola.
Dalam praktek-praktek kehidpan politik, dalam mekanisme perekonomian dan
dunia bisnis, dalam soal-soal pembebasan tanah, soal kebebasan asasi manusia
dan lain sebagainya - Setan banyak menjadi wacana utama. Para penguasa
tertentu dan pemegang modal besar tertentu, banyak memperlakukan Iblis
sebagai mitra-kerja, dengan alasan: "Alah, wong Pak Adam saja juga kalah
waktu digoda oleh blis kok ..."
*
Itulah sebabnya Saridin, ketika diperintah oleh Sunan Kudus untuk
bersyahadat, memutuskan untuk menempuh suatu cara yang membuktikan bahwa ia bukan saja tidak takut melawan Iblis dan Setan - Saridin bahkan membuktikan bahwa ia tidak takut mati. Saridin membuktikan bahwa Saridin lebih besar dibanding kematian ...
Rabu, 26 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar